Yang dipermasalahkan salah satunya yang anda harapkan tsb. Sebagai menteri 
mungkin tanggungjawab beliau akan terbatas pada pembangunan policy (di lingkup 
departemen sesuai arahan pimpinan negara) dan pembangunan institusi yg beliau 
pimpin dalam melaksanakan policy tsb. Tetapi sebagai salah satu pimpinan 
negara, tanggungjawab yg dipikul akan jauh lebih besar terutama dalam konteks 
mendukung RI1 (jika terpilih kembali), dalam konteks policy ... beliau harus 
memberikan arahan dan orchestrating berbagai departemen/lembaga, menjembatani 
berbagai kepentingan dan kebutuhan bangsa, dan seterusnya (yg bukan melulu 
economics). The point, beliau harus menunjukan bahwa beliau mampu.
He is a good man, no doubt about it. He built good economic team, dan kader2 yg 
beliau siapkan masih di'pakai' dalam pemerintahan saat ini.
Regards,


--- On Thu, 5/14/09, Lucky Trader <soluckytra...@gmail.com> wrote:

From: Lucky Trader <soluckytra...@gmail.com>
Subject: Re: [ob] Tulisan Faisal Basri tentang Boediono, bener ga ya ?
To: obrolan-bandar@yahoogroups.com
Date: Thursday, May 14, 2009, 11:36 PM








        



 












Sekedar menambahkan dari pengalaman pribadi :

Anaknya P.Boed yg terakhir (cowok) adalah teman saya satu kantor. Sebelumnya 
saya tidak tahu kalo dia adalah anaknya P.Boed yg kala itu menjabat menjadi 
Menko di jaman Megawati. Bukan karena saya kuper, tapi anaknya memang sangat 
sederhana. Singkatnya, seperti kita2 yg tumbuh dari keluarga biasa2, bahkan 
terkesan "irit". Kalo sarapan ya hampir sama, Pop Mie dan dia juga masih suka 
jual CD ketengan di kantor, jadi beli 1 dos, lalu dijual ketengan, krn memang 
bidangnya IT (Programmer).


Saya berpikir, kalau seandainya P.Boed seperti kebanyakan pejabat yg lain, 
tentu tidak rela anaknya kerja di tempat yg jauh (tidak di jakt) dan salarynya 
"normal". Cukup mendirikan PT INI-ITU, dan bertindak sebagai broker, tentu 
pendapatan anaknya ini, akan 10-100x dalam sekejap. Rumah tidak lagi 
kontrak....Oya, kelupaan, waktu mash jadi kolega saya, rumahnya ngontrak, pas 
di sebelah rumah saya. Kalau P.Boed datang menjenguk, terutama stlh lahir 
cucunya, suka diem2 dan gak ada rame2. Bahkan agar pejabat daerah tidak setor 
muka, sering di jemput diem2 di bandara ama anaknya, pake mobil Forza buntut, 
beli bekas dari temen sekantor. Kalau ada pejabat daerah yg denger biasanya 
suka rame, dijemput ini-itu...biasa setor muka, terutama, pejabat daerah pajak, 
bank dll.


Mengenai kesederhanaan, kebersajaan dan sikap rendah hati, TIDAK PERLU 
DIRAGUKAN. saya sebagai saksi disini. Mudah2an sikap itu tercermin juga di 
KEBIJAKSANAAN yg akan diambil P.Boed utk kesejahteraan masy. Indonesia.


Salam,
-LT

2009/5/15 Iman <widgetena...@gmail.com>


















    
            
            


      
      Memang orangnya sederhana dan bersahaja gitu kok.
Dulu jaman kuliah, biarpun beliau menteri, kemana-mana cuma ditemani satu 
ajudan/sopir. Walau jadi pejabat tinggi, orangnya tetap sederhana, tidak 
sombong, dan tidak meremehkan mahasiswanya. Jaman sekarang kan dosen belagunya 
minta ampun sama mahasiswa. Pernah di kelas kehabisan spidol, beliau sendiri 
turun tangga, ambil sendiri ke bagian tata usaha. Mana ada pejabat model begitu?


Yang seru nih meramalkan siapa penggantinya Boediono. Apalagi kalau kampanye 
sampai dua putaran, posisi Boediono tdk boleh sampai kosong. Dulu SBY 
mengajukan Agus Martowardojo (Dirut Bank Mandiri) dan Raden Pardede (Ketua 
PPA), tapi mungkin karena mereka mainnya bersih, ditolak oleh DPR. Selain itu 
konon katanya ada kekuatan dalam BI utk memuluskan jalan buat Miranda Goeltom.


Akhirnya SBY terpaksa merelakan posisi Menko Perekonomian dipindah ke BI. 
Jabatan lama dirangkap Sri Mulyani. Kalau sudah begini, nggak mungkin buat DPR 
utk menolak Boediono tanpa alasan jelas karena bakal jatuh imej mereka di mata 
rakyat. Jadilah waktu itu DPR bungkam dan MG gagal jadi Gubernur BI. Sekarang 
skenarionya bakal terulang lagi. Tapi menurut saya sih penggantinya adalah 
nama-nama di atas. Nama lain mungkin Irzan Tandjung (UI), Dubes RI untuk 
Philipina, yang pernah jadi economic adviser SBY.


Lieur ah sayah.


2009/5/14  <riil_inves...@yahoo.com>



















    
            
            


      
           Apa yg dikatakan Faisal bener adanya, makanya partai2 yg ribut krn 
Budiono naik tidak memikirkan kepentingan bangsanya!

TxPowered by Telkomsel BlackBerry®

From:  "ID" 
Date: Thu, 14 May 2009 13:45:09 +0000
To: <obrolan-bandar@yahoogroups.com>

Subject: Re: [ob] Tulisan Faisal Basri tentang Boediono, bener ga ya ?
                           
     Terima kasih atas Artikel yang sangat baik ini

Best Regards,
ID

Powered by Telkomsel BlackBerryFrom:  Muttaqien yk 
Date: Thu, 14 May 2009 21:23:27 +0800


To: <obrolan-bandar@yahoogroups.com>
Subject: [ob] Tulisan Faisal Basri tentang Boediono, bener ga ya ?
                           

Sisi lain Pak Boed yang saya kenalOleh Faisal Basri - 14 Mei 2009 - Dibaca 93 
Kali - Saya pertama kali mengenal Pak Boed pada akhir 1970-an lewat 
buku-bukunya yang enak dibaca, ringkas, dan padat. Pada akhir 1970-an. Kalau 
tak salah, judul-judul bukunya selalu dialawali dengan kata ”sinopsis,” ada 
Sinopsis Makroekonomi, Sinopsis Mikroekonomi, Sinopsis Ekonomi Moneter, dan 
Sinopsis Ekonomi Internasional. Kita mendapatkan saripati ilmu ekonomi dari 
buku-bukunya yang mudah dicerna.

Pada suatu kesempatan, Pak Boed mengutarakan pada saya niatnya untuk merevisi 
buku-bukunya itu. Mungkin ia berniat untuk menulis lebih serius sehingga bisa 
menghasilkan buku teks yang lebih utuh. Kala itu saya menangkap keinginan kuat 
Pak Boed untuk kembali ke kampus dan menyisihkan waktu lebih banyak menulis 
buku. Karena itu, ia tak lagi berminat untuk kembali masuk ke pemerintahan 
setelah masa tugasnya selesai sebagai Menteri Keuangan di bawah pemerintihan 
Ibu Megawati.

Pak Boed dan Pak Djatun (Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menko Perekonomian) bekerja 
keras memulihkan stabilitas ekonomi yang “gonjang-ganjing” di bawah 
pemerintahan Gus Dur. Hasilnya cukup mengesankan. Pertumbuhan ekonomi mengalami 
peningkatan terus menerus. Di tengah hingar bingar masa kampanye seperti dewasa 
ini, Ibu Mega ditinggalkan oleh wapresnya, dua menko, dan seorang menteri (Agum 
Gumelar). Ternyata perekonomian tak mengalami gangguan berarti. Kedua ekonom 
senior ini bekerja keras mengawal perekonomian. Hasilnya cukup menakjubkan, 
pertumbuhan ekonomi pada triwulan keempat 2004 mencapai 6,65 persen, tertinggi 
sejak krisis hingga sekarang.

Selama dua tahun pertama pemerintahan SBY-JK, perekonomian Indonesia mengalami 
kemunduran. Tatkala muncul gelagat Pak SBY hendak merombak kabinet, sejumlah 
kawan mengajak Pak Boed bertemu. Niat para kolega ini adalah membujuk Pak Boed 
agar mau kembali masuk ke pemerintahan seandainya Pak SBY memintanya. Agar 
lebih afdhol, kolega-kolega saya ini juga mengajak Ibu Boed. Mungkin di benak 
mereka, Ibu bisa turut luluh dengan pengharapan mereka. Akhirnya, Pak Boed 
menduduki jabatan Menko Perekonomian. Mungkin sahabat-sahabat saya itu masih 
terngiang-ngiang sinyal penolakan Pak Boed dengan selalu mengatakan bahwa ia 
sudah cukup tua dan sekarang giliran yang muda-muda untuk tampil. Memang, Pak 
Boed selalu memilih ekonom muda untuk mendampinginya: Mas Anggito, Bung Ikhsan, 
Bung Chatib Basri, Mas Bambang Susantono, dan banyak lagi. Semua mereka lebih 
atau jauh lebih muda dari saya.

Interaksi langsung terjadi ketika Pak Boed menjadi salah seorang anggota Dewan 
Ekonomi Nasional (DEN). Saya ketika itu anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden 
(anggota lainnya adalah Pak Widjojo Nitisastro, Pak Alim Markus, dan Ibu Sri 
Mulyani Indrawati). Ibu Sri Mulyani memiliki jabatan rangkap (jadi bukan 
sekarang saja), selain sebagai anggota Tim Asistensi juga menjadi sekretaris 
DEN. Pak BOed tak pernah mau menonjolkan diri, walau ia sempat jadi menteri 
pada masa transisi.

Sikap rendah hati itulah yang paling membekas pada saya. Lebih banyak mendengar 
ketimbang bicara. Kalau ditanya yang “nyerempet-nyerempet ,” jawabannya cuma 
dengan tersenyum. Saya tak pernah dengar Pak Boed menjelek-jelekkan orang lain, 
bahkan sekedar mengkritik sekalipun.

Tak berarti bahwa Pak Boed tidak tegas. Seorang sahabat yang membantunya di 
kantor Menko Perekonomian bercerita pada saya ketegasan Pak Boed ketika hendak 
memutuskan nasib proyek monorel di Jakarta yang sampai sekarang 
terkatung-katung. Suatu waktu menjelang lebaran, Pak Boed dan sejumlah staf 
serta, kalau tak salah, Menteri Keuangan dipanggil Wapres. Sebelum meluncur 
bertemu Wapres, Pak Boed wanti-wanti kepada seluruh stafnya agar kukuh pada 
pendirian berdasarkan hasil kajian yang mereka telah buat. Pak Boed sempat 
bertanya kepada jajarannya, kira-kira begini: “Tak ada yang konflik 
kepentingan, kan? Ayo kita jalan, Bismillah …  Keesokan harinya, saya membaca 
di media massa bahwa sekeluarnya dari ruang pertemuan dengan Wapres, semua 
mereka berwajah “cemberut” tanpa komentar satu kata pun kepada wartawan.

Adalah Pak Boed pula yang memulai tradisi tak memberikan “amplop” kalau 
berurusan dengan DPR. Tentang ini, saya dengar sendiri perintahnya kepada Mas 
Anggito.Ada dua lagi, setidaknya, pengalaman langsung saya berjumpa dengan Pak 
Boed. Pertama, satu pesawat dari Jakarta ke Yogyakarta tatkala Pak Boed masih 
Menteri Keuangan. Berbeda dengan pejabat pada umumnya, Pak Boed dijemput oleh 
Ibu. Dari kejauhan saya melihat Ibu menyetir sendiri mobil tua mereka.

Kedua, saya dan isteri sekali waktu bertemu Pak Boed dan Ibu di Supermarket 
dekat kediaman kami. Dengan santai, Pak Boed mendorong keranjang belanja. 
Rasanya, hampir semua orang di sana tak sadar bahwa si pendorong keranjang itu 
adalah seorang Menko.

Banyak lagi cerita lain yang saya dapatkan dari berbagai kalangan. Kemarin di 
bandara Soekarno Hatta setidaknya dua orang (pramugara dan staf ruang tunggu) 
bercerita pada saya pengalaman mengesankan mereka ketika bertemu Pak Boed. 
Seperti kebanyakan yang lain, kesan paling mendalam keduanya adalah sikap 
rendah hati dan kesederhanaannya.

Dua hari lalu saya dapat cerita lain dari pensiunan pejabat tinggi BI. Ia 
mengalami sendiri bagaimana Pak Boed memangkas berbagai fasilitas yang memang 
terkesan serba “wah.” Dengan tak banyak cingcong, ia mencoret banyak item di 
senarai fasilitas. Kalau tak salah, Pak Boed juga menolak mobil dinas baru BI 
sesuai standar yang berlaku sebelumnya. Entah apa yang terjadi, jangan-jangan 
mobil para deputi dan deputi senior lebh mewah dari mobil dinas gubernur.

Kalau mau tahu rumah pribadi Pak Boed di Jakarta, datang saja ke kawasan 
Mampang Prapatan, dekat Hotel Citra II. Kebetulan kantor kami, Pergerakan 
Indonesia, persis berbelakangan dengan rumah Pak Boed. Rumah itu tergolong 
sederhana. Bung Ikhsan pernah bercerita pada saya, ia menyaksikan sendiri kursi 
di rumah itu sudah banyak yang bolong dan lusuh.

Bagaimana sosok seperti itu dituduh sebagai antek-antek IMF, 
simbol Neoliberalisme yang bakal merugikan bangsa, dan segala tuduhan miring 
lainnya. Lain kesempatan kita bahas tentang sikap dan falsafah ekonomi Pak 
Boed. Kali ini saya hanya sanggup bercerita sisi lain dari sosok Pak Boed yang 
kian terasa langka di negeri ini.

Maju terus Pak Boed.                                                            
                  
 

      

    
    
        
        
        
        


        


        
        
        
        
        




 

      

    
    
        
        
        
        


        


        
        
        
        
        












    
    







 





      

Kirim email ke