Merenungi Wajah Indonesia Kini dan Nanti Oleh: Nurbowo, Edwin Aldrianto, dan Zulfiandri
SEPERTI apakah wajah Indonesia nanti? Jawaban ringkasnya, tentu, berkaca dari situasi masa kini. Dan bila itu soalnya, simaklah ini: Krisis ekonomi berkelanjutan mendera Indonesia tak habis-habisnya. Akibat menjalankan strategi pembangunan semu selama belasan tahun, krisis moneter mulai terjadi medio 1997 lalu berubah dan menggila menjadi krisis ekonomi dan politik sepanjang tahun 1997-1998. Diselingi pergantian tampuk pemerintahan, hingga kini belum tampak tanda perbaikan (recovery). Yang ada malah ancaman krisis tahap dua yang diperkirakan lebih buruk lagi. Di lapangan politik rakyat menyaksikan kesemrawutan yang luar biasa. Elite politik, entah itu eksekutif pemerintahan, anggota dewan, tokoh-tokoh parpol, saling berseteru dan sikut, gontok-gontokan. Presiden dianggap tak becus dan akhirnya bersitegang dengan DPR. Pro-kontra tak muncul tak berkesudahan, melahirkan politik pengerahan massa sebagai penentu kalah-menang. Rakyat di bawah tanpa sadar sebagian terseret membela kepentingan politik tertentu. Lucunya, yang dibela belum tentu sedikitpun membela kepentingan rakyat. Sementara itu, mana di penjuru Nusantara pertentangan dan kerusuhan marak terjadi baik dengan latar belakang etnik, agama, maupun ketidakpuasan hubungan daerah-pusat. Kasus Ambon dan Maluku Utara, Sampit, Kuala Kapuas, Aceh, Papua, Riau, dan lain-lain menunjukkan betapa rapuhnya rantai persatuan yang dulu pernah digembargemborkan. Alih-alih menjadi pendorong kemajuan, otonomi daerah yang diterapkan jadi kesempatan emas daerah melepaskan dari dari pusat, yang dianggap selama ini sebagai tuan tanah penyedot kekayaan daerah. Kriminalitas pun meningkat di mana-mana. Aparat pemerintahan kehilangan wibawa dan kehormatan. Para pengamat menyebutkan, inilah masa dimana negara yang punya pemerintahan justru seperti tak memilikinya (governmentless). Orang bisa berdebat mengeni sumber krisis. Antara lain karena belum tegaknya supremasi hukum. Ada yang menyatakan apa yang terjadi kini akibat belum sepurnanya konstitusi Indonesia. Analisa lain berbau teori konspriasi, bahwa Negara Kesatuan RI sedang diaduk-aduk kekuatan ketiga yang memusuhi bangsa Indonesia, yang notabene 80% di antaranya adalah muslim. Tapi saat ini semua hampir sepakat, salah satu sumber krisis adalah rusaknya mental para penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Penguasa (eksekutif) berkolusi dengan para pengusaha ?fasilitas? dan melakukan korupsi. Anggota legislatif menerima upeti, penegak hukum gampang disuap. Semua sudah jadi pemandangan umum. Kasus-kasus seperti Buloggate, Bruneigate, mafia peradilan, kebocoran anggaran, sepertinya adalah hal lumrah. Akibatnya, rakyat apatis dan menganggap apa yang dilakukan para elite politik sebuah kelaziman, terutama jika suatu rejim berkuasa. Rakyat menunggu kapan giliran mereka berkuasa datang karena kekuasaan diartikan sebagai kemewahan dan kesempatan memperoleh kenikmatan. Lalu, apa lagi yang bisa diharapkan untuk Indonesia masa depan dari situasi yang memilukan ini? Dengan skenario itu, 4-5 tahun ke depan, barangkali nama Indonesia tinggal sejarah. Ia berubah menjadi pecahan-pecahan negara kecil, hal sama yang terjadi saat Uni Soviet runtuh. Gambaran buram itu tentu bukan pilihan. Celakanya, untuk menghindari dan menyelesaikan seabreg persoalan saat ini kerap diambil jalan singkat dan sempit. Alih-alih bicara keutuhan dan masa depan rakyat, banyak pihak ?termasuk elite politik?berpikir bahwa dengan menjatuhkan Abdurrahman Wahid menaikkan Mega maka persoalan akan selesai. Untuk menanggulangi gejolak ketidakpuasan daerah dengan pusat, cukup membungkamnya dengan operasi militer. Padahal yang harus dibangun kembali karena sudah tiada lagi saat ini adalah tegaknya tegaknya supremasi hukum. Dan ketika bicara tegaknya supremasi hukum, sesungguhnya yang dibicarakan menyangkut dua hal, yakni soal penyelenggaranya dan hukum itu sendiri. Pemerintah sejak orba dan orla selalu berkoar membangun manusia Indonesia seutuhnya, Para ahli tatanegara menyatakan bahwa sistem hukum dan konstitusi negara merupakan hal yang mesti didahulukan. Yang jadi pertanyaan, siapa yang harus menerapkan sistem penyelengaraan negara tersebut? Apakah rejim demi rejim yang ternyata rusak? Lalu, apakah sistem yang dihasilkan akan baik jika yang membangun adalah pencuri atau ?calon-calon pencuri baru?? Sebaik apapun sistem dibuat, jika ?man behind the gun? nya rusak, maka tidak pernah akan terjadi penegakan sistem. Karena itu, selain pembangunan sistem yang mendesak maka pembangunan mental penyelenggara patut diperhatikan. Pembangunan manusia sesungguhnya adalah pembangunan mental, cara berpikirnya. Indonesia memerlukan revolusi berpikir, revolusi mental. Bukankah Muhammad SAW mencontohkan bagaimana beliau merevolusi mental orang-orang yang kemudian mengemban amanah kekhalifahan di muka bumi? Tidak mudah mendefiniskan revolusi mental. Ia melibatkan komponen rakyat terkecil: individu, keluarga, sekolah, guru, ulama, dan sebagainya. Negara Malaysia, awal tahun 70-an melakukan revolusi mental. Di kurun itu mereka banyak mengimpor pendidik dari Indonesia untuk menggenjot pendidikan warganya. Denmark merevolusi rakyatnya sehingga menjadi negara koperasi terkemuka di dunia sejak berpuluh tahun lampau, Hampir 80% rakyat Denmark, misalnya, pernah mengenyam pendidikan di Danis Folk High School, semacam sekolah koperasi --seperti TPA atau TKA di sini. Bahkan Cina yang termasuk negara terkorup akhir-akhir ini ikut melakukan revolusi mental. Keberhasilan konon mulai tampak. Penduduk takut sekali, bahkan marah jika orang luar memberikan tip atas jasa mereka. Dan negara seperti Vietnam pun juga bersiap-siap. Kalau Indonesia tidak segera melakukannya, maka kondisinya akan semakin kalah dan hancur. Dalam sudut pandang Islam sebagai salah satu komponen bangsa, umat Islam justru paling menderita dengan situasi rumit ini. Sebagai mayoritas bangsa, ia harusnya menjadi faktor signifikan untuk menentukan arah ke depan. Jika negara terpuruk, dengan gampang bisa disebut bahwa komponen yang mayoritas ini tak mampu memainkan peran dengan semestinya. Suatu yang aneh dan janggal terjadi dibanding umat mayoritas di negara lain di dunia. Khusus soal ini, hal ini patut disoroti keberadaan partai-partai politik Islam, yang tumbuh dan menjamur pasca reformasi 1998. Suka tidak suka, tanggung jawab ada di pundak mereka. Alih-alih menyuarakan konstiuennya, parpol-parpol Islam terjebak pada kepentingan yang lebih elitis sehingga kiprahnya di lapangan sama sekali tidak mencerminkan aspirasi pemilihnya. Parpol Islam tidak menyuarakan apa yang perlu dilakukan mereka dan umat melainkan kepentingan sesaat. Dalam konteks politik adalah sebuah ?ri?ayatu su?uni al ummah? ?mengayomi segala kepentingan rakyat-- parpol Islam gagal memainkan tugasnya. Mereka sama sekali tidak mengelola kepentingan umat. Bagaimanapun, di tataran negara kesatuan Republik Indonesia, umat Islam harus berperan bergerak menyelamatkan bangsa. Sesungguhnya, ada hal terpenting yang bila dimiliki umat akan menjadi penggerak ke arah perubahan positif. Yakni ketika umat mayoritas ini punya kesadaran kolektif dalam hal bernegara, didasarkan keyakinan (iman) yang sama. Dengan itu, peluang perpecahan justru bisa dibendung. Pertikaian antaretnis (yang pada faktanya cenderung menjadi pertikaian antaragama) takkan mudah terjadi mengingat Islam punya garis yang jelas soal itu. Dalam Islam, misalnya, penindasan satu etnis terhadap etnis lain dilarang keras. Sejarah menunjukkan, umat Yahudi dan Nasrani sekalipun hidup tenang di bawah panji-panji Islam. Memang, yang jadi pertanyaan adalah siapa yang menggerakkan semua itu di kala semua komponen yang dianggap bertanggung jawab (pemerintah, tokoh politik, ulama, dsb) tak lagi dipandang dan dipercaya rakyat. Meskipun belum terdefinisi dengan jelas, orang sebenarnya bisa berharap banyak pada kalangan menengah yang mulai tumbuh. Kalangan menengah ini relatif bebas dari dendam politik dan sejarah. Mereka dibiasakan berperilaku dan mental win-win, bukan win-loose yang kerap ditanamkan orang-orang terdahulu. Kalangan menengah inilah yang juga diisi oleh intelektual dan profesional Islam, dan perlahan mengisi sendi kemasyarakatan. Kesadaran kolektif kalangan menengah Islam akan lebih mudah terjalin karena lebih mereka lebih mantap mentalnya, bersikap terbuka, sekaligus kritis. Wallahu a?lam. ==*== ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________