Dengan beasiswa Rp 1 juta per anak per tahun, berarti kalau 1 kelas 
ada 40 anak ada beasiswa Rp 40 juta per kelas per tahun.

Andaikan 1 kelas diajar 2 guru, dan 1 guru gajinya Rp 1 juta/bulan, 
maka ada Rp 24 juta per bulan untuk gaji guru (padahal guru bantu 
hanya rp 460 ribu per bulan). Jadi masih ada sisa Rp 16 juta dalam 
setahun untuk 1 kelas. Kalau 10 tahun ruang kelas direnovasi, akan 
terkumpul Rp 160 juta buat renovasi.

Training guru? Memangnya training tiap tahun? Biayanya juga tidak 
lebih dari Rp 1 juta. Umumnya calon guru belajar dgn biaya sendiri. 
Contohnya, istri saya yang bekerja sebagai guru TK, kuliah dgn biaya 
sendiri. Sekolah tinggal terima bersih.

Untuk perpustakaan? Umumnya tiap murid diminta menyumbang buku (saya 
pernah menyumbang). Kemudian buku, para murid sekarang beli sendiri. 
Harga buku berapa memangnya bu Fauziah?

Itu baru dari uang pemerintah kalau Rp 10 trilyun tidak diutak-atik. 
Ternyata, jumlah siswa di Indonesia tidak lebih dari 24 juta anak. 
Sebagian sekolah di sekolah swasta. Maka berarti beban pemerintah 
lebih ringan lagi.

Dengan uang pangkal dan spp yang murah, maka dana sekolah sudah 
mencukupi. Apalagi dgn uang pangkal yang anda bilang Rp 3 juta dan 
SPP Rp 100 ribu per bulan.

Memang ini harus diselidiki lagi. Dulu sekolah negeri bisa murah. 
Kenapa sekarang tidak?


Mempertanyakan Akuntabilitas Dana Pendidikan 


SEANDAINYA aktor-aktor negara konsisten menjalankan konstitusi, 
keluhan tentang gaji guru yang rendah, masalah anak-anak miskin yang 
tidak bisa bersekolah, sekolah gratis untuk pendidikan wajib (SD dan 
SMP) tidak bakal ada masalah lagi. Dengan dalih anggaran terbatas, 
konstitusi dilanggar. Ketentuan UUD bahwa alokasi anggaran 
pendidikan minimal 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja 
Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dilanggar.

PENDIDIKAN ternyata tidak dianggap penting, baik oleh penguasa di 
pemerintahan pusat, daerah, sampai di tingkat sekolah. Masyarakat 
dibiarkan menunggu janji alokasi 20 persen anggaran pendidikan mulai 
direalisasikan pada tahun 2009.

Sejumlah daerah memang mengklaim telah mengalokasikan 20 persen dana 
APBD untuk pendidikan. Akan tetapi, ternyata komponen gaji guru 
dimasukkan di dalamnya. Anggaran di tingkat sekolah sama saja. Di 
sekolah-sekolah negeri, sebagian besar dana yang dihimpun dari 
masyarakat juga dipergunakan untuk menambah kesejahteraan guru dan 
segala tetek bengek yang tidak ada kaitan langsung dengan 
peningkatan mutu pendidikan.

Berapakah biaya per unit yang wajar untuk pendidikan bermutu 
standar? Staf pengajar Universitas Muhammadiyah HAMKA Jakarta 
Abdorrakhman Gintings mengemukakan, sebuah sekolah swasta yang 
tergolong bermutu di Medan hanya memungut biaya rata-rata Rp 100.000 
kepada siswanya. Bila jumlah siswa di Indonesia total 24 juta anak, 
dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pendidikan bermutu hanya 
Rp 28,8 triliun. Dengan dana pendidikan di APBN sebesar Rp 39 
triliun, masih ada sisa sekitar Rp 10,2 triliun.

"Silakan yang Rp 10 triliun akan digunakan untuk apa. Untuk bohong-
bohongan, silakan saja, karena kita sudah bisa punya sekolah 
bermutu. Namun, uangnya benar-benar diserahkan ke sekolah, jangan 
lewat dinas," kata Gintings.

Pembiayaan pendidikan selama ini berada di wilayah abu-abu. 
Ketentuan tentang siapa yang bertanggung jawab dalam pembiayaan 
pendidikan sejak awal sudah salah kaprah. Undang-Undang Sistem 
Pendidikan Nasional Pasal 46 Ayat (1) menyatakan bahwa pendanaan 
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, 
pemerintah daerah, dan masyarakat. Ketentuan ini kemudian 
diterjemahkan bahwa tanggung jawab pemerintah dalam membiayai 
penyelenggaraan sekolah negeri hanya separuh, sisanya diambil dari 
masyarakat. Tidak peduli apakah sekolah itu pada jenjang pendidikan 
wajib atau tidak.

Pungutan dari masyarakat menjadi sebuah keharusan yang membuat biaya 
sekolah negeri menjadi semakin mahal, perilakunya tidak berbeda 
dengan sekolah swasta sehingga akses orang miskin untuk memperoleh 
pendidikan yang baik makin tertutup. Sekolah swasta mulai 
memperlakukan pendidikan seperti barang dagangan lainnya, seperti 
sabun, sampo, kulkas, atau televisi. Pendidikan pun mahal, 
pengeluaran untuk sekolah tidak sebanding dengan pendapatan yang 
diperoleh kelak ketika ia lulus.

PENDIDIKAN menurut ketentuan undang-undang merupakan kewenangan 
pemerintah daerah. Akan tetapi, sejauh ini belum ada perubahan 
berarti di lapangan. Cara pembagian anggaran dan pengelolaannya 
masih seperti dulu.

Otonomi daerah justru sering dituding sebagai kambing hitam 
pendidikan yang makin terpuruk pascareformasi. Jabatan kepala dinas 
pendidikan diisi oleh orang-orang yang tidak punya kompetensi bidang 
pendidikan. Pejabat yang seumur-umur mengurusi pasar atau kuburan 
diangkat untuk menjadi kepala dinas pendidikan. Anggaran yang 
dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan guru dipergunakan untuk 
yang lain. Dana block grant yang diserahkan ke 
sekolah "dikoordinasikan" oleh dinas, yang ujung-ujungnya tidak 
tepat sasaran. Di sejumlah daerah, dana operasional untuk sekolah 
menurun atau sama sekali menghilang.

Hanya satu-dua daerah yang pandai menangkap peluang otonomi untuk 
memajukan rakyat di daerahnya, seperti Kabupaten Bantul (DI 
Yogyakarta) dan Jembrana (Bali). Lainnya, otonomi seolah tidak 
mengubah apa-apa. Struktur anggaran dan cara kerja birokrasi 
pendidikan nyaris seperti zaman yang telah berlalu. Malik Fadjar 
saat menjabat sebagai Mendiknas pernah mengeluarkan keputusan 
tentang standar pelayanan minimal bidang pendidikan yang harus 
dilakukan daerah, namun aturan ini cenderung mengedepankan ukuran-
ukuran kuantitatif dan belum menjadi komitmen di lapangan.

Departemen Pendidikan Nasional baru-baru ini membuat riset tentang 
pembiayaan pendidikan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, dan 
Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Meski APBD Kabupaten 
Musi Banyu Asin pada 2004 lebih tinggi dari APBD Kabupaten Sumedang, 
ternyata anggaran pendidikan Kabupaten Musi Banyuasin (termasuk gaji 
guru) lebih rendah daripada Sumedang. Dari total APBD sebesar Rp 
518,4 miliar, Musi Banyu Asin mengalokasikan Rp 102,8 miliar untuk 
pendidikan. Sementara APBD Sumedang Rp 428,8 miliar, sebesar Rp 209 
miliar dianggarkan untuk pendidikan.

Ketika komponen gaji guru dikeluarkan, anggaran pendidikan di kedua 
kabupaten itu masih sangat kecil. Di Kabupaten Sumedang 92 persen 
belanja pendidikan untuk gaji guru. Di luar gaji guru, anggaran yang 
tersisa untuk pendidikan hanya Rp 45,4 miliar. Sementara di 
Kabupaten Musi Banyuasin hanya Rp 30,1 miliar. Itu pun sebagian 
besar dialokasikan untuk birokrasi sehingga dana yang turun sampai 
ke sekolah sangat tidak memadai. Diskriminasi anggaran pun tampak 
jelas ketika kedua kabupaten memberikan kontribusi anggaran 
pemerintahan daerah yang sangat kecil pada madrasah, bahkan tidak 
memberikan kontribusi sama sekali untuk sekolah swasta.

Berapa dana yang rata-rata diterima sekolah dan siswa? Sangat kecil. 
Dana yang diberikan untuk SD tiap bulan di Musi Banyuasin hanya 
sekitar Rp 346.667 juta, sedangkan di Kabupaten Sumedang sebesar Rp 
722.629 juta. Dana yang dialokasikan untuk setiap siswa sekolah 
negeri di Sumedang hanya Rp 3.788 juta (SD), Rp 6.117 juta (SMP), Rp 
6.382 juta (SMA), dan Rp 11.091 juta (SMK). Sementara di Musi 
Banyuasin dana per siswa yang diberikan pemerintahan daerah hanya 
sebesar Rp 2.029 juta untuk siswa SD. Di Jenjang yang lebih atas 
agak lumayan Rp 14.835 juta untuk SMP, Rp 20.494 juta untuk SMA, dan 
Rp 28.412 juta untuk SMK.

Ada beberapa alternatif yang disarankan untuk memperbesar porsi 
anggaran belanja non-gaji, seperti reorganisasi dinas pendidikan 
dengan merampingkan jumlah pegawai dengan meningkatkan kinerjanya 
dan memperbesar rasio antara guru dan peserta didik. Di Kabupaten 
Sumedang, pegawai dinas pendidikan dinilai terlalu banyak dan hanya 
sebagian saja yang benar-benar memberikan kontribusi nyata terhadap 
organisasi tempat ia bekerja.

TIDAK jauh berbeda dengan anggaran pendidikan di pemerintahan, 
anggaran pendidikan di sekolah pun sebagian besar terserap untuk 
tambahan kesejahteraan guru, kegiatan administrasi, dan hal-hal yang 
tidak berhubungan langsung dengan peningkatan mutu. Sejumlah contoh 
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) dan 
realisasinya bisa dilihat dalam studi sumber-sumber keuangan 
pendidikan di luar anggaran pemerintah yang pernah dilakukan 
Departemen Pendidikan Nasional.

SD Negeri Kertajaya XII Surabaya, pada tahun 2003-2004 memperoleh 
pendapatan dari sumbangan murid sebesar Rp 147 juta dari sejumlah 91 
siswa dan dari donatur sebesar Rp 6.300.000. Dari dana tersebut, Rp 
144 juta dipergunakan untuk honor dan insentif guru, Rp 2,4 juta 
untuk tunjangan kesejahteraan, dan Rp 600.000 untuk keperluan 
transportasi. Di SD Negeri Ungaran I Semarang sumbangan yang ditarik 
dari masyarakat pada tahun 2003 mencapai Rp 100.950.000. Dari dana 
tersebut, Rp 43.760.000 dipergunakan untuk tambahan kesejahteraan 
guru.

Di SMP Negeri 6 Yogyakarta, pada tahun ajaran 2003-2004 dana yang 
dihimpun dari komite sekolah sebesar Rp 353.700.000, sejumlah Rp 
129.380.00 dialokasikan untuk honor dan kesejahteraan guru. Sebagian 
besar dana lainnya terserap untuk pengecatan gedung, pengadaan 
teralis, pemeliharaan gedung dan halaman sekolah, listrik, dan lain-
lain. Anggaran dari komite yang dialokasikan untuk peningkatan mutu 
pendidikan adalah pembelian komputer, printer, dan pemeliharaan 
komputer dan laboratorium bahasa.

Sumber ganda pembiayaan sekolah negeri, dari dana pemerintah dan 
dana masyarakat, merupakan penyebab keruwetan selama ini. Sekolah 
negeri yang pembiayaannya menjadi tanggung jawab pemerintah pada 
praktiknya justru berkompetisi dengan sekolah swasta dalam 
menggalang dana dari masyarakat. Komite sekolah bukannya menjadi 
pembela masyarakat, tetapi justru menjadi alat kepala sekolah untuk 
mempermainkan biaya pendidikan. Sebuah SMA negeri di Bandung 
memungut uang masuk pertama Rp 6 juta. Jumlah itu bahkan lebih besar 
daripada biaya masuk perguruan tinggi swasta.

Akuntabilitas pengelolaan dana pendidikan dari pusat, daerah sampai 
ke level sekolah menjadi pertanyaan. Anggaran yang dikeluarkan 
negara untuk pendidikan terus meningkat, biaya pendidikan yang 
ditanggung masyarakat makin mahal, tetapi mutu pendidikan begitu-
begitu saja, bahkan terus merosot. (P Bambang Wisudo)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/03/PendDN/1723746.htm
--- In ppiindia@yahoogroups.com, "fauziah swasono" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> --- In ppiindia@yahoogroups.com, A Nizami <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> > Satu hal lagi, di Kompas disebut bahwa anggaran
> > pendidikan kita Rp 39 trilyun setahun. Jumlah murid
> > ada 28,8 juta. Jadi seandainya ada beasiswa per siswa
> > Rp 1 juta setahun, maka cukup Rp 29 trilyun saja,
> > pendidikan sudah bisa murah/gratis (tanpa pakai
> > privatisasi segala). Masih ada sisa Rp 10 trilyun
> > (terserah mau diapakan:).
> > 
> Hehehehe... cara anda menulis kayak yang paling tau aja soal 
alokasi
> dana pendidikan. Memangnya yang diurusin cuma beasiswa anak SD? 
Terus
> biaya buat training guru, pembangunan fasilitas, pembinaan sekolah,
> gaji guru bantu/honorer, buku perpustakaan, dll dari mana? Semuanya
> dari anggaran tsb. Belum lagi untuk sekolah kejuruan, universitas, 
dll.
> 
> > Nah ini ada indikasi kebocoran. Jika uang disalurkan
> > tidak melalui dinas kependidikan, tapi langsung ke
> > sekolah, maka kebocoran bisa ditekan, begitu menurut
> > Kompas.
> > 
> 
> Begitukah? Ada buktinya? Di Indonesia saya melihat kebocoran itu
> hampir merata dimana2, dibedakan "salurannya" tetap aja saluran 
yang
> bolong2... Mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang penting. 
> Anak saya sekali pernah masuk sebuah SDN di Jakarta Timur, bayar 
uang
> pangkal 3 juta, beli buku 300 ribu persemester (buku terbitan 
sekolah
> itu sendiri) dan sebulan tidak kurang 100 ribu biaya macem2nya.
> Mutunya? menyedihkan...
> 
> salam,
> fau





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke