maapin nih ya, kayaknya sih bukan cuman produk budaya Arab, tetapi produk 
budaya Timur Tengah jadi disana itu, di jazirah Arab dan sekitarnya sudah 
beberaoa ribu tahun ada banyak peradaban dan budaya seperti Babilon, Assyria, 
dan lain-lain itu saling pengaruhi
  sama lain. begitulah katanya para ilmuwan yang akal nya memang kuat sehingga 
sudah
  diseldidiki konteks-konteksnya. Ini bukan pandainya Kristen atau Yahudi, tapi 
banyak juga orang Islam dan dari segala agama, juga yang ateis, yang pandai 
dari dulu kok, yang juga pintar dan tenang saja memakai akal.
  ngomong-omong katanya Bush dan para sohibnya juga banyak di AS yang percaya 
juga
  ada Kreasi, yah terserah aja deh. Malah sang Bush ini juga katanya pernah 
bilang pernah semacam mendapat perintah dari Atas supaya menyebarkan demokrasi 
diseluruh dunia.
  Lalu cara dan hasilnya yah kita liat sekarang, di Irak, Afganistan, banyak 
yang dikirim ke
  akherat dengan bomb, roket, ngeri banget kan hasil pemikiran gelap begini?
  Jadi kalau engga pakai akal, lalu juga pincang logikanya, terus bisa kayak 
katak dibawah tempurung terus, atau malah mendatangkan sengsara buat sesama. sk
  

Budi - Production Control <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          "Telah Terbit, Buku Kritik terhadap Abu Zayd"

Oleh: Adian Husaini

Bulan Mei 2007, peneliti INSISTS, Henri Shalahuddin MA telah menerbitkan
sebuah buku berjudul "Al-Quran Dihujat" (Jakarta: GIP). Buku ini sangat
penting dalam perspektif kajian pemikiran Islam di Indonesia saat ini.
Secara umum, buku ini berisi kritik terhadap pemikiran Prof. Nasr Hamid Abu
Zayd, pakar sastra Arab Mesir yang terkenal dengan teorinya bahwa Al-Quran
adalah produk budaya Arab. Dari isi dan literatur rujukannya, tampak buku
ini dipersiapkan cukup serius. Berbagai karya Abu Zayd ditelaah dan
diberikan kritiknya.

Abu Zayd memang telah divonis murtad oleh Mahkamah di Mesir, dan kemudian
lari ke Belanda. Di negara kolonial inilah, Abu Zayd diberi tempat terhormat
sebagai guru besar ilmu Al-Quran di Universitas Leiden. Dari sini pula Abu
Zayd mengkader lusinan dosen UIN/IAIN untuk menyebarkan pahamnya di
Indonesia.

Karena itu, tidak heran, jika hasil penelitian Litbang Departemen Agama
tentang paham Liberal keagamaan di sekitar kampus UIN Yogya menyatakan,
bahwa bagi kaum liberal: "Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci
dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya
(muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid.
Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir
konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman."

Buku-buku Abu Zayd memang sudah banyak yang diterjemahkan di Indonesia.
Dalam salah satu buku terjemahan karya Abu Zayd berjudul "Hermeneutika
Inklusif" terbitan ICIP, Nash Hamid Abu Zayd dimasukkan ke dalam ketegori
"pemikir pemberontak" (dissident Muslim thinkers). Tetapi, ditulis di sini,
bahwa "Julukan pemikir pemberontak ini tidak dimaksudkan sebagai julukan
yang negatif, akan tetapi ditujukan untuk menamai sebagian kelompok pemikir
Islam yang memiliki pemikiran terobosan dan cenderung melakukan reformasi
terhadap status quo pemikiran Islam. Corak pemikiran seperti itu, tidak
hanya dibutuhkan pada masa transisi, akan tetapi juga sangat dibutuhkan pada
masa stabil."

Itulah penghormatan terhadap Abu Zayd yang dilakukan oleh sebuah lembaga
penyebar paham Pluralisme Agama pimpinan Dr. Syafii Anwar tersebut. Salah
satu pemuja Abu Zayd yang terkenal adalah Rektor Uin Yogya, Prof. Dr. Amin
Abdullah. Itu bisa dilihat dalam bukunya yang berjudul "Islamic Studies di
Perguruan Tinggi" (2006). Kini, berbagai kampus di Indonesia memang sudah
mulai dijejali dengan pemuja Abu Zayd. Bahkan, pendapat-pendapatnya sudah
mulai diekspose melalui media massa.

Sejumlah murid kesayangan Abu Zayd pun sudah menduduki pos-pos terhormat
sebagai dosen-dosen ilmu Al-Quran di UIN Jakarta dan UIN Yogya. Mereka
leluasa mendiktekan pemikirannya kepada para mahasiswa, dan bahkan berwenang
menyusun kurikulum dalam studi Al-Quran yang sejalan dengan pemikiran Abu
Zayd. Kaum Muslimin di Indonesia, banyak yang tidak menyadari masalah besar
ini dan membiarkan anak-anaknya dicekoki paham Abu Zayd.

Penulis buku ini, Henri Shalahuddin, yang merupakan alumnus pesantren Gontor
Ponorogo dan kini aktif sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Da'wah Mohammad
Natsir Jakarta, berhasil membongkar kekeliruan pemikiran Abu Zayd dan
menyimpulkan, bahwa yang dilakukan Abu Zayd beserta para pemujanya di
lingkungan UIN/IAIN lebih merupakan hujatan terhadap Al-Quran, bukan
merupakan kajian ilmiah yang ikhlas dan serius. Karena itulah, dia tidak
ragu-ragu untuk menyatakan, bahwa apa yang dilakukan Abu Zayd dan para
pemujanya adalah sebuah upaya mengujat dan merusak Al-Quran.

Menurut penulis buku ini, dewasa ini, Al-Quran dihujat tidak hanya secara
fisik, tapi juga melalui penyelewengan konsep wahyu dan metodologi tafsir.
Penghujatan Al-Quran yang saat ini marak dilakukan bukan dengan membuang
mushaf ke toilet, atau menginjak dan membakarnya di depan kaum Muslimin.
Penghujatan Al-Quran non-fisik, dilakukan dengan menggunakan 'metode ilmiah'
yang tidak mudah dipahami dan disadari oleh kebanyakan kaum Muslimin. Sebab,
banyak di antara pelakunya adalah cendekiawan dengan titel professor, doktor
maupun rektor, sehingga banyak yang kemungkinan mudah tertipu dan
menyangkanya sebagai suatu kebenaran ilmiah.

Dan Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd adalah salah satu garda terdepan penghujat
Al-Quran saat ini. Tokoh liberal kenamaan asal Mesir ini kabur dari
negaranya, setelah pengajuan kepangkatan gelar proffesor ditolak,
karya-karyanya dinilai tidak bermutu dan bahkan cenderung melecehkan ajaran
Islam, Rasulullah saw dan Imam Syafii. Menyusul setelah itu, vonis mahkamah
yang memutuskan bahwa dirinya telah murtad. Dia pun kabur ke Belanda dan di
sana memperoleh penghargaan layaknya seorang pahlawan.

Di samping memandang Al-Quran sebagai produk budaya, Abu Zayd juga
memposisikan Al-Quran sebatas teks manusiawi (nash insani), teks linguistik
(nass lughawi) dan fenomena sejarah (zhahirah tarikhiyyah). Sebagai teks
linguistik, misalnya, Abu Zayd mengklaim bahwa Al-Quran terpengaruh oleh
tradisi dan budaya Arab pra-Islam. Sebab baginya, dengan menggunakan bahasa
Arab, berarti wahyu tidak turun ditempat yg hampa. Ibarat kata pepatah,
bahwa bahasa menunjukkan budaya, maka demikian halnya dengan Al-Quran.

Sebagai teks manusiawi, kata dia, kebenaran Al-Quran yang bersifat mutlak
hanya berada di lauhul mahfuzh. Namun kebenaran yang mutlak tersebut menjadi
relatif ketika masuk dan berinteraksi dengan akal pikiran manusia. Dengan
demikian, seorang Muslim tidak boleh mengklaim bahwa pemahamannya terhadap
Al-Quran lebih benar dari orang lain, atau bahwa pemahamannya sudah sesuai
dengan apa yang dimaui oleh Tuhan. Karena manusia adalah relatif, maka
kebenaran yang dicapainya pun juga relatif. Sehingga Abu Zayd
mengkategorikan orang yang mengatakan bahwa kebenaran Al-Quran yang dia
pahami adalah absolut, berarti telah menyamakan dirinya dengan Tuhan.

Ide Abu Zayd tentang teks manusiawi ini, --di samping ide-idenya yang
lain--, banyak diminati dan dipropagandakan oleh para tokoh-tokoh Islam yang
menganut pada paham relativisme kebenaran. Sebuah paham yang mendasari
aliran-aliran liberalisme, sekularisme, feminisme dan pluralisme agama.

Sebagai teks manusiawi dan teks linguistik sekaligus, Abu Zayd mendudukkan
Al-Quran sama seperti Bibel yang semua isi ajarannya tidak harus diterapkan.
"According to Christian doctrine, not everything that Jesus said was said as
the Son of God. Sometimes Jesus behaved just as a man." (Abu Zayd, Voice of
an Exile: 174-5). 

Sehingga tidak aneh, jika Abu Zayd lalu menggugat pengharaman homoseksual
dan mengecam keras orang yang masih menganggapnya sebagai prilaku menyimpang
(voice. hal 89). Karena menurutnya, haramnya homoseksual lebih karena
konteks lokalitas budaya. Sehingga, di bukunya yang lain, al-Imam al-Syafi'i
wa Ta'sis al-Aidiyulujiyyah al-Wasathiyyah, dia menyeru umat Islam untuk
meninggalkan Al-Quran dan Hadits, karena dianggapnya telah memasung
kebebasan akal manusia (hal.146)

Tidak puas menghujat Al-Quran, Abu Zayd juga menghujat para ulama yang
menjunjung tinggi kewahyuan Al-Quran. Di antara ulama yang dijadikan sasaran
hujatannya itu adalah Imam Syafi'i. Beliau dituduh sebagai ulama oportunis
yang suka bekerjasama dengan penguasa demi mendapatkan dunia. Beliau juga
dituduh telah mengangkat kedudukan hadits, sehingga menjadi kitab nomor dua
setelah Al-Quran di mata kaum Muslimin. Lebih dari itu, Imam Syafi'i juga
dituduh menyebarkan hegemoni suku Quraisy atas suku-suku Arab lainnya dalam
agama Islam, terkait dengan pandangan beliau tentang bahasa Arab Al-Quran.

Dengan keberanian Abu Zayd dalam menghujat Al-Quran dan Imam Syafii, jangan
heran, jika kaum liberal di Indonesia pun menyambut pendapat Abu Zayd dengan
gegap gempita dan menganggapnya sebagai tokoh hebat. Selain di ruang-ruang
kuliah di bangku UIN/IAIN/STAIN dan sebagainya, para penganut dan pemuja Abu
Zayd pun sudah berani secara terbuka menghujat Al-Quran melalui media massa.
Koran Tempo, (4/5/2007) menurunkan sebuah artikel berjudul "Pewahyuan
Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah", yang memaparkan bahwa Al-Quran adalah
karya bersama antara Allah, Roh Kudus dan Muhammad.

Sebelumnya, telah berjubel artikel, buku, makalah seminar dan sebagainya
yang cenderung menghujat Al-Quran. Ternyata jika diteliti, ujung-ujungnya,
yang dijadikan rujukan para penghujat Al-Quran itu adalah Abu Zayd. Bahkan,
saat Abu Zayd berkunjung ke Indonesia, di antara aktivis liberal di
Indonesia, ada yang begitu memujanya, sampai-sampai menuliskan kekagumannya
tentang selera makan Abu Zayd dan cara memilih toilet. (Lihat, buku
"Al-Quran Dihujat", hal 96). Sebuah alasan yang tidak seharusnya dilakukan
oleh kalangan yang mengidentitaskan dirinya dengan sikap rasional dan
keterbukaan.

Bahaya terbesar dari penghujatan Al-Quran non-fisik adalah menyesatkan akal
pikiran umat Islam yang hendak kembali pada ajaran Al-Quran dan Hadits
secara benar. Sebab konsep wahyu Al-Quran yang bersifat final dan universal
untuk segala tempat dan zaman akan digeser dengan konsep evolusi Darwin.
Dengan itu, kebenaran Al-Quran hanya bersifat temporal dan lokal, khusus
untuk suatu masa, bangsa dan tempat tertentu. Begitu juga, hukum-hukum Islam
akan dinilai sebagai hukum yang bersifat temporal dan spatial, hanya berlaku
untuk kurun waktu dan tempat tertentu. Maka, mereka rajin membuat perbedaan,
bahwa ajaran dan hukum-hukum Islam harus ditinjau ulang sesuai dengan
perkembangan zaman.

Abu Zayd juga seorang hermeneut, yaitu pengguna hermeneutika untuk
menafsirkan Al-Quran. Metodologi tafsir Al-Quran yang telah dikembangkan
oleh para ulama berwibawa yang memperhatikan segala aspek dalam memahami
Al-Quran digusur dengan metodologi hermeneutika produk Yahudi dan Kristen.
Padahal, metode tafsir Al-Quran jauh lebih ilmiah, dibanding teori
interpretasi hermeneutika yang tengah dikembangkan neo-orientalis di
berbagai perguruan tinggi di Indonesia saat ini. Inilah sesungguhnya salah
satu tantangan kontemporer yang terbesar yang dihadapi umat Islam Indonesia
dewasa ini.

Umat Islam saat ini memerlukan puluhan ribu hujjatul Islam, syeikul Islam
dan generasi Al-Quran yang memperjuangkan ajaran Islam secara kafah dalam
menghadapi perongrongan global akidah dan syariat Islam. Berkenaan dengan
ilmu pengetahuan, dalam bab tanda-tanda ulama baik dan ulama jahat, Imam
Ghazali dalam bukunya, Ihya 'Ulumiddin dan Abu Thalib al-Makki, dalam
bukunya, Qut al-Qulub, menjelaskan ragam golongan manusia dengan menukil
pendapat Al-Khalil ibn Ahmad yang mengatakan: 

"Manusia itu empat golongan: 1) orang yang tahu, sedang dirinya tahu
(menyadari) bahwa dirinya tahu, dia itulah si cerdik pandai ('alim), maka
ikutilah dia. 2) orang yang tahu, sedang dirinya tidak tahu (tidak
menyadari) kalau dirinya tahu, dia itu ibarat orang yang tidur, maka
bangunkanlah ia. 3) orang yang tidak tahu, sedangkan dia tahu bahwa dirinya
tidak tahu, dialah si pencari pentunjuk (mustarsyid), maka berilah dia
petunjuk (bimbingan). 4) orang yang tidak tahu, sedangkan dia tidak tahu
kalau dirinya tidak tahu, itulah orang jahil, maka tolaklah (hindarilah,
abaikanlah, atau sangkallah) ia.

Mengembalikan kejayaan Islam, harus dimulai dari pembangunan budaya ilmu.
Adalah sangat celaka jika ilmu-ilmu agama telah dirusak oleh orang-orang
yang menduduki posisi-posisi terhormat sebagai dosen-dosen bidang Al-Quran
di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam. Kita patut meratapi nasib
mahasiswa-mahasiswa Islam yang kini menimba ilmu-ilmu keislaman di berbagai
kampus berlabel Islam, karena dipaksa mengikuti pemikiran-pemikiran yang
merusak keyakinan mereka sebagai Muslim. Al-Quran yang dipahami oleh umat
Islam sebagai wahyu Allah yang suci dihujat oleh agen-agen neo-orientalis
seperti Abu Zayd dan para anak buahnya di Indonesia. Sementara itu,
pemerintah dan pimpinan kampus mendiamkan saja masalah ini.

Maka, kita tidak perlu heran, jika setiap tahun ribuan orang belajar di
fakultas ushuluddin dan fakultas syariah, tetapi justru dari situ pula
muncul sejumlah orang yang aktif menolak aqidah dan syariah Islam. Dalam
bukunya ini, Henri Shalahuddin telah membuka mata kita akan satu tantangan
yang sangat besar yang dihadapi oleh umat Islam. Dia pun memberikan
jawaban-jawaban yang jitu yang menunjukkan dimana kelemahan pendapat Abu
Zayd dan pemujanya di lingkungan UIN/IAIN saat ini. Semoga buku ini memberi
manfaat besar dalam pengembangan studi pemikiran dan peradaban Islam di
Indonesia. Juga, semoga para pemuja Abu Zayd bertobat dari kekeliruannya dan
menghentikan aksi-aksinya dalam menghujat Al-Quran. Tugas kita hanyalah
mengingatkan. Masing-masing kita bertanggung jawab atas amal kita
masing-masing. [Depok, 11 Mei 2007/www.hidayatullah.com]



         

       
---------------------------------
 Yahoo! Mail is the world's favourite email. Don't settle for less, sign up for 
your freeaccount today.

Kirim email ke