Membicarakan demokrasi memang sulit untuk merujuknya sebagai kata yang berdiri sendiri. Pelbagai penafsir atas kata ini telah menjadikannya logis untuk di beri konteks yang lebih lokal sifatnya. Sehingga menyebut kata tersebut tanpa diikuti beberapa paragraf penjelas hanya memancing perbedaan yang tidak perlu karena berbedanya asumsi yang dipakaikan.
Jika ingin membuka wacana mengenai sistem pemerintahan apapun bentuknya, maka seringkali memang kita tidak punya pilihan lain untuk tidak menggunakan kata demokrasi. Sebab demokrasi seringkali menjadi suatu konsep dalam bahasa untuk menunjuk terhadap suatu keadaan atau suatu proses. Jika kita hanya memandang demokrasi secara satu dimensi akibatnya kita tentu akan sering disalahmengerti atau sering salah mengerti atas banyak hal. (sehingga saya khawatir jangan-jangan pertukaran kata yang sedang terjadi antara Pak Sutan Sinaro dan Pak Basrihasan [sbn] belum lagi connected menjadi suatu wacana yang sesungguhnya elok untuk diikuti) Jika kita menyepakati bahwa ilmu itu berkembang lewat pijakan atas susunan batu bata ilmu yang ada sebelumnya, maka kita tentu akan menggunakan kata demokrasi tersebut. Kecuali jika kita hendak secara eksklusif menyusun dan menggunakan batu bata yang baru diatas lahan yang sama sekali baru pula. Namun resikonya adalah bangunan yang baru diatas pondasi yang sama sekali baru akan relatif lebih lambat pertumbuhannya (inipun asumsinya kalau gamenya adalah pacu-pacuan tinggi dan besar). Jadinya saya tentu mengakuri posting Pak Adrisman yang saya kutip dibawah ini, namun mengangguk pula terhadap statement antara Pak Sutan Sinaro dan Pak Basri Hasan walau seraya menarik nafas panjang. Namun pertanyaan selanjutnya adalah apakah "bangunan" Islam harus lebih bagus, indah, canggih, modern dari peradaban lainnya ? Pertanyaan ini lahir dari ketidakpahaman saya akan kemana jalan sejarah peradaban Islam dalam situasi yang terlanjur barat lebih maju (ukurannya barangkali teknologi, kecukupan sandang pangan, pengetahuan). Wassalam yopi fetrian ----- Original Message ----- From: "Adrisman Yunus" <[EMAIL PROTECTED]> > Assalamu'alaikum wr.wb. > > Sanak sutan..., saya nggak ingin mengganggu diskusi > sanak dengan mak basrihasan ini. > Tapi saya tertarik dengan pendapat sanak bahwa Islam > itu bukan demokrasi dan tidak ada itu "agree for > disagree" > Bahwa semua harus "agree" tak dapat tidak tanpa > kecuali... > > Eh kita bicara dalam konteks apakah ini...? > Saya setuju kalau kita berbicara tentang keimanan dan > ketauhidan bahwa tak ada kata demokrasi untuk itu... > > We have to agree, no matter what. Bahwa Allah itu Esa > dan Nabi Muhammad rasulnya Allah... > > Tapi kalau bicara tentang kepemimpinan dan hal2 lain > menyangkut keduniawian,dan hal2 lainnya. Kok rasanya > kurang tepat kalau dikatakan Islam tidak demokrasi. > > Seingat saya setelah nabi wafat, sewaktu mencari > pengganti yang memimpin umat, maka cuma Abu Bakar > sajalah yang langsung di ba'iat tanpa proses > pemilihan..., sedang untuk selanjutnya sejak umar, > usman, ali. Selalu melalui proses pemilu..., artinya > calonnya lebih dari satu. > > Disini kita bisa lihat bahwa ada proses demokrasi > dalam Islam.. > > Sedang hal hal lainnya menyangkut keduniawian, rasul > malah menyerahkan kepada kita2 yang ahli.., sesuai > dengan riwayat nabi ketika nabi mencontohkan bercocok > tanam, namun akhirnya hasilnya kurang berhasil. > > sekian sanak sekedar pendapat. lebih dan kurangnya > harap dimaafkan. ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________