Bravo Pak Al-Mahmud Abbas, Semakin kemari, semakin jarang saya menemukan Islam yang dewasa dalam diri Muslimin/Muslimah seperti tercermin dalam Bapak.
Wassalam, Ida --- In mediacare@yahoogroups.com, "Al-Mahmud Abbas" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Amin..amin..amin.. faham yang sering kali menghalalkan untuk merasa bener > sendiri itulah bumerangnya. Fanatisme itu bukan untuk dipaksakan kepada > orang lain atupun sekedar untuk melindungi kelompok (tanpa peduli oknum yang > dilindungi/dibela itu benar atau salah), harus tetap disadari bahwa dalam > alam sosial ada kebenaran universal, nilai-nilai umum yang tidak secara > frontal bertentangan dengan nilai Islam. Hidup berdampingan secara damai > dengan umat agama lain juga harus ditekankan sehabis-habisnya tanpa harus > takut kehilangan umat hanya dengan berkurangnya jamaah. Memahami bahwa > keberagamaan setiap orang adalah hak orang itu sendiri dan Allah SWT yang > menentukan. Tidak ada yang pernah mengIslamkan orang lain kecuali karena > ridho Allah SWT, kalau pemahaman dan penerapan Islam itu simpatik dan > menarik tidak usah capek2 kesal hati dengan berpindahnya seseorang kepada > agama lain. Justru dengan jumlah yang sedikit dan tetap memberikan > kontribusi kebajikan untuk peradaban sosial itulah yang lebih bermutu, dari > pada jumlahnya banyak tapi korupsi juga meraja lela tanpa merasa berdosa > atau menyesali kenapa ajaran Islam tidak bisa membuat pribadi-pribadi yang > tidak gampang terseret napsu ? > Beragama bukan bertujuan untuk menang-menangan jumlah umat, tidak ada > gunanya mayoritas beragama Islam seperti Indonesia tetapi > peran/kontribusinya untuk memperbaiki satu hal = SOAL KORUPSI =pun tidak > bisa. Yang penting bukan militansinya untuk berani melabrak tempat-tempat > maksiat atau panti-panti pijat, tetapi mendalami filsafat agama dan mengisi > batin umatnya agar tidak terseret ke dalamnya. Begitupun dengan KORUPSI dan > lain-lain penyakit sosial, akarnya adalah pemahaman keberagamaan yang amat > sangat dangkal. Agama hanya dipahami sebatas soal surga dan neraka, soal > halal dan haram, soal mnafaat dan mudharat, soal hitam dan putih, sementara > persoalan sosial tidak sesederhana itu. Pengembangan pemahaman ajaran untuk > lebih relevan dengan realitas kehidupan sangat kurang atau mungkin tidak > populer/tidak laku, kelompok2 mederat seperti Utan Kayu-nya bang Ulil justru > diusir dan dicaci maki, yang lebih laku dan gampang diikuti adalah yang > semacam MMI, FPI, dll.. yang aktivitasnya sangat tidak intelek. > Kenapa ??? Gampang dilakukan, hanya perlu modal nekat, ngikut saja apapun > yang diperintahkan 'ketuanya', dan (konon) oleh ketuanya dijanjikan PAHALA > yang amat besar kelah di akhirat. Bahkan bisa menyelamatkan berapa puluh > familinya kalau mati syahid. > Pemahaman yang dalam dan menguatkan bathin banyak dijauhi, karena terlalu > sulit dipahami, buang-buang waktu, terlalu lama untuk melihat > hasil/perubahannya dan PAHALAnya tidak jelas. > > Oleh sebab itu, tidak heran kalau seperti yang dikatakan bung Marthajan "no > common enemy, let's fight each other". Kapan bisa terbebas dari faham > seperti itu ? Wallahu'alam bisawab, melihat bahwa pemahaman yang kacau balau > sudah demikian merambah ke segenap pikiran orang dengan isi kepala yang > berbeda dan kompleksnya permasalahan yang demikian sulit untuk > memilah/mengurai kekusutannya, maka saya hanya bisa bilang MUSTAHIL kecuali > *seluruh umat Islam sedunia* sepakat menghargai umat beragama lain *dimanapun > mereka berada* tanpa pernah melakukan kalkulasi matematis bahwa umatnya > "dikurangi" (atau lebih 'keren'nya DIMURTADKAN) oleh umat beragama lain. > Dengan demikian biasa menghargai pemahaman orang lain dan biasa tidak mudah > tersinggung, tidak mudah gusar, tidak gampang mengancam orang lain, tidak > mudah membuat 'judgement' apalagi menghalalkan darang orang lain yang belum > tentu salah. > > Wassalam.