Nan iko ciek lai: Maaf saya mengganggu sedikit. Coba-coba menerapkan pendekatan spasial-kultur di dalam topik ini.
Catatan sejarah tertua mengenai kereta api di Indonesia adalah berdasarkan visinya Jayabaya, yang menyebutkan pada suatu ketika ada sabuk besi yang melingkari pulau Jawa. Visi ini ternyata ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda yang memulai pembangunan rel kereta api di pulau Jawa sejak tahun 1873. Pada tahun 1880 rel kereta api Batavia Bandung selesai dibangun. Sebelumnya pada tahun 1786 pada masa pemerintahan VOC telah dibangun poros jalan Batavia Bandung, yang dilanjutkan pada masa pemerintahan Inggris (1809) oleh Daendels membangun poros Bandung Cirebon. Sejak itu demam pembangunan rel kereta api merebak ke berbagai tempat di seluruh nusantara, terutama untuk menghubungkan pusat produksi (perkebunan, tambang) dengan simpul distribusi (pelabuhan). Namun pada masa perang Aceh, pembangunan rel ini ditujukan untuk menunjang sistem pertahanan untuk Kutaraja, walau pada akhirnya sistem ini digantikan dengan sistem kontra gerilya (detasemen Marsose) yang terbukti efektif mematahkan perlawanan teritorial rakyat Aceh. Dari catatan AQD: " .. pada tanggal 20 Agustus 1884 penguasa kolonial Belanda memulai memasang Lini Konsentrasi, yang luasnya kira-kira 50 km2 dengan Kutaraja sebagai jantungnya, dikelilingi oleh suatu lini dengan enam belas benteng, dalam rangka mengamankan daerah kekuasaannya di Aceh. Jarak antara satu benteng dengan benteng lainnya satu sampai dua kilometer, dan rata-rata lima kilometer, dari titik tengah. Keseluruhan bentuknya kira-kira merupakan setengah bulatan dengan bagian terbuka ke arah laut. Rel trem menghubungkan benteng-benteng itu yang jumlah penghuninya masing-masing berbeda, dari 160 orang dengan lima perwira dalam benteng terbesar, sampai 60 orang dengan seorang perwira dalam benteng terkecil. Benteng-benteng ini temboknya tanah dengan pagar kayu runcing-runcing, dan dua meriam atau lebih di baluarti yang menjorok di pojok-pojok, sehingga baik lapangan depan maupun sebelah tembok--tembok itu dapat tersapu oleh tembakan meriam. Pembuatan Lini Konsentrasi ini bersamaan dengan diberlakukannya kembali pemerintah militer di Aceh dan memakan waktu setengah tahun. Baru pada bulan Januari 1885, pos-pos yang berada di luar Lini Konsentrasi dikosongkan oleh pasukan Belanda, tetapi segera diisi oleh pasukan gerilya Aceh. Walau sistem Lini Konsentrasi dianggap yang paling aman buat Belanda, tetapi ternyata masih saja banyak pasukan gerilya Aceh dapat menembus benteng-benteng mereka dan melakukan serangan, sehingga keamanan semu tidak pernah dicapai .." Jadi Bang Harun, kultur kereta api ternyata cukup lama juga ya berkembang di Indonesia. Memang bila mengikuti teknik analisis demand, yang sangat digemari di dunia sipil transportasi, ditambah dengan preferensi konsumen-nya Mas BTS, sistem transportasi rel tidak akan pernah bisa mencuat. Walaupun hal ini diperkirakan bisa dimanipulasi dengan mempopulerkan analisis performansi (supply) untuk public transportation. Kenapa ya Bang pemikiran sistem transportasi kita selama ini kurang futuristik? Seperti pemikiran mengenai sistem transportasi masal itu baru terpikirkan setelah penduduk Jakarta sudah lebih 8 juta? Bukankah seharusnya bila > 1m penduduk (metropolitan) sudah membutuhkan suatu sistem masal seperti itu? Saya tidak excited dengan adanya busway di Jakarta beberapa tahun yang lalu. Dengan kondisi Jakarta saat itu hingga saat ini, investasi transportasi publik (apalagi masal) apapun di Jakarta, sambil memicingkan mata, saya akan mengatakan : pasti laku! Bolehlah kita menanyakan pengalaman Pak Risman dengan monorel-nya. Apalagi dengan membangun jalan tol Cipularang di wilayah yang demandnya begitu tinggi. Yah hampir tidak ada resiko investasi dan tantangan teknologi; serta satu lagi : less perception about spatial dynamics. Mungkin ya Bang, kita perlu menoleh juga untuk sistem transportasi rel itu. Katanya Seifried membandingkan transportasi rel dan transportasi jalan itu seperti berikut : - polusi udara 1 : 8 - pemakaian lahan (land take) 1 : 10 - polusi suara 1 : 6 - kecelakaan 1 : 20 - konsumsi energi 1 : 3. Kalau diperhitungkan dengan social costs sebagaimana yang disebutkan Mas Arief dan Ismail, maka transportasi jalan itu ternyata muahal banget. 10 tahun yang lalu saya dengar Dephub akan `meluruskan' lintasan rel Jakarta-Bandung selain pembuatan double tracks. Jadi lintasan gunung- lembah akan dipapas, sehingga jarak tempuh nantinya akan 1,5 2 jam. Maukah berbagi cerita pak Suwardjoko? Sementara waktu itu dulu. Salam, --- In [EMAIL PROTECTED], Saafroedin BAHAR <[EMAIL PROTECTED]> -------------------------------------------------------------- Website: http://www.rantaunet.org ========================================================= * Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi keanggotaan, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting * Posting dan membaca email lewat web di http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages dengan tetap harus terdaftar di sini. -------------------------------------------------------------- UNTUK DIPERHATIKAN: - Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply - Besar posting maksimum 100 KB - Mengirim attachment ditolak oleh sistem =========================================================