Habibie, "Kekasihku"?

Timbangan Buku oleh Aboeprijadi Santoso

"Habibie" dalam bahasa Arab bermakna "kekasihku", namun B.J. Habibie 
tak pernah punya hubungan akrab dan "kasih" pada Timor Timur, meski 
bangsa Timor Leste berterima kasih dan menaruh hormat kepada mantan 
presiden RI ketiga tsb. Hal ini tampak dalam buku Pak B.J. Detik-
Detik Yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi 
(2006).  

Presiden RI ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie pantas apabila – sekali 
lagi, apabila - memiliki hubungan yang manis dan hangat secara 
simbiosis dengan negara dan bangsa Timor Leste. Betapa tidak. Tak ada 
presiden RI yang memerintah kurang dari dua tahun, yang berhasil 
mencatat sejumlah perubahan penting. Pak B.J. menggelar pemilu bebas 
Indonesia pertama sejak tiga dasawarsa, memulihkan pers bebas, 
memperkenalkan otonomi daerah, membebaskan para tapol dan mencatat 
suksesi presiden pertama secara tertib dan konstitusional. Namun 
puncak dari jejak-rekamnya adalah membuka peluang referendum yang 
menghasilkan negara Timor Leste yang bebas dari sepatu lars, alias 
merdeka dan bermartabat.  

B.J. Habibie mendapat tempat istimewa dalam sejarah Timor Leste. Saya 
ingat pada malam redeklarasi kemerdekaan 20 Mei 2002 di Tasi Tolu, 
Presiden Xanana Gusmao menyampaikan terima kasih bangsa Timor Leste 
kepada lebih dari selusin tokoh dunia. Diantaranya disebutnya B.J. 
Habibie. Bahkan nama Abdurrachman "Gus Dur" Wahid, teman Xanana dan 
satu-satunya tokoh Indonesia yang pernah menyatakan mea culpa (maaf) 
kepada bangsa Timor Leste, tak disebut dalam upacara historis tsb.

Sayang, Detik Detik yang ditulis Habibie lebih ramai oleh kontroversi 
seputar peranan Jen. Prabowo sekitar 21 Mei 1998, ketimbang isu Timor 
Timur. Padahal isu ini tak kalah menentukan, bahkan membawa aib bagi 
Indonesia di mata dunia. Di tangan Habibie, soal Tim-Tim menjadi 
tantangan yang dihadapinya dengan tegas dan berani, yaitu dengan 
memberi rakyat Tim-Tim hak mereka yang absah, yang menjadi peluang 
emas bagi kemerdekaan bangsa Timor Leste. 

Sebaliknya, Ali Alatas, mantan menlu, diplomat yang paling makan 
garam soal Tim-Tim, memanfaatkan bukunya yang baru, The Pebble in the 
Shoe, The Diplomatic Struggle for East Timor, untuk membela dengan 
konsisten kebijakan Indonesia c.q. Soeharto. Pernah pada 1997, 
Soeharto menampik usulan Alatas, yang ketiban cape Tim-Tim (Timor 
fatigue), untuk memberi otonomi luas kepada Tim-Tim, namun 
selanjutnya Alatas tetap setia menjalankan kebijakan Soeharto.

Mengapa seorang Alatas yang satu dasawarsa menjabat Menteri Luar 
Negeri Orde Baru lebih loyal kepada Soeharto, ketimbang seorang 
Habibie yang mantan Wapres-nya Soeharto dan pernah menyebut Soeharto 
sebagai "guru besar"nya?

Di mata "guru besar"nya, Habibie bahkan melakukan "ingkar dan 
khianat" sampai dua kali. Pertama, seperti dikemukakan Endy Bayuni 
dari The Jakarta Post, di luar dugaan Soeharto, Habibie memenuhi 
amanat konstitusi dengan keputusannya untuk siap menggantikan 
Soeharto ketika Soeharto pada 19 Mei 1998 mengungkap niatnya untuk 
turun. 

Kedua, dengan keputusan 28 Januari 1999, yang memberi "opsi kedua" 
pada Tim-Tim, Habibie menjunjung preambule UUD 1945 yang menghormati 
hak bangsa untuk merdeka dan menyediakan peluang tsb kepada Tim-Tim – 
satu hal yang mustahil dilakukan Soeharto sejak dia berkonspirasi 
dengan Ali Moertopo dan kemudian dengan Presiden AS Gerard Ford dan 
Menlu Henry Kissinger 6 Des. 1975 untuk mencaplok Tim-Tim.

Dalam Detik-Detik-nya, Habibie tentu saja tidak berbicara polos 
tentang konspirasi-konspirasi Soeharto tsb, barangkali dia tak tahu, 
naief, atau tak peduli. Namun harus diakui Habibie telah 
mengedepankan kepentingan nasional dengan mencoba memulihkan 
kredibilitas R.I. dengan cara memberi hak absah dan peluang 
referendum kepada Tim-Tim. 

Lagi pula, ini dilakukannya dengan rasional dan jujur. Pertama dia 
berfilosofi sekitar konsep "bangsa" dan "Indonesia", dengan bertanya 
pada diri sendiri apa saja unsur unsur "Rumpun Melayu" dan "Indonesia 
itu siapa?" yang secara retorik dijawabnya sendiri dengan tegas bahwa 
itu tidak lain adalah bekas Hindia-Belanda. Berbeda dengan pejabat 
Orde Baru, banyak cendekia, bahkan juga sebagian sayap kiri 
Indonesia, Habibie di situ rasional dan konsekuen, sehingga 
menyimpulkan bahwa Timor Timur memang tidak dengan sendirinya harus 
menjadi bagian dari republik. (lihat hal. 223-265 & 397 dst).

Ini satu pendapat yang patut dihormati. Meski begitu, toh ada kesan 
Habibie belum mengungkap pandangannya tentang Tim-Tim dengan lengkap. 
Sekitar 1997 di kalangan aktivis ICMI sudah beredar gagasan bahwa Tim-
Tim perlu dilepas dari RI. Ada yang beranggapan propinsi ke-27 tsb 
hanya menambah jumlah propinsi bermayoritas kelompok minoritas 
religius saja.

Detik Detik-nya Habibie terbit tahun ini, tetapi semasa hangatnya isu 
Tim-Tim, 1998-1999, Habibie sebenarnya berargumen persis serupa Orde 
Baru, bahkan secara eksemplaris mencerminkan watak kolonial Orde Baru 
terhadap Tim-Tim: "Why do we have this problem when we have a 
mountain of other problems? Do we get any oil? No. Do we get gold? 
No. All we get is rocks. If the East Timorese are ungrateful after 
what we have done or them, why should we hang on?" (dikutip dari 
sumber berbahasa Inggris, aslinya dari Suara Pembaruan).

Akhirnya,Habibie terpancing oleh sindiran PM Australia John Howard 
yang mengusulkan transisi menjelang referendum semacam New Caledonia. 
Di sini, semangat nasionalisme Orde Baru-nya Habibie tersinggung, 
kemudian mengeluarkan gagasan "opsi kedua" tadi. Secara sepintas, 
Habibie mengakui ini dalam Detik-Detik-nya, sayang dia tidak 
merincinya panjang lebar.

Betapa pun, Habibie lebih legawa ketimbang Charles de Gaulle. Kalau 
Presiden Prancis mengakhiri perang kolonial Prancis di Aljazair 
dengan berunding, B.J. Habibie mengakhiri penjajahan Indonesia di 
Timor Timur dengan menawarkan opsi kedua. Celakanya, di luar dugaan 
seluruh jajaran penguasa di Jakarta, termasuk B.J. Habibie sendiri, 
rakyat Timor Timur, dengan porsi yang besar dan meyakinkan, mencoblos 
opsi merdeka. 

Kemenangan kubu pro-kemerdekaan Tim-Tim itu menjadi selendang merah 
bagi banteng bernama ABRI yang kemudian mengamuk, merusak, membantai 
dan mendeportasi ratusan ribu warga Tim-Tim. Maka terjadilah tragedi 
berdarah bagi Timor Timur dan, lagi lagi, aib yang mempermalukan 
bangsa bagi Indonesia.  

Menlu kala itu Ali Alatas dalam bukunya The Pebble in the Shoe (2006) 
memuji kearifan Presiden Habibie untuk mempercepat pengumuman hasil 
referendum tsb dari tgl. 6 menjadi tgl. 4 Sept. 1999. Ini untuk 
menghindari kebocoran dan kerusuhan. Hal ini menarik, sebab ini 
memberi kesan seolah mereka telah mengkhawatirkan kerusuhan beberapa 
hari sebelum gelombang amukan ABRI itu terjadi. Mingguan TEMPO (edisi 
3 Maret 2003) mengutip keterangan seorang anggota milisi-pro Jakarta 
bahwa bumi hangus Tim-Tim pasca jajak-pendapat itu berasal dari 
perintah Presiden Habibie. 

Dugaan TEMPO ini tidak pernah terkonfirmasi, namun Prof. Geoffrey 
Robinson, waktu itu staf badan PBB UNAMET di Dili, berdasarkan 
penyidikannya, menyimpulkan kepada Radio Nederland (Des. 2004) bahwa 
ada semacam komisi di bawah Presiden Habibie, yang selain melibatkan 
sejumlah jendral (Feisal Tanjung, Wiranto), juga melibatkan sejumlah 
menteri (a.l. Alatas) yang bertanggungjawab atas reaksi Jakarta 
terhadap hasil jajak-pendapat di Tim-Tim.

Yang menarik, Ali Alatas dalam The Pebble mengungkap frustrasi dan 
kemarahannya atas keonaran pasca-jajak pendapat tsb, dan secara samar 
menyalahkan kebijakan Presiden Habibie yang sulit diperhitungkan, 
tapi tidak pernah menuding jajaran perwira ABRI sebagai biang dari 
bumi hangus Tim-Tim. Habibie, yang dari kontroversinya dengan Jen. 
Prabowo kita ketahui dekat dengan Jen. Wiranto, juga setali tiga uang 
dengan Alatas. Pada dasarnya, keduanya menyalahkan milisi dan konflik 
antara kubu kubu Tim-Tim sebagai penyebab tragedi September 1999 tsb. 

Di mata pejabat Indonesia, Tim-Tim selalu "bersalah". Dulu Tim-
Tim "bersalah" karena Fretilin menjadi "pekarangan belakang" 
yang "meng-ancam" Indonesia, sekarang Tim-Tim "bersalah" karena 
selalu ber"perang-saudara" di antara mereka. Habibie menyebut Tim-
Tim "cuma batu karang" yang merepotkan Indonesia, sedangkan Alatas 
menyepelekan Tim-Tim sebagai "kerikil" (pebble) di sepatu Indonesia. 

Detik Detik-nya Habibie mau pun The Pebble-nya Alatas pun tak luput 
dari mitos-mitos kolonial Indonesia, sebagaimana Belanda dulu sering 
bertakhyul tentang Indonesia.

Barangkali, Habibie dan Alatas perlu mengenang renungan Ki Hadjar 
Dewantara di masa Indonesia sendiri berada dalam situasi terjajah. 
Dua abad silam, Ki Hadjar memrotes pajak ekstra bagi rakyat Hindia-
Belanda untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Belanda, dengan menulis 
pamflet "Als ik eens een Nederlander was" (Andaikan Aku Orang 
Belanda) dan di situ Ki Hadjar menganjurkan agar rakyat Indonesia 
memboikot pajak tsb. 

Siapa tahu, pada suatu hari seorang Timor Leste akan 
menulis "Andaikan Aku Orang Indonesia". Di situ, dia pasti akan 
mencatat bahwa B.J. Habibie perlu dikenang dengan rasa hormat, tapi 
tak usah dijadikan "kekasih" bangsa. 

Tak usah laah, yaach...



* B.J. Habibie, Detik-Detik Yang Menentukan, Jalan panjang Indonesia 
Menuju Demokrasi, THC Mandiri, 2006.

* Ali Alatas, The Pebble in the Shoe, The Diplomatic Struggle for 
East Timor, Aksara Karunia, 2006

Sumber: Radio Nederland Wereldomroep 18 Nov. 2006

http://www.ranesi.nl/tema/budaya/habibie_kekasihku061117_buku



Kirim email ke