Secara historis, Islam masuk ke Minangkabau pada abad
ke-12 M, ada yang menyebutnya abad ke-14 M. Almanak
Tiongkok menyebutkan bahwa sudah didapatinya satu
kelompok masyarakat Arab di Sumatera bahagian barat
pada tahun 674 M, maka dengan demikian Islam telah
masuk ke daerah ini sejak tahun 674 Masehi atau abad
pertama hijriah. 



Naiknya kerajaan Islam Pasai di Aceh dibawah kekuasaan
Sultan Iskandar Muda tahun 1607-1638 M. membawa akibat
dikuasainya kerajaan kecil Minangkabau. Perkembangan
Islam di Aceh, khususnya paham tasawuf melalui 'Abd
al-Rauf al-Sinkili ikut mewarnai pemikiran keagamaan
di Minangkabau sejak masa awal. Pengaruh al-Sinkili
dalam pengembangan Islam ke Minangkabau diteruskan
oleh Burhan al-Din. Syekh Burhan al-Din Ulakan
memainkan peran sebagai pengembang Islam melalui
tarekat Syathariyah di Minangkabau. Sehingga surau
Ulakan cukup termasyhur sebagai satu-satunya pusat
keilmuan Islam di Minangkabau.

Pengertian Tarekat
Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya
tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan
atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab,
aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah),
(5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud
al-mizalah). Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin
‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang
dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah
Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.

Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian,
pertama ia berarti metode pemberian bimbingan
spiritual kepada individu dalam mengarahkan
kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan.
Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi
brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga
formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.

Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai
tiga system, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem
kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti
khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau
mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat
diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah.
Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan
kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau
limpahan pertolongan dari guru. Kepatuhan murid kepada
guru dalam tarekat digambarkan murid dihadapan guru
laksana mayat di tangan orang yang memandikannya.

Adat Minangkabau
Adat sebagai identitas masyarakat Minangkabau telah
menjadi rujukan bagi setiap tingkah laku
masyarakatnya. Setiap aktivitas, prakarsa (inisiatif)
dan kreatifitas selalu dinilai berdasarkan adat
tersebut. Namun demikian, adat Minangkabau te1ah
mengalami fase-fase perkembangan sendiri berkenaan
dengan perjumpaannya dengan nilai-nilai luar. Pertama
adalah fase animisme dan dinamisme. Fase ini
berlangsung sebelum abad V M. Kedua adalah fase
pengaruh Hindu-Budha, mulai abad VI Masehi sampai abad
VII Masehi. Ketiga adalah fase Islam. Adapun raja
Minangkabau pertama yang beragama Islam adalah Sultan
Alif yang berkuasa pada pertengahan abad ke-16 (1560
M). Pada masa ini, terutama di seputar pesisir,
dominasi politik dan ekonomi dikuasai oleh kerajaan
Aceh.

Ketika Islam menjadi anutan orang Minangkabau maka
tidak sedikit adat Minangkabau yang dipengaruhi oleh
animisme dan dinamisme serta Hindu dan Budha,
mendapatkan kritikan dan gugatan dari ajaran Islam.
Setelah itu, melalui pergulatan yang terakhir justru
Islamlah yang sampai sekarang berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat, termasuk memberi corak tehadap
adat Minangkabau. Perpaduan antara adat dan Islam itu
dibuktikan melalui sistim dan struktur adat
Minangkabau yang dibuhul dengan pepatah "Adat basandi
syara’, Syara’ basandi Kitabullah.”

Tarekat Syathariyah
Tarekat Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah
Syathar (w.1429 M). Tarekat Syaththariyah berkembang
luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh
Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim
al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan
oleh Syekh 'Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara,
kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan
al-Din ke Minangkabau.

Tarekat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din
berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama.
Silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua,
Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan
Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah yang diterima
oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat;
Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam
Kitabnya yang berjudul Syifa' aI-Qulub.

Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa tarekat Syaththariyah di
Minangkabau masih terpelihara kokoh. Untuk mendukung
ke1embagaan tarekat, kaum Syathariyah membuat lembaga
formal berupa organisasi sosial keagamaan Jamaah
Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan
ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di
propinsi - tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan
kokohnya kelembagaan tarekat Syaththariyah dapat
ditemukan wujudnya pada kegiatan bersafar ke makam
Syekh Burhan al-Din Ulakan.

Adapaun ajaran tarekat Syaththariyah yang berkembang
di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh
'Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah pokoknya dapat
dikelompokkan pada tiga;

Bahagian Pertama, Ketuhanan dan hubungannya dengan
alam. Paham ketuhanan dalam hubungannya dengan alam
ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat a1-
Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah
satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam,
bedanya oleh al-Sinkili ini dijelaskannya dengan
menekankan pada trancendennya Tuhan dengan alam. la
mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan
alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. Bagaimana
hubungan Tuhan dengan alam dalam transendennya,
al-Sinkili menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan
alam raya (al- 'a/am), Dia selalu memikirkan
(berta'akul) tentang diri-Nya, yang kemudian
mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya
Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan
pola-pola dasar (a/ 'ayan tsabitah), yaitu potensi
dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola
dasar luar (a/-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam
bentuk konkritnya.
Ajaran tentang ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur
dan dikembangkan oleh Syekh Burhan al-Din Ulakan
seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. Kajian
mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq
dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam
pengertian Tauhid syari'at, Tauhid tarekat, dan Tauhid
hakekat, yaitu tingkatan penghayatan tauhid yang
tinggi.
Bahagian kedua, Insan Kamil atau manusia ideal. Insan
kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan
hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia
adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada
esensi-Nya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari
esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh
karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk
rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya,
sehingga "Ia adalah Dia." Manusia adalah kutub yang
diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya.
Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai
dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan
perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam
rupa-rupa para Nabi--dari Nabi Adam as sampat Nabi
Muhammad SAW-- dan para qutub (wali tertinggi pada
satu zaman) yang datang sesudah mereka.
Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan
cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan
KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama;
Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal
dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga;
Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.
Bahagian ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam
hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan pada
rekonsiliasi syari'at dan tasawuf, yaitu memadukan
tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat,
yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan
tauhid af'al. Segala martabat itu terhimpun dalam
kalimah 1a ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita
hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah.
Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya
diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan
intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu
dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari
(kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat
al-ma'nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan
dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun
tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang
diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan
syari’at.

Tarekat Naqsyabandiyah
Menurut BJO Schrieke dan Martin Van Bruinessen,
Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada
tahun 1850. Christine Dobbin menyebutkan tarekat
Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad
ke 17, pintu masuknya me1alui daerah Pesisir Pariaman,
kemudian terus ke Agam dan Lima Puluh kota. Azyumardi
Azra menulis bahwa tarekat Naqsyabandiyah
diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad
ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang Minangkabau
yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjukan
ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India.

Kepopuleran Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di
Minangkabau diperkuat oleh ulama Minangkabau yang
menuntut ilmu di Mekah dan Medinah lalu mereka
kemudian mendapat bai'ah dari Syekh Jabal Qubays di
Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah. Misalnya,
Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899
M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh
Khatib Ali Padang (w. 1936), Syekh Muhammad Sai'd
Bonjol.

Ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya
mengacu kepada empat aspek pokok yaitu: syari'at,
thariqat, hakikat dan ma'rifat. Ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara
atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang
ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran
yang nampak kepermukaan dan memiliki tata aturan
adalah suluk atau khalwat. Suluk ialah mengasingkan
diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil,
guna melakukan zikir di bawah bimbingan seorang syekh
atau khalifahnya selama waktu 10 hari atau 20 hari dan
sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara bersuluk
ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan
daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20
hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau
istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa,
kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua
pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang
telah ditentukan oleh syekh atau khalifah.

Sebelum suluk ada beberapa tahapan yaitu; Talqin
dzikir atau bai'at dzikir, tawajjuh, rabithah,
tawassul dan dzikir. Talqin dzikir atau bai'at dzikir
dimulai dengan mandi taubat, bertawajjuh dan melakukan
rabithah dan tawassul yaitu melakukan kontak
(hubungan) dengan guru dengan cara membayangkan wajah
guru yang mentalqin (mengajari dzikir) ketika akan
memulai dzikir.

Dzikit ada 5 tingkatan, murid belum boleh pindah
tingkat tanpa ada izin dari guru. Kelima tingkat itu
adalah (a) dzikir ism al-dzat, (b) dzikr al-lata’if,
(c) dzikir naïf wa isbat, (d) dzikir wuquf dan ( e)
dzikir muraqabah.

Sumber : SufiNews.Com


________________________________________________________________________
Yahoo! Messenger - Communicate instantly..."Ping" 
your friends today! Download Messenger Now 
http://uk.messenger.yahoo.com/download/index.html
____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke