Tulisan ini secara khusus dimaksudkan untuk menanggapi Rancangan Peraturan 
Daerah Sumatera Barat Tentang Pemerintahan Nagari yang sedang dibahas Pansus di 
DPRD Sumbar.
   
  Rabu, 13-September-2006 ( Padek )
  Oleh : Khairul Fahmi.
   
          Sangat penting kiranya Perda ini dibicarakan secara bersama agar 
maksud perubahannya tidak hanya sekedar menyesuaikan dengan perubahan UU 
Pemerintahan Daerah. Tetapi mesti ada arah perubahan yang jelas agar keberadaan 
pemerintahan terendah di Sumatera Barat tidak hanya berkedok mengakomodir 
kepentingan masyarakat adat. Sementara yang terjadi adalah “pengingkaran” 
terhadap hak-hak masyarakat hukum adat sendiri. 

Masih banyak masalah yang tersisa terkait dengan Ranperda tentang nagari. Mulai 
dari proses pembuatannya sampai pada materi yang diatur dalam Perda tersebut. 
Terkait dengan proses, salah satu yang dilalui dalam membuat Ranperda adalah 
evaluasi terhadap keberadaan pemerintahan nagari yang diatur dengan Perda 
Sumbar No. 9/2000. 

Disinyalir, evaluasi yang dilakukan tidaklah melalui proses yang dapat 
dipertanggungjawabkan secara akademis. Artinya hasil evaluasi yang menjadi 
salah satu pertimbangan untuk merubah Perda No. 9/2000 dipertanyakan 
kesahihannya. Kalau begini, perubahan Perda tentang nagari hanya sekedar 
melepas hutang untuk menyesuaikan dengan perubahan UU dan yang pasti adalah 
asal-asalan. Kita sepakat Perda No. 9/2000 harus dirubah, tapi perubahan yang 
dilakukan tidak boleh asal jadi. Perubahan Perda tentang nagari mesti diarahkan 
sesuai dengan semangat awal kembali ka nagari, yaitu mengakui keberadaan adat 
salingka nagari. 

Konsistensi semangat adat salingka nagari sangat penting dalam melakukan proses 
perubahan Perda. Semangat tersebut mesti termanifestasi dalam poin perpoin dari 
materi yang diatur dalam Perda. Jangan sampai di tingkat semangat semua 
pandangan kita bisa bertemu, namun di tingkat lapangan dan pengaplikasiannya ke 
dalam bahasa Perda justru semangat tersebut berubah menjadi adat salingka 
Sumbar, bukan adat salingka nagari. Artinya keberagaman dan perbedaan adat 
masing-masing nagari disatukan atau diseragamkan (sentralisasi) melalui Perda 
propinsi. Akhirnya mengganti desa menjadi nagari sebagai pemerintahan terendah 
memang tidak obahnya seperti batuka cigak jo baruak taimbuah saikua karo. 
Tentunya kita tidak menginginkan itu bukan? 

Agar perubahan memang betul-betul terjadi, bagaimana seharusnya arah perubahan 
Perda tentang nagari yang akan dituju? Jawabannya sederhana, jadikan adat 
salingka nagari sebagai patokannya. Lalu, bagaimana mengejawantahkannya ke 
dalam Perda? Perda tentang nagari tidak boleh mengatur secara detail tentang 
nagari karena bisa menyeragamkan nagari. Menyeragamkan nagari berarti 
menyuguhkan racun bagi keberadaan pluralitas nagari-nagari yang ada di Sumbar. 
Menghilangkan pluralitas nagari artinya mengingkari adat salingka nagari. 

Selain mengingkari adat salingka nagari juga bertentangan dengan ketentuan Ayat 
(2) Pasal 216 UU No. 32/2004 yang menyatakan bahwa “Perda, sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1), wajib mengakui dan menghormati hak, asal-usul, dan adat istiadat 
desa.” Dengan ketentuan ini, Perda tentang nagari seharusnya menghormati adat 
salingka nagari sebagai hak masyarakat adat nagari. Dengan melakukan 
sentralisasi pemerintahan nagari, secara otomatis telah terjadi pelanggaran dan 
pengingkaran terhadap hak, asal-usul, dan adat yang ada di nagari. 

Dengan ketentuan di atas, materi yang dimuat dalam Perda propinsi seharusnya 
tidaklah lebih dari sekedar pengakuan terhadap keberadaan pemerintahan oleh 
masyarakat hukum adat. Ditambah dengan muatan tentang apa yang menjadi hak-hak 
masyarakat hukum adat yang ada di Sumbar sesuai dengan asal-usulnya. Dan yang 
tidak kalah pentingnya adalah bagaimana Perda tentang nagari mengelaborasi 
secara lebih jelas tentang apa yang menjadi hak asal-usul masyarakat adat yang 
ada di Sumatera Barat. 

UU No. 32/2004 membuka ruang untuk merumuskan Perda yang menjunjung tinggi 
keberadaan masyarakat hukum adat. Kalaupun ada kelemahan, namun peluang-peluang 
yang diberikan UU tersebut mestilah diambil dalam membuat regulasi tentang 
pemerintahan terendah di Sumbar yang mengakui dan menghargai keberadaan 
masyarakat hukum adat. Pasal 1 angka 12 UU No. 32/2004 mendefenisikan bahwa 
“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah 
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang 
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan 
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem 
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” 

Kata “asal-usul dan adat istiadat” dalam rumusan pasal tersebut merupakan 
pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat pada level pemerintahan 
terendah. Oleh sebab itu, Perda tentang nagari mestilah mencerminkan semangat 
penghormatan terhadap keberadaan masyarakat adat dengan cara menjamin 
keberlangsungan hidup dan kehidupan nilai-nilai adat nagari. Bahkan, seharusnya 
perda propinsi tentang nagari juga berisi tentang kewajiban bagi pemerintah 
propinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk memfasilitasi nagari agar berjalan 
sesuai dengan adat salingka nagari-nya. 

Kemudian, Perda tentang nagari juga jangan sampai memaksakan satu bentuk sistem 
demokrasi kepada seluruh nagari. Pemaksaan satu bentuk sistem demokrasi juga 
akan berujung dengan pembunuhan terhadap karakter adat salingka nagari. Salah 
satu contoh pemaksaan ini ada pemilihan wali nagari secara langsung sebagaimana 
dimuat dalam Pasal 7 Ranpeda nagari. Pemilihan secara langsung memang 
demokratis, tapi ini bukanlah satu-satunya bentuk demokrasi. Pemilihan pimpinan 
secara perwakilan juga demokrasi bukan? 

Lalu kenapa pemilihan wali nagari mesti dipaksakan secara langsung? Bukankah 
ini lebih baik diserahkan kepada masing-masing nagari untuk menentukan sesuai 
dengan adat salingka nagari dan hak asal-usulnya? UU No. 32/2004 juga membuka 
ruang untuk ini. Pasal 203 ayat (3) UU ini menyatakan bahwa “Pemilihan kepala 
desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang 
masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat 
yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.” 

Ketentuan Pasal diatas tidak sekedar memberikan ruang untuk dipilihnya wali 
nagari sesuai dengan adat salingka nagari, tapi lebih dari itu yaitu memberikan 
ruang untuk hidupnya kembali republik-republik mini di ranah ini. Ketika UU 
memberi ruang bagi Pemerintah Propinsi Sumbar untuk menfasilitasi hidupnya 
kembali republik-republik mini tersebut, kenapa ia harus tetap dibiarkan 
terkubur dengan cara melakukan sentralisasi dan penyeragaman terhadap 
pemerintahan nagari? Bukankah menyeragamkan sistem pemilihan disamping membunuh 
keberadaan adat salingka nagari, juga menjauhkan masyarakat adat Minangkabau 
dari demokrasi mereka sendiri? 

Apakah kita sadar melepaskan identitas demokrasi sendiri yang sangat bagus dan 
mengambil identitas demokrasi lain yang tidak sedikit meninggalkan konflik 
dalam kehidupan masyarakat di nagari? Lihatlah berbagai konflik yang terjadi 
antara kelompok adat (baca:KAN) dengan wali nagari di berbagai nagari! Ada wali 
nagari yang membubarkan KAN dan ada juga wali nagari yang membuat KAN sendiri. 
Bukankah konflik ini dipicu oleh kealpaan kita akan demokrasi di nagari? Wali 
nagari yang dipilih secara langsung merasa mempunyai legitimasi yang sangat 
kuat sehingga ia merasa berwenang membubarkan KAN. 

Akhirnya konflikpun harus menghiasi demokrasi “yang dipaksakan”. Alangkah 
indahnya bila Perda tentang nagari memberikan ruang bagi masing-masing nagari 
untuk menentukan sistem demokrasi mereka sesuai dengan adat salingka nagari. 
Bukankah ruang konflik lebih kecil, bahkan ruang ini akan membuka kesempatan 
bagi masyarakat adat nagari untuk kreatif berpikir tentang adat mereka? 

Kemudian terkait dengan keberadaan masyarakat hukum adat yang ada di Mentawai. 
Keberadaan Perda nagari sebagai pengaturan tentang pemerintahan terendah di 
Sumbar tentunya sangat diskriminatif. Bukankah Mentawai juga merupakan bagian 
daerah Sumatera Barat dimana masyarakat adatnya juga harus dilindungi? Lalu, 
kenapa pengaturan tentang pemerintahan terendah di Sumbar harus dinamakan 
dengan Perda tentang pemerintahan nagari? Padahal antara masyarakat adat 
Minangkabau dan masyarakat adat Mentawai adalah dua entitas adat yang harus 
sama-sama diakui dan dilindungi oleh pemerintah daerah propinsi bukan? 

Jika pembuat Perda konsisten dengan semangat adat salingka nagari, maka 
disinilah akan terasa indahnya semangat tersebut. Semangat pluralitas budaya 
dan adat bisa dipupuk dengan semangat ini. Ketaatan pembuat Perda akan semangat 
ini tentunya akan membuka ruang selebar-lebarnya bagi penghormatan terhadap 
seluruh masyarakat adat yang ada di Sumatera Barat, termasuk masyarakat adat 
Mentawai. 

Kalau Perda tentang nagari yang sekarang sedang dibahas mengikuti alur berpikir 
diatas, maka Perda yang akan dibuat sebagai gantinya adalah Perda tentang 
Pemerintahan Terendah di Sumatera Barat, bukan Perda tentang Nagari. Perda 
tentang Nagari ataupun Perda tentang Langgai di Mentawai akan diatur di tingkat 
kabupaten/kota. 

Tidak ada cara lain untuk menghormati dan mengakui adat salingka nagari selain 
merubah regulasi tentang nagari menjadi regulasi tentang pemerintahan terendah. 
Agar maksud ini memang betul-betul tercapai, maka pemerintah propinsi juga 
harus mengawal agar semangat ini tetap konsisten dan dipakai oleh para 
pengambil kebijakan ditingkat kabupaten/kota. Jika tidak demikian, kita tinggal 
menyediakan batu nisan buat adat salingka nagari bukan? 

* Penulis adalah Kadiv. Hak Masyarakat Adat PBHI Sumbar, anggota PALAM Sumbar.  
  

                                
---------------------------------
Get your own web address for just $1.99/1st yr. We'll help. Yahoo! Small 
Business.
--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================

Kirim email ke