PEACE
"Mari Kita Perjuangkan Masa Depan INDONESIA"
salam
FRAREV SITORUS
On Sat, 5 Jun 1999, A. Syamil wrote:
> Salam Permias,
>
> Saya sampaikan berita dari Surabaya Pos.
> Selamat menyimak.
>
> Jabat erat,
>
> Ahmad Syamil
> Toledo, OH
>
> *********************************************
>
> Melihat Indonesia di Tangan Mega
>
>
> PERCAYA atau tidak, banyak orang mulai bertanya begini:
> "Bagaimana ya nantinya Indonesia di tangan Mega?" Pertanyaan ini
> tidak saja muncul dari luar kandang PDI Perjuangan (PDI-P), tapi
> juga dari para pejuang banteng sendiri. Mengapa? Tentu saja
> karena Mega adalah kandidat presiden yang paling diperhitungkan
> saat ini, dibanding Wiranto, Amien Rais, atau Gus Dur sekalipun.
> Satu lagi --ini yang mengkhawatirkan--, lantaran konflik internal
> yang dahsyat sekaligus ultrapelik di tubuh banteng bermulut putih
> itu disinyalir juga bakal berimbas pada keutuhan bangsa ini. Itu
> sebabnya, nasib Indonesia dan PDI-P sendiri bakal juga ditentukan
> performance pribadi serta politik Mega. Apa maksudnya? DALAM
> sebuah percakapan di kafe hotel berbintang, seorang pengurus
> teras PDI-P sempat berkeluh kesah kepada Surabaya Post. Kata
> salah satu tokoh penting PDI-P ini, Mega sekarang sudah berubah,
> tak seperti dulu lagi. Putri Bung Karno ini mengambil jarak
> dengan banyak orang, bahkan yang dulu mendukungnya mati-matian
> dengan risiko darah bahkan nyawa. "Saya dulu bebas masuk ke
> ruangan Mbak Mega. Ya makan bersama, ngomong-ngomong enak. Jadi
> enak saja kalau mau ketemu Mbak Mega. Tapi sekarang? Ibaratnya,
> makan semeja saja sudah nggak bisa," ujarnya mengudar keluh.
> Keluhan serupa juga datang dari seorang kader PDI-P Surabaya,
> yang dua pekan lalu berangkat ke Jakarta hendak menjumpai
> pemimpin besarnya. Tapi apa mau dikata, di sekitar Mega ternyata
> berdiri pagar protokoler nan kukuh-ketat. "Begitu nyampai di
> kantor, saya dicegat orang DPP. Saya tidak diizinkan bertemu Ibu
> Mega. Katanya, pesan cukup disampaikan lewat dia...," ujarnya.
> Walhasil, sang kader musti menelan kecewa. Dia harus balik ke
> Surabaya tanpa sempat sedetik pun bertemu Mega. "Kok begitu ya?
> Perasaan, Ibu Mega dulu ndak begitu?" katanya lagi dengan nada
> tanya. Ada apa memangnya dengan Mega? Sebetulnya ini sudah
> rahasia umum dan terbeber jelas di media massa: bahwa kandang
> banteng perjuangan itu tengah gelisah oleh konflik internal.
> Sudah banyak terdengar bagaimana Mega dikepung beragam kubu yang
> diciptakan para pengikutnya. Sudah menjadi cerita lama pula
> bagaimana sang suami, Taufik Kiemas, amat ketat mengawal segenap
> kebijakan Mega. Begitu pula pertarungan klik Taufik dengan
> kelompok Haryanto Taslam, Soetardjo Soerjogoeritno, dan kelompok
> ITB (Laksamana Sukardi dan kawan-kawan). Belum lagi "pertarungan
> tradisional" unsur PNI dan Parkindo akibat tak tuntasnya fusi.
> Dan belakangan, seiring keputusan Mega mengibarkan PDI-P sebagai
> partai terbuka dan kebutuhan partai akan SDM yang siap pakai,
> datanglah rombongan pensiunan tentara dan bekas Golkar.
> Kedatangan para mantan pendukung gigih Orde Baru itu membuat
> kandang PDI-P kian pengap. Apalagi, kafilah terakhir ini --yang
> dimotori Mayjen Purn Theo Sjafei, Brigjen Purn Sembiring Meliala,
> Jakob Tobing, dan Prof Dimyati Hartono-- dinilai sukses
> mempengaruhi Mega, sampai-sampai geng Taufik sendiri nyap-nyap.
> Kubu-kubu itu saling berebut pengaruh ke Mega. Dan repotnya,
> seperti diungkapkan pakar politik dari UI, Eep Syaefulloh Fatah,
> Mega bukanlah manajer konflik yang baik. Maka, jadilah Mega
> terpencil kesepian di tengah pusaran konflik para pengikutnya.
> "Akibatnya ya itu, Mbak Mega jadi menjaga jarak dengan semua
> pihak. Sekarang ini, yang diajak omong Ibu Mega cuma Kwik Kian
> Gie, karena dia dinilai paling netral dan jernih. Nggak punya
> ambisi apa pun, kepingin jadi menteri saja tidak, apalagi cuma
> caleg," kata kader PDI-P yang tak mau disebut namanya. Ini
> diperparah oleh gaya masing-masing kubu yang di mana-mana
> mengklaim paling dekat dengan Mega. "Mereka memagari Ibu Mega
> sedemikian ketat, sehingga kami-kami ini nggak bisa lagi leluasa
> bertemu beliau," ujar kader itu lagi. Pertarungan Intern Yang
> jadi persoalan, menjelang proses pemilu --terutama masa
> penyusunan caleg-- pertempuran itu menjadi kian sengit dan
> cenderung susah dikontrol. Masing-masing kubu, melalui kaki
> tangannya di daerah-daerah, saling melakukan gerilya dalam
> penentuan caleg. Tak heran kalau kemudian meruyak banyak protes
> dari daerah. Sebabnya macam-macam, tapi menjurus ke satu arah:
> distribusi kue kekuasaan yang tak merata dan cenderung
> meninggalkan kader-kader lama yang telah berjuang sekian tahun di
> sisi Mega. Dalam penyusunan caleg misalnya. Banyak kader lawas
> yang militan tersingkir. Sementara pendatang baru dari eks
> tentara-Golkar merajalela. Tercatat, paling tidak 28 eks
> tentara-Golkar yang ada di DPP --terutama di Litbang-- sukses
> menjadi caleg. Belum lagi di daerah-daerah. Belum lagi kasus
> money politics atau nepotisme. Pencantuman sejumlah kerabat
> Taufik Kiemas, Yahya Nasution, atau Sabam Sirait sebagai caleg
> membuahkan belasan protes dari daerah pemilihannya. Namun apa
> daya, ketidakpuasan itu rontok terpangkas dengan berlindung di
> balik otoritas Mega. "Tapi beberapa protes itu juga tak lagi
> murni. Mereka memang kecewa, lalu dikompori salah satu kubu elite
> sebagai alat menyerang lawan kubunya," kata sumber Surabaya Post.
> Dan ini lagi. Diam-diam, yang sekarang dibidik bukan cuma kursi
> dewan, tapi sudah kabinet. Sejumlah elite PDI-P mulai kasak-kusuk
> membicarakan peluang masuk kabinet. "Sudah bukan rahasia lagi. Ke
> mana-mana sejumlah elite partai sudah berani mengaku akan masuk
> kabinet," kata sumber Surabaya Post sembari menyebut beberapa
> nama. Mengapa pertarungan kian mengeras? Ternyata bukan melulu
> lantaran fenomena rutin menjelang pemilu. Ada sebab lain yang
> cukup mengejutkan. Seorang fungsionaris PDI-P, dengan wanti-wanti
> agar tak disebut identitasnya, mengatakan, perebutan kursi (baik
> caleg maupun kabinet) menjadi kian panas lantaran lima tahun
> pascapemilu mendatang adalah saat yang amat menentukan, baik
> untuk PDI-P maupun karier politik mereka sendiri. "Entah lima
> tahun lagi setelah itu, keadaan bisa berubah. Karena itu, mereka
> sedapat mungkin memetik buahnya sekarang, mumpung masih ada,"
> katanya. Apa artinya ini? Ada semacam kegamangan dalam melihat
> masa depan PDI-P. Lebih jelasnya, seperti diungkapkan
> fungsionaris tadi, ada semacam pesimisme di kalangan elite PDI-P
> apakah lima tahun mendatang partai ini akan tetap sebesar
> sekarang. Masing-masing kubu agaknya sama-sama mafhum, Mega bakal
> kesulitan mengemudikan partainya jika kondisi internal
> berantakan. Implikasinya, agak susah mempertahankan simpati massa
> yang pada lima tahun mendatang sangat boleh jadi sudah berubah
> orientasi politiknya. "Karena itu, royokan jabatan dan pengaruh
> juga makin menjadi-jadi. Istilahnya, kapan lagi kalau bukan
> sekarang?" ujarnya dengan wajah sedih. Disintegrasi Bangsa Pakar
> politik dari UGM Dr Riswandha Imawan menjelaskannya dengan pas.
> Kalau kondisi ini dibiarkan terus dan Mega tak segera mampu
> menyembuhkan penyakit internal ini, menurut Riswandha, harga
> paling murah yang harus dibayar PDI-P adalah ditinggalkan
> pemilihnya pada pemilu lima tahun mendatang. Tapi, lanjut dia,
> ongkos yang mutlak diperhatikan adalah yang harus dibayar bangsa
> ini jika Mega terpilih menjadi presiden. Dengan belitan konflik
> intern para pengikutnya yang separah itu, kata Riswandha,
> bisa-bisa seluruh bangsa ini harus ikut membayarnya. Dan
> harganya, duh, teramat mahal: disintegrasi bangsa. "Selama ini,
> pendukung PDI-P banyak menaruh harapan pada partai ini untuk
> mengentas rakyat dari jurang krisis yang sudah sampai ke leher.
> Kalau ternyata nanti Mega nggak mampu memenuhi harapan itu,
> kemarahan rakyat akan memuncak. Akibatnya, apalagi kalau bukan
> disintegrasi bangsa, sesuatu yang justru ditentang Mega
> habis-habisan," ujar Riswandha. Mengapa Riswandha memberi sinyal
> yang begitu mendebarkan? "Bagaimana Mega mampu memimpin bangsa
> ini kalau menuntaskan problem partainya sendiri saja nggak mampu?
> Bagaimana Mega mampu mengurusi bangsa ini kalau dia tetap saja
> direcoki pertikaian para pendukungnya yang pada rebutan kekuasaan
> itu? Inilah ujian Mega yang sesungguhnya sebelum menjadi
> presiden," kata pengamat kelahiran Madura itu. Lalu apa yang
> harus dilakukan Mega? "Mega ndak boleh lagi diam. Kepemimpinannya
> harus dibuktikan sekarang untuk mencegah konflik internal yang
> bisa membesar ke arah disintegrasi," tegas Riswandha lagi. Di
> sisi lain, seperti sempat diungkapkan beberapa kader PDI-P, di
> antaranya kader yang gagal bertemu Mega tadi, muncul kekhawatiran
> di kalangan PDI-P sendiri. Dengan gaya politik Mega yang susah
> ditebak dan tipologi konflik intern yang mirip-mirip zaman Orba
> (Soeharto) itu, jika berkuasa Mega dikhawatirkan akan terjebak
> menjadi Orba Jilid II. Bagaimana tidak? Dengan merendahkan nada
> bicaranya, kader itu mengatakan, Soeharto dulu juga melakukan hal
> yang sama dengan Mega. Di antaranya, enggan terbuka dan cenderung
> membangun lingkaran pengikut yang kekuasaannya mengatasi struktur
> organisasi resmi. Dia menunjuk contoh aspri Soeharto (Ali
> Moertopo, Soedjono Humardani dkk.) yang kekuasaannya melebihi
> para menteri. Dan cara-cara seperti itu tetap digunakan Soeharto
> hingga menjelang lengser. Belum lagi tipologi konflik intern
> PDI-P, seperti gejala nepotisme, dugaan money politics, serta
> fenomena top down dalam membagi kue kekuasaan, yang lagi-lagi
> merupakan gaya Soeharto yang diterapkan di semua bidang, mulai
> Golkar, birokrasi, sampai ABRI. "Ya kalau nggak ada perubahan,
> kayaknya sih bisa-bisa seperti Orde Baru. Tapi semoga saja
> tidak," kata kader PDI-P itu. Sekarang, ancaman itu memang belum
> terasa. Mega masih belum jelas akan terpilih menjadi presiden
> atau tidak. Ia juga masih mampu menyamarkan konflik internal itu
> dengan kharisma dan pengaruhnya. Sebagaimana diakui Ir Heri
> Akhmadi, mantan aktivis mahasiswa Angkatan 1978 yang kini menjadi
> caleg PDI-P untuk DPR RI dari daerah pemilihan Ponorogo,
> persoalan dalam tubuh elite PDI-P akan mudah diselesaikan karena
> figur Mega. "Kalau ada persoalan, tinggal diserahkan ke Ibu Mega.
> Semua akan beres jika Bu Mega yang membuat keputusan. Kalau mau,
> Bu Mega tinggal mencopot orang-orang itu dan permasalahan segera
> selesai," katanya. Tapi, sampai kapan semuanya digantungkan hanya
> pada seorang Mega? Tidakkah ongkosnya terlalu mahal, karena
> menyangkut nasib bangsa jika Mega benar-benar terpilih menjadi
> presiden? (Nanang Krisdinanto, Sunudyantoro, Dwi Eko Lokononto,
> Budi Hendrarto)
>
> Surabaya Post Daily Newspaper
>