Kompas, Senin, 6 Mei 2002

RMS, Negara Gagal, dan Persatuan Indonesia

Oleh Indra J Piliang

AKSI pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) 25 April 2002 mengundang kegundahan. Laporan media massa Jakarta, Jumat (26/4/), memperlihatkan sebuah foto yang jelas-jelas tertulis nama sebuah tempat peribadatan sebagai Kantor RMS. Dalam berita lain, juga dituliskan seruan nama Allah SWT dari tempat peribadatan agama lain. Seakan, unsur agama dan politik bercampur kental. Orang awam pembaca berita akan segera tahu, pesan yang disampaikan RMS adalah keinginan membentuk negara agama. Dan agama juga digunakan untuk melawannya.

Bagaimana kita melihat fenomena ini? Benarkah keadaan sudah demikian runyam sehingga media massa nasional terpaksa memperlihatkan foto itu? Bagaimana bila foto itu dibaca kalangan pembaca pers luar negeri? Akankah mereka melihat RMS adalah bentuk lain dari perjuangan PLO di Palestina yang ada di tanah Indonesia? Simpang siurnya pemberitaan model ini kian sulit dicegah, seperti sudah banyak terjadi selama ini, juga akibat sejumlah kelemahan dalam strategi diplomasi Indonesia di luar negeri dengan ujung tombak kedutaan-kedutaan besar kita.

Maluku telah identik dengan kekerasan. Selama ini orang menyebutnya sebagai konflik horizontal bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Ketika aspirasi separatisme lewat RMS menguat, aparatur negara seakan sulit bertindak tegas, sebagaimana komitmen menjaga hasil pertemuan Malino II. Tajuk Rencana (Kompas, 26/4/2002) mempertanyakan efisiensi ketegasan aparat melaksanakan komitmen Malino II. Yang kurang dibahas tajuk itu adalah saat aspirasi RMS mencuat, lalu ditangani secara represif oleh aparat negara, yang akan terjadi adalah konflik vertikal. Konflik vertikal, di negara mana pun, potensial mengundang perhatian dunia internasional.

Sikap aparat untuk berhati-hati atas keberadaan RMS tentu beralasan. Sikap itu juga ditunjukkan ketika Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengibarkan bendera OPM di tanah Papua. Butuh berhari-hari untuk menurunkan bendera itu. Karena itu, sebagaimana penjelasan seorang kawan yang sudah lama melakukan penelitian dan perjalanan di Papua, bendera bintang kejora sudah menjadi semacam lambang sakral sejumlah suku di Papua.

Ketegasan aparat tentu diperlukan, guna menghadapi pihak-pihak yang melanggar perjanjian Malino II. Akan tetapi, soal RMS sudah masuk dimensi lain. Sama halnya dengan bagaimana aparat menghadapi Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Ia sudah masuk kategori gerakan separatisme, sebagian atas nama nasionalisme etnik, sebagian lain atas nama nasionalisme relegius.

Masalah yang lebih besar di Indonesia sebetulnya berangkat dari gagalnya negara, sebagaimana penjelasan Prof Dr Robert I Rotberg, Direktur Program Konflik John F Kennedy School of Government, Harvard University, dalam sesi diskusi di CSIS (Kompas, 28/3/2002). Bagi Rotberg, indikator negara-negara yang gagal adalah cenderung menghadapi konflik berkelanjutan, kekerasan komunal maupun kekerasan negara amat tinggi, permusuhan karena etnik, agama, atau bahasa, teror, jalan-jalan atau infrastruktur fisik lainnya dibiarkan rusak.

Teori gagalnya negara itulah yang kini kian tampak di Indonesia. Maluku memberi sumbangan besar bagi kapal Titanik Indonesia karena kebocoran yang diakibatkan perang sipil (civil war) di sana sudah memprihatinkan, ditambah kemunculan RMS yang seperti mengail di air keruh. Bila pemerintah dan masyarakat tidak hati-hati menyikapinya, justru akan memancing tumbuhnya perlawanan, bersenjata atau tidak. Berbeda dengan daerah-daerah konflik di tempat lain, Maluku telah dipenuhi timbunan bahan persenjataan, bahan peledak atau senjata ringan, terbukti dengan ledakan beberapa bom dan kebakaran atas instansi-instansi resmi pemerintah.

Gagalnya negara juga terhubung dengan korupsi yang makin terang-terangan. Ketika Belanda merayakan empat abad VOC, pelajaran utama yang bisa ditarik adalah sebab-sebab kehancuran VOC. VOC hancur karena korupsi, baik oleh pejabat-pejabatnya sendiri, maupun lewat aparatur ambtenaar pribumi yang menjadi perpanjangan tangan VOC. Kegagalan VOC jugalah yang kemudian menimbulkan periode Tanam Paksa di Indonesia untuk menutupi kas pemerintahan Belanda yang bangkrut ketika menghadapi gerakan "separatisme" kala itu, terutama Perang Diponegoro, Imam Bonjol, dan Perang Aceh.

Aspek pembiayaan atas penumpasan gerakan separatisme ini juga yang membangkrutkan negara Indonesia, selain penyalahgunaan dana negara untuk kepentingan satu-dua orang koruptor. Belum lagi mentalitas aparat dan politisi yang dengan jumawa lebih banyak mengalokasikan dana buat kepentingan sendiri, bukan demi kepentingan rakyat. Dengan demikian, korupsi kini tidak tepat lagi disebut sebagai kanker, tetapi telah masuk level AIDS. Ia menular akibat perselingkuhan liar kekuasaan. Kalau kanker masih bisa disembuhkan (mulai dari kanker hati sampai otak), AIDS belum ketemu obatnya, kecuali hukuman eutanasia bagi penderitanya.

Dalam beberapa kasus, sebagaimana diungkap seorang warga negara Indonesia yang sudah 30 tahun tinggal di Jerman kepada penulis, Indonesia bukan hanya korban dari imperialisme teritorial, ekonomi dan budaya, malah telah masuk zona imperialisme korupsi, menyangkut sejumlah perjanjian internasional yang merugikan Indonesia karena mark up, dan lain-lain. Keberadaan seorang petinggi lembaga asing yang dulu bernegosiasi dengan Indonesia, lantas kini menjadi pimpinan sebuah perusahaan multinasional yang berbasis di Indonesia, juga ditanyakan orang ini, mengingat tidak sesuai etika dan nilai-nilai masyarakat negara asal. Orang itu tentu tahu banyak informasi tentang Indonesia, sejumlah dokumen perjanjian yang sudah ditandatangani, atau mempunyai jaringan koneksi di pemerintahan.

***

BANGKITNYA RMS dapat dipandang sebagai sikap paling keras dan radikal dari elemen-elemen masyarakat Maluku atas pola manajemen pemerintahan. Maluku makin identik sebagai "Republik Malu Aku"-mengambil sebagian judul puisi Taufik Ismail-Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Kata "republik" di sini tentu terhubung dengan adanya satu wilayah yang mempunyai masalah sendiri, yang sulit untuk ditanggulangi pemerintah yang berwenang. "Republik Malu Aku" adalah simbol the lost country yang ada dalam wilayah Republik Indonesia yang kita cintai ini.

Pemerintah sendiri, lewat Wapres Hamzah Haz, menempatkan separatisme sebagai gerakan yang harus ditumpas (Kompas Cyber Media, 26/4/02). Alasannya, merusak cita-cita kemerdekaan berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam kaitannya dengan separatisme, sikap keras ini tentu dengan mengedepankan hak-hak asasi manusia, dan hak warga negara dalam bingkai demokrasi. Tetapi ada satu persoalan dengan konsep Negara Kesatuan. Konsep ini sudah banyak mendapat kritikan, termasuk dengan wacana negara federal. Bagi sejarawan kritis seperti Anhar Gonggong, konsep kesatuan ini cenderung ditolak. Sebab sejak awal Indonesia disebut sebagai negara persatuan, bukan negara kesatuan. Butir ketiga Pancasila juga tegas-tegas menyatakan Persatuan Indonesia.

Dimensi "kesatuan" atau "persatuan" ini saja demikian luas. Perdebatan akan amat panjang, terhubung dengan konsep negara integralistik, atau model beamtenstaat negara Orde Baru, atau lari ke masa jauh di belakang: negara agraris atau pesisir (Majapahit/Mataram atau Sriwijaya). Dengan persatuan, negara tak bersifat tunggal menerjemahkan aspirasi warga negara. Persatuan mensyaratkan adanya persamaan hak di antara kelompok-kelompok yang diajak bersatu. Artinya masih ada ruang kebebasan yang tetap dimiliki, meski sebagian diserahkan berupa social contract yang terumuskan lewat konstitusi negara dan konvensi bernegara.

Apabila model Negara Kesatuan terus dikedepankan, akan mudah terjebak kepada negara diktator. Padahal, dalam sistem kepartaian sekarang, aspirasi antarpartai saja begitu berbeda, bahkan aspirasi di dalam partai. Tidak mungkin ada satu partai tunggal. Karena model penunggalan inilah yang membuat rezim Orde Baru begitu kuat, berupa pengakuan hanya ada satu organisasi buruh, wartawan, petani, nelayan, dan lain-lainnya, dengan ideologi tunggal Pancasila.

Maka, empati harus diberikan kepada apa pun bentuk perbedaan yang muncul. Jangan sampai, negara persatuan berubah menjadi negara persatean, dimana negara menusuk setiap perbedaan aspirasi, lalu menjadikannya sebagai "makanan" penyelenggara negara. Kita tentu menunggu, agar model "Republik Malu Aku" tertangani, dengan melibatkan elemen-elemen yang berseberangan pendapat di Indonesia untuk menyikapinya. Jalan kekerasan tentu merupakan jalan terakhir. Apalagi Indonesia menghadapi berbagai bentuk masalah yang membutuhkan penanganan, antara lain memberi kelayakan minimal kepada warga negara untuk hidup, baik pangan, papan, dan sandang. Kewajiban penyelenggara negara memenuhi kebutuhan itu, mengingat penyelenggara negara sudah diberi hak untuk memanfaatkan kekayaan alam demi sebesar-besarnya kesejahteraan penduduk, bukan pemimpin. Sebab kasus "Republik Malu Aku" bukan hanya terjadi di Maluku, tetapi juga di berbagai penjuru Indonesia lainnya.

Indra J Piliang Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta

Kirim email ke