Salam Permias,

Saya sampaikan berita dari Surabaya Pos.
Selamat menyimak.

Jabat erat,

Ahmad Syamil
Toledo, OH

*********************************************

Melihat Indonesia di Tangan Mega


     PERCAYA atau tidak, banyak orang mulai bertanya begini:
     "Bagaimana ya nantinya Indonesia di tangan Mega?" Pertanyaan ini
     tidak saja muncul dari luar kandang PDI Perjuangan (PDI-P), tapi
     juga dari para pejuang banteng sendiri. Mengapa? Tentu saja
     karena Mega adalah kandidat presiden yang paling diperhitungkan
     saat ini, dibanding Wiranto, Amien Rais, atau Gus Dur sekalipun.
     Satu lagi --ini yang mengkhawatirkan--, lantaran konflik internal
     yang dahsyat sekaligus ultrapelik di tubuh banteng bermulut putih
     itu disinyalir juga bakal berimbas pada keutuhan bangsa ini. Itu
     sebabnya, nasib Indonesia dan PDI-P sendiri bakal juga ditentukan
     performance pribadi serta politik Mega. Apa maksudnya? DALAM
     sebuah percakapan di kafe hotel berbintang, seorang pengurus
     teras PDI-P sempat berkeluh kesah kepada Surabaya Post. Kata
     salah satu tokoh penting PDI-P ini, Mega sekarang sudah berubah,
     tak seperti dulu lagi. Putri Bung Karno ini mengambil jarak
     dengan banyak orang, bahkan yang dulu mendukungnya mati-matian
     dengan risiko darah bahkan nyawa. "Saya dulu bebas masuk ke
     ruangan Mbak Mega. Ya makan bersama, ngomong-ngomong enak. Jadi
     enak saja kalau mau ketemu Mbak Mega. Tapi sekarang? Ibaratnya,
     makan semeja saja sudah nggak bisa," ujarnya mengudar keluh.
     Keluhan serupa juga datang dari seorang kader PDI-P Surabaya,
     yang dua pekan lalu berangkat ke Jakarta hendak menjumpai
     pemimpin besarnya. Tapi apa mau dikata, di sekitar Mega ternyata
     berdiri pagar protokoler nan kukuh-ketat. "Begitu nyampai di
     kantor, saya dicegat orang DPP. Saya tidak diizinkan bertemu Ibu
     Mega. Katanya, pesan cukup disampaikan lewat dia...," ujarnya.
     Walhasil, sang kader musti menelan kecewa. Dia harus balik ke
     Surabaya tanpa sempat sedetik pun bertemu Mega. "Kok begitu ya?
     Perasaan, Ibu Mega dulu ndak begitu?" katanya lagi dengan nada
     tanya. Ada apa memangnya dengan Mega? Sebetulnya ini sudah
     rahasia umum dan terbeber jelas di media massa: bahwa kandang
     banteng perjuangan itu tengah gelisah oleh konflik internal.
     Sudah banyak terdengar bagaimana Mega dikepung beragam kubu yang
     diciptakan para pengikutnya. Sudah menjadi cerita lama pula
     bagaimana sang suami, Taufik Kiemas, amat ketat mengawal segenap
     kebijakan Mega. Begitu pula pertarungan klik Taufik dengan
     kelompok Haryanto Taslam, Soetardjo Soerjogoeritno, dan kelompok
     ITB (Laksamana Sukardi dan kawan-kawan). Belum lagi "pertarungan
     tradisional" unsur PNI dan Parkindo akibat tak tuntasnya fusi.
     Dan belakangan, seiring keputusan Mega mengibarkan PDI-P sebagai
     partai terbuka dan kebutuhan partai akan SDM yang siap pakai,
     datanglah rombongan pensiunan tentara dan bekas Golkar.
     Kedatangan para mantan pendukung gigih Orde Baru itu membuat
     kandang PDI-P kian pengap. Apalagi, kafilah terakhir ini --yang
     dimotori Mayjen Purn Theo Sjafei, Brigjen Purn Sembiring Meliala,
     Jakob Tobing, dan Prof Dimyati Hartono-- dinilai sukses
     mempengaruhi Mega, sampai-sampai geng Taufik sendiri nyap-nyap.
     Kubu-kubu itu saling berebut pengaruh ke Mega. Dan repotnya,
     seperti diungkapkan pakar politik dari UI, Eep Syaefulloh Fatah,
     Mega bukanlah manajer konflik yang baik. Maka, jadilah Mega
     terpencil kesepian di tengah pusaran konflik para pengikutnya.
     "Akibatnya ya itu, Mbak Mega jadi menjaga jarak dengan semua
     pihak. Sekarang ini, yang diajak omong Ibu Mega cuma Kwik Kian
     Gie, karena dia dinilai paling netral dan jernih. Nggak punya
     ambisi apa pun, kepingin jadi menteri saja tidak, apalagi cuma
     caleg," kata kader PDI-P yang tak mau disebut namanya. Ini
     diperparah oleh gaya masing-masing kubu yang di mana-mana
     mengklaim paling dekat dengan Mega. "Mereka memagari Ibu Mega
     sedemikian ketat, sehingga kami-kami ini nggak bisa lagi leluasa
     bertemu beliau," ujar kader itu lagi. Pertarungan Intern Yang
     jadi persoalan, menjelang proses pemilu --terutama masa
     penyusunan caleg-- pertempuran itu menjadi kian sengit dan
     cenderung susah dikontrol. Masing-masing kubu, melalui kaki
     tangannya di daerah-daerah, saling melakukan gerilya dalam
     penentuan caleg. Tak heran kalau kemudian meruyak banyak protes
     dari daerah. Sebabnya macam-macam, tapi menjurus ke satu arah:
     distribusi kue kekuasaan yang tak merata dan cenderung
     meninggalkan kader-kader lama yang telah berjuang sekian tahun di
     sisi Mega. Dalam penyusunan caleg misalnya. Banyak kader lawas
     yang militan tersingkir. Sementara pendatang baru dari eks
     tentara-Golkar merajalela. Tercatat, paling tidak 28 eks
     tentara-Golkar yang ada di DPP --terutama di Litbang-- sukses
     menjadi caleg. Belum lagi di daerah-daerah. Belum lagi kasus
     money politics atau nepotisme. Pencantuman sejumlah kerabat
     Taufik Kiemas, Yahya Nasution, atau Sabam Sirait sebagai caleg
     membuahkan belasan protes dari daerah pemilihannya. Namun apa
     daya, ketidakpuasan itu rontok terpangkas dengan berlindung di
     balik otoritas Mega. "Tapi beberapa protes itu juga tak lagi
     murni. Mereka memang kecewa, lalu dikompori salah satu kubu elite
     sebagai alat menyerang lawan kubunya," kata sumber Surabaya Post.
     Dan ini lagi. Diam-diam, yang sekarang dibidik bukan cuma kursi
     dewan, tapi sudah kabinet. Sejumlah elite PDI-P mulai kasak-kusuk
     membicarakan peluang masuk kabinet. "Sudah bukan rahasia lagi. Ke
     mana-mana sejumlah elite partai sudah berani mengaku akan masuk
     kabinet," kata sumber Surabaya Post sembari menyebut beberapa
     nama. Mengapa pertarungan kian mengeras? Ternyata bukan melulu
     lantaran fenomena rutin menjelang pemilu. Ada sebab lain yang
     cukup mengejutkan. Seorang fungsionaris PDI-P, dengan wanti-wanti
     agar tak disebut identitasnya, mengatakan, perebutan kursi (baik
     caleg maupun kabinet) menjadi kian panas lantaran lima tahun
     pascapemilu mendatang adalah saat yang amat menentukan, baik
     untuk PDI-P maupun karier politik mereka sendiri. "Entah lima
     tahun lagi setelah itu, keadaan bisa berubah. Karena itu, mereka
     sedapat mungkin memetik buahnya sekarang, mumpung masih ada,"
     katanya. Apa artinya ini? Ada semacam kegamangan dalam melihat
     masa depan PDI-P. Lebih jelasnya, seperti diungkapkan
     fungsionaris tadi, ada semacam pesimisme di kalangan elite PDI-P
     apakah lima tahun mendatang partai ini akan tetap sebesar
     sekarang. Masing-masing kubu agaknya sama-sama mafhum, Mega bakal
     kesulitan mengemudikan partainya jika kondisi internal
     berantakan. Implikasinya, agak susah mempertahankan simpati massa
     yang pada lima tahun mendatang sangat boleh jadi sudah berubah
     orientasi politiknya. "Karena itu, royokan jabatan dan pengaruh
     juga makin menjadi-jadi. Istilahnya, kapan lagi kalau bukan
     sekarang?" ujarnya dengan wajah sedih. Disintegrasi Bangsa Pakar
     politik dari UGM Dr Riswandha Imawan menjelaskannya dengan pas.
     Kalau kondisi ini dibiarkan terus dan Mega tak segera mampu
     menyembuhkan penyakit internal ini, menurut Riswandha, harga
     paling murah yang harus dibayar PDI-P adalah ditinggalkan
     pemilihnya pada pemilu lima tahun mendatang. Tapi, lanjut dia,
     ongkos yang mutlak diperhatikan adalah yang harus dibayar bangsa
     ini jika Mega terpilih menjadi presiden. Dengan belitan konflik
     intern para pengikutnya yang separah itu, kata Riswandha,
     bisa-bisa seluruh bangsa ini harus ikut membayarnya. Dan
     harganya, duh, teramat mahal: disintegrasi bangsa. "Selama ini,
     pendukung PDI-P banyak menaruh harapan pada partai ini untuk
     mengentas rakyat dari jurang krisis yang sudah sampai ke leher.
     Kalau ternyata nanti Mega nggak mampu memenuhi harapan itu,
     kemarahan rakyat akan memuncak. Akibatnya, apalagi kalau bukan
     disintegrasi bangsa, sesuatu yang justru ditentang Mega
     habis-habisan," ujar Riswandha. Mengapa Riswandha memberi sinyal
     yang begitu mendebarkan? "Bagaimana Mega mampu memimpin bangsa
     ini kalau menuntaskan problem partainya sendiri saja nggak mampu?
     Bagaimana Mega mampu mengurusi bangsa ini kalau dia tetap saja
     direcoki pertikaian para pendukungnya yang pada rebutan kekuasaan
     itu? Inilah ujian Mega yang sesungguhnya sebelum menjadi
     presiden," kata pengamat kelahiran Madura itu. Lalu apa yang
     harus dilakukan Mega? "Mega ndak boleh lagi diam. Kepemimpinannya
     harus dibuktikan sekarang untuk mencegah konflik internal yang
     bisa membesar ke arah disintegrasi," tegas Riswandha lagi. Di
     sisi lain, seperti sempat diungkapkan beberapa kader PDI-P, di
     antaranya kader yang gagal bertemu Mega tadi, muncul kekhawatiran
     di kalangan PDI-P sendiri. Dengan gaya politik Mega yang susah
     ditebak dan tipologi konflik intern yang mirip-mirip zaman Orba
     (Soeharto) itu, jika berkuasa Mega dikhawatirkan akan terjebak
     menjadi Orba Jilid II. Bagaimana tidak? Dengan merendahkan nada
     bicaranya, kader itu mengatakan, Soeharto dulu juga melakukan hal
     yang sama dengan Mega. Di antaranya, enggan terbuka dan cenderung
     membangun lingkaran pengikut yang kekuasaannya mengatasi struktur
     organisasi resmi. Dia menunjuk contoh aspri Soeharto (Ali
     Moertopo, Soedjono Humardani dkk.) yang kekuasaannya melebihi
     para menteri. Dan cara-cara seperti itu tetap digunakan Soeharto
     hingga menjelang lengser. Belum lagi tipologi konflik intern
     PDI-P, seperti gejala nepotisme, dugaan money politics, serta
     fenomena top down dalam membagi kue kekuasaan, yang lagi-lagi
     merupakan gaya Soeharto yang diterapkan di semua bidang, mulai
     Golkar, birokrasi, sampai ABRI. "Ya kalau nggak ada perubahan,
     kayaknya sih bisa-bisa seperti Orde Baru. Tapi semoga saja
     tidak," kata kader PDI-P itu. Sekarang, ancaman itu memang belum
     terasa. Mega masih belum jelas akan terpilih menjadi presiden
     atau tidak. Ia juga masih mampu menyamarkan konflik internal itu
     dengan kharisma dan pengaruhnya. Sebagaimana diakui Ir Heri
     Akhmadi, mantan aktivis mahasiswa Angkatan 1978 yang kini menjadi
     caleg PDI-P untuk DPR RI dari daerah pemilihan Ponorogo,
     persoalan dalam tubuh elite PDI-P akan mudah diselesaikan karena
     figur Mega. "Kalau ada persoalan, tinggal diserahkan ke Ibu Mega.
     Semua akan beres jika Bu Mega yang membuat keputusan. Kalau mau,
     Bu Mega tinggal mencopot orang-orang itu dan permasalahan segera
     selesai," katanya. Tapi, sampai kapan semuanya digantungkan hanya
     pada seorang Mega? Tidakkah ongkosnya terlalu mahal, karena
     menyangkut nasib bangsa jika Mega benar-benar terpilih menjadi
     presiden? (Nanang Krisdinanto, Sunudyantoro, Dwi Eko Lokononto,
     Budi Hendrarto)

           Surabaya Post Daily Newspaper

Kirim email ke