http://www.berpolitik.com/news.pl?t=1&n_id=6158&c_id=21&g_id=290

Jumat, Jul 13, 2007 14:20
Wacana Menaikkan Tarif Busway Kembali Diapungkan
- berpolitik.com


 *(berpolitik.com):* Lagu lama itu kembali didendangkan. Dengan alasan
klasik beban subsidi, telah mengemuka usulan untuk menaikan tarif busway.
Selain mengundang tanya, rencana ini pun melahirkan spekulasi politik. Mau
mengganjal Fauzi Bowo?

Rencana menaikan tarif busway sudah sering terlontar. Yang paling akhir
dikemukakan oleh Sekda Propinsi DKI Jakarta, Ritola Tasmaya. Ia menyatakan
kenaikan tarif terpaksa dilakukan karena anggaran untuk menunjang
operasional dan subsidi penumpang busway jauh dibawah kebutuhan. Dari Rp 280
milyar yang diajukan, kata Ritola, DPRD Jakarta hanya mengabulkan sekitar Rp
203 milyar.

Pada awal tahun ini, rencana kenaikan tarif sebenarnya juga sudah
dilontarkan. Ketika itu Kepala Dinas Perhubungan DKI Nurachman menyatakan
kenaikan tarif tak terhindarkan. Pasalnya, hal itu mesti dilakukan untuk
mengurangi beban APBD akibat subsidi terhadap tarif busway. Pembengkakan
subsidi bakal terjadi karena adanya pertambahan koridor (IV-VIII) pada tahun
2007 ini.Catatannya, hingga saat ini, koridor VIII belum beroperasi.

Sebelumnya, pada akhir lalu, anggota DPRD dari Komisi D, Sayogo
Hendrosubroto juga mengusulkan hal yang sama. Menurut dia, jika tarif busway
masih Rp 3500, maka angkutan umum yang beroperasi sejajar dengan rute busway
bakal ambruk karena tak bisa bersaing dengan busway.

Berapa perkiraan tarif baru ? Pihak Organda Jakarta mematok angka Rp 7.500,
sedangkan Dishub DKI pernah menyebut kisaran angka antara Rp 4.000 - Rp
6.000,-. Sementara Wakil Ketua Komisi D DPRD Jakarta, Mukhayar RM pernah
mengajukan angka Rp 5.000,- Ritola Tasmaya ketika diwawancarai sebuah radio
(Jumat, 13/7) juga menyebutkan angka terakhir ini.

Kisaran angka yang dipilih akan menentukan besarnya subsidi yang harus
digelontorkan. Sebagaimana dikutip harian Jurnal Nasional pada Mei lalu,
Nurachman pernah membeberkan anggaran operasional busway. Kata dia, jika
dinaikan menjadi Rp 4000 maka beban subsidi mencapai Rp 333 milyar, Jika Rp
4.500 maka bebannya turun menjadi Rp 275 milyar. Jika tarif dinaikan menjadi
Rp 5.000, beban subsidi bakal berkurang lagi menjadi Rp 225 milyar. Baru
pada tarif Rp 6.000 beban subsidinya tinggal Rp 75 milyar.

Beban subsidi ini disebuat-sebut sebagai akibat pertambahan jumlah koridor.
Pada tahun 2005, konon jumlah subsidi yang digelontorkan hanya 18 milyar (1
koridor). Tahun 2006 melonjak menjadi Rp 37 milyar (3 koridor). Hingga
pertengahan Tahun 2007 ini, sudah 7 koridor yang berjalan. Karena itu, Ketua
Komisi D DPRD Jakarta, Sayogo Hendorsubroto, untuk tahun 2007 subsidinya
bakal meningkat pada kisaran Rp 386 milyar.

*Operator Katanya Merugi*
Yang menarik, Badan Layanan Umum TransJakarta yang mengelola busway rupanya
menerapkan kebijakan pembayaran kepada operator busway berdasarkan kilometer
jarak tempuh dari tiap armada yang dioperasikan. Operator busway ini tidak
sama untuk tiap koridornya. Belakangan, BLU dituding telah memangkas jumlah
armada yang beroperasi untuk menghemat pembayaran kepada operator.

Adalah Ketua Organda DKI Herry Rotty dan juga Pengelola Koridor II-III
Transbatavia yang mengeluhkan hal tersebut. Akibat kebijakan
"pengistirahatan", dari 126 armada yang bisa dioperasikan, hanya 73 saja
yang beroperasi. Alasan yang pernah dilansir, pada jam-jam tertentu, hanya
sedikit penumpang yang naik hingga kalau harus dioperasikan akan menambah
beban subsidi per penumpang.

Akibatnya, operator maupun penumpang justru dirugikan. Operator jadi
kesulitan membayar berbagai tagihan, baik cicilan ke bank, gaji karyawan
hingga tagihan BBG. Jika dipaksakan mereka mengaku bakal terpaksa
menghentikan operasi armadanya.

Penumpang pun jelas dirugikan. Pengurangan armada ini membuat penumpukan
penumpang di halte. Waktu tunggu antar armada yang pernah dijanjikan sekitar
2-5 menit tinggal catatan di atas kertas. Tak kurang 10-15 menit waktu yang
dibutuhkan untuk menunggu kedatangan armada berikutnya. Maka bukan
pemandangan aneh jika terlihat tiap armada busway disesaki para penumpang,
terutama pada jam-jam sibuk.

Dari pengamatan berpolitik, kepadatannya memang belum separah biskota biasa.
Tapi, antriannya memang sudah menyusahkan. Selain berjubeldan
berdesak-desakan, hawa panas akibat desain halte yang keliru mengakibatkan
penumpang harus berjuang keras untuk bisa naik ke busway.

Sebagai contoh, Rotty menyebutkan jumlah busway yang beroperasi di koridor 2
dan 3 yang hanya 73 unit dari seharusnya 83 unit. Tapi pihak pengelola BLT
membantah adanya "pengistirahatan" itu. Menurut Manajer Pengendalian BLU
TransJakarta, Rene Nunumete, busway yang beroperasi di kedua koridor itu
tetap berjumlah 84 buah. Pengistirahatan dilakukan bukan untuk mengurangi
jumlah armada yang beroperasi tetapi untuk keperluan istirahat. "Setiap
empat jam sopir atau bus harus beristirahat," katanya. Singkatnya, ada
perbedaan pendakuan jumlah armada yang beroperasi.

Rotty beranggapan, jika penghematan itu dimaksudkan untuk mengurangi beban
subsidi tak cukup beralasan. Pasalnya, berdasarkan perhitungan pihaknya,
subsidi per penumpang itu hanya sebesar Rp 83,-.

Menurut Nurachman, para operator busway tentu saja menginginkan armadanya
semua beroperasi. Sebab operator tak memikirkan biaya operasional busway
secara keseluruhan. Mereka, kata Nurachman, dibayar berdasarkan kilometer
armada yang berjalan jadi tak bermasalah jika bus beroperasi tanpa ada
penumpang sekalipun.

Selain kenaikan tarif, kini mengemuka juga usulan untuk mengubah pola tarif.
Alternatif yang diajukan adalah tarif berdasarkan jarak tempuh. Dengan
begitu, penumpang yang berpindah-pindah koridor besar kemungkinan terpaksa
membayar lebih banyak lebih besar lagi. Hingga kini, belum ada pihak yang
mengeluarkan formulasi perhitungan persisnya seperti apa.

*Pemda Blunder*
Bila dicermati, baik Pemda maupun kalangan DPRD sepertinya risau sekali
dengan besaran subsidi yang harus ditanggung APBN. Tulus Abadi dari YLKI
dalam sebuah artikelnya di tempointerkatif bulan Maret lalu sudah pernah
mengungkit keliru pikir pemda dalam soal tarif busway ini. Dia menulis,

 "Rencana menaikkan tarif, dari sisi manajemen transportasi publik, secara
paradigmatis merupakan blunder yang sangat fatal. Hal ini menandakan
pemerintah DKI belum paham benar dengan politik pengelolaan transportasi
publik yang sesungguhnya. Sarana angkutan umum massal (SAUM), di mana pun
tempatnya di dunia, entah berupa busway, entah monorel atau bahkan subway,
harus diposisikan sebagai infrastruktur. Artinya, tetap harus ada
keterlibatan pemerintah dalam program tersebut, yaitu berupa public service
obligation (PSO). SAUM di Jepang, New York, London, Hong Kong, dan kota-kota
lain yang kampiun dengan SAUM-nya terbukti masih memperoleh PSO dari
pemerintah. Sebab, jika mengandalkan fulus dari konsumen, sampai kapan pun
tidak akan mampu menutup biaya operasional. Busway, monorel, dan subway
adalah infrastruktur transportasi yang padat modal dan padat
teknologi...Sangat salah jika tarif SAUM seperti busway harus full cost
recovery, apalagi dijadikan sarana profit center. Jangan biarkan Jakarta
terus berlumur kemacetan karena ketidakbecusan mengelola sarana angkutan
umum massal."

Selain itu, mengapungkan rencana kenaikan tarif angkutan umum pada saat
pilkada sebenarnya bisa dibilang sebagai blunder politik juga. Disadari atau
tidak, rencana itu bakal memojokkan *incumbent *(Fauzi Bowo).

Yang juga dipertanyakan adalah transparansi perhitungan subsidi dan besaran
alokasi APBD yang dikucurkan untuk urusan busway. Kalangan Organda dan
Operator menganggap BLU sangat tertutup. Sialnya, sejauh ini kalangan DPRD
Jakarta tak terusik untuk meminta pihak BLU membeberkan hal itu kepada
publik sehingga tak hanya operator saja yang mafhum, tapi masyarakat selaku
pengguna juga menjadi terang duduk permasalahan yang sebenarnya.

Sejumlah penumpang yang dimintai komentarnya perihal rencana kenaikan tarif
ini, rata-rata berkeberatan. "Aduh, masak pelayanannya buruk begini minta
dinaikin tarifnya," ujar dewi yang ditemui di halte Halimun. Penumpang yang
lain malah mempersoalkan konsistensi kebijakan pemda. "Katanya mau mendorong
orang mau pindah naik busway. Kalau begini, orang kecil kayak saya pasti
bakal kembali naik buskota lagi.Jadi, sarden lagi, deh," gerutu seorang
bapak yang enggan disebut namanya.

Kirim email ke