Koran Mingguan Tokoh Denpasar, Bali =============== Perempuan “Waitress” Cafe:Malam Berpeluh tanpa Keluh
Malam itu di sebuah rumah minum (cafe) yang dibangun di antara persawahan Desa Sangket, Buleleng, tepat di sisi barat jalan utama Singaraja-Denpasar, musik berdetak keras. Lagu-lagu mengalun sumbang dari penyanyi-penyanyi amatiran dengan iringan CD musik minus one (karaoke). Reni —paling tidak, itulah nama yang disebut ketika berkenalan dengan Tokoh— salah seorang waitress (panggilan untuk perempuan muda yang mendampingi tamu di cafe), tertawa terbahak-bahak mendengarkan tamunya yang telah mabuk bernyanyi dengan nada aneh dan syair yang dipelintir kalang-kabut. Tak lama kemudian, Reni menjerit. Rupanya, si tamu mabuk itu merogoh paksa bagian paling terlarang dari tubuh Reni. Perempuan muda asal Malang itu pun tergopoh-gopoh pergi. “Kalau sekadar pegang-pegang tangan sih gak apa-apa,” kata Reni ketika Tokoh menghampirinya di bagian belakang cafe. “Untung dia mabuk. Kalau nggak, saya tampar dia,” lanjut Reni.Cerita “pegang-pegang organ terlarang” seperti dialami Reni adalah cerita jamak bagi sebagian besar perempuan yang bekerja sebagai waitress cafe. Bagaimana tidak, saban malam mereka harus berhadapan dengan lelaki yang sengaja datang untuk menenggak minuman keras. Saat mabuk, siapa yang bisa menjamin seseorang tidak berlaku tidak senonoh kepada perempuan yang sengaja menemaninya? Malam-malam, lagi. “Saya rasa, setiap orang mengalami gangguan keseimbangan saat malam mulai larut dan alkohol memasuki perut,” komentar Kadek Partha, seorang lelaki gempal yang ditemui Tokoh di sebuah cafe di bilangan Renon, Denpasar. Sambil mengisap dalam-dalam rokok kretek, lelaki yang mengaku bekerja sebagai debt collector pada sebuah perusahaan pembiayaan itu tak merasa “berdosa” meraba-raba “bagian penting” waitress yang mendampinginya minum. “Mereka tahu risiko itu. Lagian mereka juga sudah menyediakan diri untuk itu,” komentar Partha. “Jangan-jangan kalau dibiarin aja malah kita dikira melecehkannya, mengacuhkannya,” sambung Partha sambil ketawa. Tapi tangis Putu Darmi bisa membantah anggapan Partha. Perempuan berusia 26 tahun kelahiran Karangasem yang —ketika ditemui Tokoh— baru bekerja 5 hari di sebuah cafe di kawasan Denpasar Barat, sesenggukan di pojok cafe seusai meladeni dua tamu. “Saya nggak bisa. Nggak bisa,” katanya menahan tangis. Sambil memperlihatkan kancing blusnya yang rompal di bagian dada. “Mereka memaksa pegang-pegang dada saya. Ketika saya tolak, mereka marah dan ngatain saya muna (munafik, pura-pura, red.),” ujar Darmi. Ketut Santi (sekali lagi, itulah nama yang disebutkan ketika berkenalan), perempuan berumur 23 tahun asal Seririt, Buleleng, dengan tegas menolak anggapan dirinya “menyediakan diri” untuk menjadi objek rabaan dan gerayangan tangan lelaki. “Siapa sih yang mau diperlakukan begitu? Saya bekerja untuk mencari uang. Hanya ini pekerjaan yang bisa saya lakukan untuk mendapatkan uang cukup untuk membantu keluarga di Buleleng,” ungkap perempuan muda yang bekerja di sebuah cafe di Denpasar Barat. Menurut Santi, ia bekerja melayani tamu, mengambilkan minum, menuangkan bir, dan menemani mereka ngobrol. Untuk itu ia merasa berhak atas gaji, bonus, dan tip. “Jangan terlalu menganggap rendah,” tambah Santi dalam Bahasa Bali berdialek khas Buleleng. Tapi beginilah selalu adat lelaki: menganggap setiap perempuan yang bekerja di tengah keremangan seperti cafe adalah perempuan bispak (bisa dipakai). “Kalau saya mau menjual diri seperti itu, buat apa saya capek-capek begadang setiap malam berhadapan dengan tingkah tamu yang sering aneh-aneh hanya untuk mendapatkan uang ratusan ribu rupiah sebulan?” ungkap Ratih, gadis cantik asal Jember yang ditemui Tokoh di rumah kosnya di bilangan Jalan Imam Bonjol Denpasar. “Saya nggak sombong, kalau mau saya bisa dapatkan uang sejuta rupiah untuk kencan semalam,” tambah Ratih (baca juga “Kami bukan Pelacur”). “Mereka manusia, hanya saja nasib melemparkan mereka ke dunia yang tidak terlalu kita sukai. Tapi hanya itulah yang bisa mereka lakukan,” ujar Titien, SH, perempuan pengacara yang sering ketiban perkara yang menyangkut nasib perempuan. “Mereka bekerja. Sebetulnya mereka berhak atas perlindungan hukum. Tapi karena sebagian besar mereka bekerja tanpa ikatan kontrak yang jelas, lebih-lebih kalau bekerja pada cafe yang tidak memiliki izin resmi, maka agak sulit memperjuangkan hak-hak mereka,” tambah Titien. “Terus terang, saya respek karena mereka tidak cengeng. Mereka berjuang berpeluh-peluh saban malam, mencari nafkah di jalan yang sangat tidak aman, tetapi mereka jarang mengeluh,” ujar Titien. Sebaliknya, mereka sering dikeluhkan, Ibu! —swa Kami bukan Pelacur Bertubuh langsing, kulit kuning langsat, Ratih (25) hanya kalah dalam kepemilikan ijazah. Otak nya pun lumayan encer. “Kalau bekerja di perusahaan biasa, paling-paling saya hanya digaji 300 ribu sebulan. Buat bayar kos, habis. Lalu, saya makan apa? Apa yang bisa saya kirim ke rumah?” ujar Ratih di rumah kosnya di Jalan Imam Bonjol, Denpasar. “Paling-paling, untuk menutupi biaya hidup, saya harus bersedia menjadi simpanan lelaki tua,” lanjut janda beranak satu yang kini berpacaran dengan seorang pemuda tampan berusia dua tahun lebih tua darinya. Di cafe tempatnya bekerja kini, rata-rata Ratih mengantungi uang antara 1 sampai 1,3 juta rupiah sebulan, termasuk tip dari tamu yang dikumpulkannya dengan tekun. Tak terbilang, sebetulnya, Ratih mendapat kesempatan untuk menikmati hidup yang lebih bergelimang uang. “Paling tidak, sudah tiga lelaki yang melamar saya jadi simpanannya. Tapi saya menolak, sebab saya memang tidak mau hidup dengan cara begitu,” tandas Ratih. Pengakuan seperti Ratih juga diungkapkan beberapa waitress cafe yang sempat dihubungi Tokoh. “Ada, memang, waitress yang bisa dibayar untuk kencan sesaat. Tapi tidak semua. Jangan pukul rata,” kata Putu Darmi yang mengaku pernah bekerja pada sebuah toko bangunan dengan gaji Rp 250 ribu plus makan dan pemondokan sederhana. Perempuan bertubuh sintal itu kini berpacaran dengan lelaki beristri dengan dua anak. Untuk urusan ini, Putu Darmi menolak keras kalau dianggap “sengaja” merebut istri orang. “Saya tidak pernah merayu dia. Dia yang datang setiap hari dan merayu saya. Lama-lama saya luluh juga,” kilah Darmi sambil bercerita bahwa lelaki itu telah mengincarnya semasa ia masih bekerja pada toko bangunan. “Enam bulan setelah perkenalan, baru kami jadian,” tutur Darmi. Agak sulit, memang, mencerna cara hidup mereka. Tapi sangatlah tidak bijaksana kalau lantas saja mereka dipasangi bandrol “rusak” hanya karena bekerja menemani orang bermabuk-mabukan hingga larut malam. Di beberapa cafe, mereka diawasi dengan ketat. “Bahkan untuk berangkat dan pulang pun kami punya orang khusus yang mengantar-jemput mereka. Kami melarang para waitress dijemput orang lain,” ungkap Wayan Santika (bukan nama sesungguhnya), pemilik sebuah cafe di kawasan Denpasar Barat. Menurut Wayan, ia tidak mau mendapat nama buruk karena dicap punya usaha pelacuran terselubung. “Kami juga berbanjar di sini. Warga banjar tidak akan tutup mata terhadap apa yang kami lakukan,” kilah Wayan. Namun, kita tentu tidak bisa menutup mata, banyak juga waitress yang menjadikan cafe sebagai lahan pencari lelaki hidung belang. “Tak banyak. Saya yakin tak banyak. Modal untuk mendirikan cafe cukup besar. Saya yakin tidak banyak orang yang mau mempertaruhkan modalnya itu dengan membiarkan tempatnya dijadikan tempat transaksi. Risikonya terlalu besar. Bisa ditutup aparat. Bisa juga digrebek warga banjar,” sanggah Wayan. Mungkin Ratih benar ketika berkata, “Kami bukan pelacur.” Tapi, mungkin juga tidak terlalu salah bila sebagian masyarakat terlanjur “curiga” pada mereka. —swa Adakah Perlindungan Hukum bagi Cewek Cafe? Lepas dari soal apakah para waitress cafe berperan ganda atau tidak, “Mereka juga manusia yang memiliki hak-hak asasi seperti orang lain. Kepentingan-kepentingan mereka juga perlu mendapat perlindungan hukum,” ujar Titien, SH, pengacara yang banyak menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan persoalan perempuan. Mestinya, kata Titien, mereka bisa melaporkan perlakuan-perlakuan buruk yang mereka terima. “Mereka ‘kan bekerja berdasarkan kontrak,” sambung Titien. Kontrak itu tidak mesti dalam bentuk tertulis. “Kontrak lisan seperti penetapan tugas bisa dijadikan dasar,” katanya. Menurut Titien, para waitress bertugas melayani tamu seperti layaknya waitress pada restoran biasa, lalu menemani mereka ngobrol. “Kalau mendapat perlakuan lebih dari itu, mestinya mereka bisa menuntut,” ujar Titien. Masalahnya, sebagian besar waitress itu tidak tahu hak-hak mereka, tidak tahu batas-batas perlakuan tamu yang dianggap melecehkan dan tidak. “Yang paling penting adalah bagaimana memberi pemahaman kepada mereka,” lanjutnya. Bagi tokoh Aliansi Perempuan Buleleng (APB), Luh Kertianing, pada dasarnya perempuan pekerja cafe juga bekerja untuk menghidupi keluarganya. “Kalau mereka menerima penganiayaan, APB siap membantu mereka dan memberikan perlindungan yang pantas buat mereka,” ungkap anggota DPRD Buleleng itu. Belakangan ini, Buleleng banyak diributkan oleh berbagai kasus yang bermula dari cafe. Selama tiga bulan terakhir saja, ada 10 kasus yang mencuat. Terakhir, seorang waitress belasan tahun dianiaya seorang perempuan yang mendapati suaminya sedang bermesraan dengan sang waitress. Kejadian-kejadian seperti inilah yang membuat masyarakat cenderung menganggap semua waitress cafe adalah penjaja seks dan perayu lelaki beristri. “Yang penting bagi kami sekarang adalah menghapus pikiran pada lelaki, ‘Mereka menjual, kami membeli. Kenapa Anda keberatan?’ seperti banyak dicibirkan orang ketika APB membela mereka,” ungkap Kertianing kepada Tokoh Jumat (6/5) lalu. Kertianing mengakui, bukanlah pekerjaan mudah untuk mengurangi dan mengubah citra cewek cafe sebagai pekerja seks. “Secara pelan-pelan, pihak cafe juga harus mengubah citranya sendiri dan lebih mendisiplinkan karyawannya, sehingga kasus yang selama ini menimpa cewek cafe dapat ditekan seminimal mungkin,” jelas Kertianing. —put, swa Untuk orang yang saya cintai, tak ada pengorbanan. Semuanya memang untuk dia, setulusnya. --------------------------------- Do you Yahoo!? Make Yahoo! your home page [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Ever feel sad or cry for no reason at all? Depression. Narrated by Kate Hudson. http://us.click.yahoo.com/LLQ_sC/esnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/