http://www.indomedia.com/bpost/122006/28/opini/opini1.htm
Poligami: Obat Atau Racun? Pelaku poligami yang kaya raya mungkin bisa berhasil berbagi materi secara 'adil'. Tetapi, berhasil atau gagalnya ia berbagi keadilan di wilayah perasaan tak akan ada yang tahu. Sainul Hermawan Dosen FKIP Unlam Telatkah bicara soal poligami ketika berita tentang poligami Aa Gym mulai mereda? Jawabnya tentu tidak, karena persoalan poligami bukan hanya gosip murahan tetapi ia juga salah satu tema penting dalam penelitian Sosiologi dan Antropologi. Karenanya, persoalan poligami perlu terus didiskusikan dalam kerangka ilmiah atau dalam kerangka apa saja, termasuk untuk tujuan gosip murahan. Akumulasi dari seluruh rangkaian pembicaraan tentangnya akan memberikan informasi bagi publik untuk menyikapi poligami secara bijak. Dalam pengertian, bukan hanya menilai poligami dari satu sudut pandang tetapi juga dari berbagai pengalaman orang yang pernah mengalaminya. Ketika seorang muslim bicara soal legalitas poligami, ia akan merujuk QS ayat 3: " ... maka menikahlah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu cintai; dua, tiga, atau empat orang wanita, namun bila kamu khawatir tidak dapat berbuat adil maka nikahilah satu orang wanita saja ...." Tetapi kita harus ingat, kalimat ini penggalan dari kalimat panjang yang memerlukan penafsiran yang luas pula. Tetapi, pecinta poligami pemula sering memplesetkan ayat ini hanya untuk sebagai bemper pengaman. Ayat tersebut bukan sekadar membolehkan, tetapi juga melarang. Jadi, jangan ditafsirkan ayat ini sepenuhnya mengizinkan. Poligami itu sah-sah saja asal pelakunya adil, kalau tidak bisa adil jangan. Sebenarnya, imbauan semacam ini sering kita jumpai pada kotak obat. Ibarat obat, poligami bukan obat yang cocok bagi siapa saja. Setiap obat pasti selalu disertai dengan catatan kontra indikasi. Misalnya, obat A dapat untuk mengobati penyakit B asalkan pemakai tidak punya gejala penyakit C, D, E dan sebagainya. Demikian juga poligami, ia bisa jadi obat jika perempuan yang akan diobatinya tidak mengidap 'penyakit' tertentu. Tetapi dalam soal ini, sebenarnya siapa yang sakit? Laki-laki atau perempuan? Saya punya seorang kawan (laki-laki) yang selalu bercerita keinginan kuatnya untuk berpoligami. Dengan ungkapan yang sangat ekspresif dia berucap: "Pokoknya aku harus poligami. Aku sudah memasuki masa puber kedua. Aku tak bisa kerja kalau hasratku tak tersalur." Tetapi sampai detik ini, ia belum berani melakukannya karena istrinya tak mengizinkan. Bagi istrinya, lebih baik 'diracun' daripada dimadu. Ia menghadapi dilema. Tak poligami tak bisa kerja, sementara kalau memaksakan diri poligami ia akan melakukan sesuatu yang dibenci Tuhan: perceraian. Akhirnya ia selingkuh. Ia bisa kerja. Tetapi ia menjalani kemunafikan setiap hari. Munafik juga dibenci Tuhan. Akhirnya kejenuhan datang juga, perempuan yang diselingkuhinya ternyata lebih menjijikkan daripada istri yang telah memberinya keturunan. Menghadapi poligami, perempuan dan laki-laki bisa sama-sama 'sakit'. Laki-laki sakit karena hasrat seksual primitifnya, tak menemukan saluran lain yang bisa membelokkan ke arah selain poligami. Perempuan juga 'sakit', karena ia makhluk yang dilahirkan dengan naluri lebih perasa daripada laki-laki. Di sinilah kompleksnya berbuat keadilan dalam ranah perasaan yang sangat abstrak. Pelaku poligami yang kaya raya mungkin bisa berhasil berbagi materi secara 'adil'. Tetapi, berhasil atau gagalnya ia berbagi keadilan di wilayah perasaan tak akan ada yang tahu. Kecuali hanya Tuhan dan perempuan yang mengalaminya. Kita hanya bisa menerka lewat senyumnya, perempuan yang dimadu itu bahagia. Tetapi, senyum itu bisa sedangkal lautan yang dalamnya bisa diduga. Tetapi apa yang dirasakan hati perempuan yang menjalani poligami, siapa yang tahu? Karena itu, pembela poligami tak perlu terlalu bernafsu untuk menyalahkan mereka yang antipoligami, apalagi dengan menggeneralisasi dan memplesetkan surah suci hanya untuk kepentingan nafsu primitif laki-laki yang ada sejak Islam belum ada. Kasus poligami yang sering saya ketahui, ternyata tidak didorong oleh keinginan utama untuk menjalankan perintah agama. Agama selalu jadi tameng legitimasi untuk melapangkan jalan, menenangkan kegamangan pikiran dan perasaan pelakunya. Kalau begitu, poligami religius atau sekuler menjadi tipis batasnya. Meskipun kita punya teladan dalam soal ini, baik yang universal ataupun lokal, setiap peniruan selalu tak mulus karena sejarah dan nasib manusia tak pernah benar-benar sama. Demikian pula penentang poligami, tak perlu terlalu jauh memvonis mereka yang berpoligami atau seorang lelaki yang menikahi lebih dari satu perempuan adalah 'penjahat kemanusian' yang merendahkan martabat perempuan. Ingat, kenyataan perempuan itu tak homogen. Dunia perempuan itu sebuah belantara luas yang mustahil disimpulkan hanya oleh sebuah tulisan yang penuh keterbatasan dan nafsu. Dunia perempuan itu penuh warna. Jadi, kalau pelaku poligami baik laki-laki maupun perempuan, berpoligami dengan meneladani hidup Rasul itu sangat baik dan terpuji. Tetapi, jarak peneladanan itu sangat abstrak karena kita dan Rasul terpisah jarak ruang dan waktu yang begitu lebar dan jauh. Mungkin lebih baik kita melakukan peniruan pada teladan yang lebih dekat, meskipun dengan semangat yang tak beda dengan peneladanan pertama. Misalnya dengan becermin pada model poligami Guru Ijai. Ketika Guru Ijai berpoligami, tak ada kasak-kusuk dan fitnah di sekitarnya. Popularitasnya tak memudar. Poligaminya tampak damai dan menentramkan. Mereka tak perlu roadshow untuk menjelaskan tentang istri tua dan istri mudanya serta keluarganya baik-baik saja. Jadi, kalau masih amatiran, sebaiknya jangan berpoligami daripada nantinya ikut-ikutan memelintir ayat Tuhan untuk kepentingan nafsu belaka. Memelintir ayat Tuhan, akhir-akhir ini jadi trend dengan tujuan 'meningkatkan pendapatan asli diri sendiri'. Poligami amatiran jelas bukan obat, tapi racun sejati, bukan hanya bagi wanita, tapi juga bagi agama. e-mail: [EMAIL PROTECTED]