RMS,
Negara Gagal, dan Persatuan Indonesia
Oleh Indra J Piliang
AKSI pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) 25 April 2002
mengundang kegundahan. Laporan media massa Jakarta, Jumat (26/4/),
memperlihatkan sebuah foto yang jelas-jelas tertulis nama sebuah tempat
peribadatan sebagai Kantor RMS. Dalam berita lain, juga dituliskan
seruan nama Allah SWT dari tempat peribadatan agama lain. Seakan, unsur
agama dan politik bercampur kental. Orang awam pembaca berita akan segera
tahu, pesan yang disampaikan RMS adalah keinginan membentuk negara agama.
Dan agama juga digunakan untuk melawannya.
Bagaimana kita melihat fenomena ini? Benarkah keadaan sudah demikian
runyam sehingga media massa nasional terpaksa memperlihatkan foto itu?
Bagaimana bila foto itu dibaca kalangan pembaca pers luar negeri? Akankah
mereka melihat RMS adalah bentuk lain dari perjuangan PLO di Palestina
yang ada di tanah Indonesia? Simpang siurnya pemberitaan model ini kian
sulit dicegah, seperti sudah banyak terjadi selama ini, juga akibat
sejumlah kelemahan dalam strategi diplomasi Indonesia di luar negeri
dengan ujung tombak kedutaan-kedutaan besar kita.
Maluku telah identik dengan kekerasan. Selama ini orang menyebutnya
sebagai konflik horizontal bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan
(SARA). Ketika aspirasi separatisme lewat RMS menguat, aparatur negara
seakan sulit bertindak tegas, sebagaimana komitmen menjaga hasil pertemuan
Malino II. Tajuk Rencana (Kompas, 26/4/2002) mempertanyakan
efisiensi ketegasan aparat melaksanakan komitmen Malino II. Yang kurang
dibahas tajuk itu adalah saat aspirasi RMS mencuat, lalu ditangani secara
represif oleh aparat negara, yang akan terjadi adalah konflik vertikal.
Konflik vertikal, di negara mana pun, potensial mengundang perhatian dunia
internasional.
Sikap aparat untuk berhati-hati atas keberadaan RMS tentu beralasan.
Sikap itu juga ditunjukkan ketika Organisasi Papua Merdeka (OPM)
mengibarkan bendera OPM di tanah Papua. Butuh berhari-hari untuk
menurunkan bendera itu. Karena itu, sebagaimana penjelasan seorang kawan
yang sudah lama melakukan penelitian dan perjalanan di Papua, bendera
bintang kejora sudah menjadi semacam lambang sakral sejumlah suku di
Papua.
Ketegasan aparat tentu diperlukan, guna menghadapi pihak-pihak yang
melanggar perjanjian Malino II. Akan tetapi, soal RMS sudah masuk dimensi
lain. Sama halnya dengan bagaimana aparat menghadapi Angkatan Gerakan Aceh
Merdeka (AGAM). Ia sudah masuk kategori gerakan separatisme, sebagian atas
nama nasionalisme etnik, sebagian lain atas nama nasionalisme relegius.
Masalah yang lebih besar di Indonesia sebetulnya berangkat dari
gagalnya negara, sebagaimana penjelasan Prof Dr Robert I Rotberg, Direktur
Program Konflik John F Kennedy School of Government, Harvard University,
dalam sesi diskusi di CSIS (Kompas, 28/3/2002). Bagi Rotberg,
indikator negara-negara yang gagal adalah cenderung menghadapi konflik
berkelanjutan, kekerasan komunal maupun kekerasan negara amat tinggi,
permusuhan karena etnik, agama, atau bahasa, teror, jalan-jalan atau
infrastruktur fisik lainnya dibiarkan rusak.
Teori gagalnya negara itulah yang kini kian tampak di Indonesia. Maluku
memberi sumbangan besar bagi kapal Titanik Indonesia karena kebocoran yang
diakibatkan perang sipil (civil war) di sana sudah memprihatinkan,
ditambah kemunculan RMS yang seperti mengail di air keruh. Bila pemerintah
dan masyarakat tidak hati-hati menyikapinya, justru akan memancing
tumbuhnya perlawanan, bersenjata atau tidak. Berbeda dengan daerah-daerah
konflik di tempat lain, Maluku telah dipenuhi timbunan bahan persenjataan,
bahan peledak atau senjata ringan, terbukti dengan ledakan beberapa bom
dan kebakaran atas instansi-instansi resmi pemerintah.
Gagalnya negara juga terhubung dengan korupsi yang makin
terang-terangan. Ketika Belanda merayakan empat abad VOC, pelajaran utama
yang bisa ditarik adalah sebab-sebab kehancuran VOC. VOC hancur karena
korupsi, baik oleh pejabat-pejabatnya sendiri, maupun lewat aparatur
ambtenaar pribumi yang menjadi perpanjangan tangan VOC. Kegagalan
VOC jugalah yang kemudian menimbulkan periode Tanam Paksa di Indonesia
untuk menutupi kas pemerintahan Belanda yang bangkrut ketika menghadapi
gerakan "separatisme" kala itu, terutama Perang Diponegoro, Imam Bonjol,
dan Perang Aceh.
Aspek pembiayaan atas penumpasan gerakan separatisme ini juga yang
membangkrutkan negara Indonesia, selain penyalahgunaan dana negara untuk
kepentingan satu-dua orang koruptor. Belum lagi mentalitas aparat dan
politisi yang dengan jumawa lebih banyak mengalokasikan dana buat
kepentingan sendiri, bukan demi kepentingan rakyat. Dengan demikian,
korupsi kini tidak tepat lagi disebut sebagai kanker, tetapi telah masuk
level AIDS. Ia menular akibat perselingkuhan liar kekuasaan. Kalau kanker
masih bisa disembuhkan (mulai dari kanker hati sampai otak), AIDS belum
ketemu obatnya, kecuali hukuman eutanasia bagi penderitanya.
Dalam beberapa kasus, sebagaimana diungkap seorang warga negara
Indonesia yang sudah 30 tahun tinggal di Jerman kepada penulis, Indonesia
bukan hanya korban dari imperialisme teritorial, ekonomi dan budaya, malah
telah masuk zona imperialisme korupsi, menyangkut sejumlah perjanjian
internasional yang merugikan Indonesia karena mark up, dan
lain-lain. Keberadaan seorang petinggi lembaga asing yang dulu
bernegosiasi dengan Indonesia, lantas kini menjadi pimpinan sebuah
perusahaan multinasional yang berbasis di Indonesia, juga ditanyakan orang
ini, mengingat tidak sesuai etika dan nilai-nilai masyarakat negara asal.
Orang itu tentu tahu banyak informasi tentang Indonesia, sejumlah dokumen
perjanjian yang sudah ditandatangani, atau mempunyai jaringan koneksi di
pemerintahan.
***
BANGKITNYA RMS dapat dipandang sebagai sikap paling keras dan radikal
dari elemen-elemen masyarakat Maluku atas pola manajemen pemerintahan.
Maluku makin identik sebagai "Republik Malu Aku"-mengambil sebagian judul
puisi Taufik Ismail-Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Kata
"republik" di sini tentu terhubung dengan adanya satu wilayah yang
mempunyai masalah sendiri, yang sulit untuk ditanggulangi pemerintah yang
berwenang. "Republik Malu Aku" adalah simbol the lost country yang
ada dalam wilayah Republik Indonesia yang kita cintai ini.
Pemerintah sendiri, lewat Wapres Hamzah Haz, menempatkan separatisme
sebagai gerakan yang harus ditumpas (Kompas Cyber Media, 26/4/02).
Alasannya, merusak cita-cita kemerdekaan berupa Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dalam kaitannya dengan separatisme, sikap keras ini tentu
dengan mengedepankan hak-hak asasi manusia, dan hak warga negara dalam
bingkai demokrasi. Tetapi ada satu persoalan dengan konsep Negara
Kesatuan. Konsep ini sudah banyak mendapat kritikan, termasuk dengan
wacana negara federal. Bagi sejarawan kritis seperti Anhar Gonggong,
konsep kesatuan ini cenderung ditolak. Sebab sejak awal Indonesia disebut
sebagai negara persatuan, bukan negara kesatuan. Butir ketiga Pancasila
juga tegas-tegas menyatakan Persatuan Indonesia.
Dimensi "kesatuan" atau "persatuan" ini saja demikian luas. Perdebatan
akan amat panjang, terhubung dengan konsep negara integralistik, atau
model beamtenstaat negara Orde Baru, atau lari ke masa jauh di
belakang: negara agraris atau pesisir (Majapahit/Mataram atau Sriwijaya).
Dengan persatuan, negara tak bersifat tunggal menerjemahkan aspirasi warga
negara. Persatuan mensyaratkan adanya persamaan hak di antara
kelompok-kelompok yang diajak bersatu. Artinya masih ada ruang kebebasan
yang tetap dimiliki, meski sebagian diserahkan berupa social
contract yang terumuskan lewat konstitusi negara dan konvensi
bernegara.
Apabila model Negara Kesatuan terus dikedepankan, akan mudah terjebak
kepada negara diktator. Padahal, dalam sistem kepartaian sekarang,
aspirasi antarpartai saja begitu berbeda, bahkan aspirasi di dalam partai.
Tidak mungkin ada satu partai tunggal. Karena model penunggalan inilah
yang membuat rezim Orde Baru begitu kuat, berupa pengakuan hanya ada satu
organisasi buruh, wartawan, petani, nelayan, dan lain-lainnya, dengan
ideologi tunggal Pancasila.
Maka, empati harus diberikan kepada apa pun bentuk perbedaan yang
muncul. Jangan sampai, negara persatuan berubah menjadi negara persatean,
dimana negara menusuk setiap perbedaan aspirasi, lalu menjadikannya
sebagai "makanan" penyelenggara negara. Kita tentu menunggu, agar model
"Republik Malu Aku" tertangani, dengan melibatkan elemen-elemen yang
berseberangan pendapat di Indonesia untuk menyikapinya. Jalan kekerasan
tentu merupakan jalan terakhir. Apalagi Indonesia menghadapi berbagai
bentuk masalah yang membutuhkan penanganan, antara lain memberi kelayakan
minimal kepada warga negara untuk hidup, baik pangan, papan, dan sandang.
Kewajiban penyelenggara negara memenuhi kebutuhan itu, mengingat
penyelenggara negara sudah diberi hak untuk memanfaatkan kekayaan alam
demi sebesar-besarnya kesejahteraan penduduk, bukan pemimpin. Sebab kasus
"Republik Malu Aku" bukan hanya terjadi di Maluku, tetapi juga di berbagai
penjuru Indonesia lainnya.
Indra J Piliang Peneliti Centre for Strategic and International
Studies (CSIS),
Jakarta |