Kapado nan tahormat Bundo jo pambaco kasadonyo Tahun 1999 ambo pernah ikuik
Musyawarah Besar IDI nan
temanyo mambahas mengenai Sikap IDI dalam merespon era perdagangan bebas. Tahun 2002 wakatu ambo ikuik
suatu pertemuan bedah di bagian
Bedah FKUI / RSCM pernah juo disinggung tantang biaya kuliah
nan tinggi
ko. Bagian Bedah FKUI mengusulkan menerapkan biaya kuliah berdasarkan kemampuan mahasiswa
dalam segi financial dan kemampuan akademiknya.
Mereka membagi mahasiswa atas 4 kelompok, pintar-kaya, pintar-miskin, bodoh-kaya, dan bodoh-miskin. Bagian bedah mengusulkan untuk mahasiswa dalam kelompok pintar-miskin akan
diberi keringanan biaya dan bila
perlu diagih tunjangan pendidikan. Samantaro untuk nan kayo nan
lulus akan diminta biaya lebih tinggi
(dalam bentuk sumbangan pendidikan ke bagian. Tapi iko nampaknyo hanyo wacana. Dan ambo caliak indak adoh follow upnyo. Tabukti dalam penerimaan residen bedah nan namonyo kemampuan akademik (hasil test) tu diparetongan setelah kesekian kecuali parameter lainnyo samo. Mengenai dampaknyo…. Apokoh
lulusan dotor kiniko akan
jadi tukang peras nantik di
masyarakat? Ambo alun bisa manjaweknyo dek karano alun
adoh lulusan dari proses iko.
Tapi ambo raso sangat tagantuang jo urang
nan jadi dotor tu masiang2. Tagantuang jo
motivasinyo. Dan yang paling menentukan ambo raso adolah kebijakan pemerintah mengenai standarisasi menyeluruh di bidang kesehatan.
Kalau system di bidang kesehatan memungkinkan si dokter jadi pemeras
ambo raso walaupun kuliahnyo gratis tatap akan jadi
pemeras juo (dek nafasu). Tapi
kalau system di bidang kesehatan tu indak membukak
peluang si praktisi tu jadi
pemeras ambo raso mau tinggi kayak apopun uang kuliahnyo
pasti sangek saketek nan
jadi pemeras (bulih jadi indak
adoh). Ciek lai bundo jo pambaco
sakalian…… Tahun 98 lalu di salah satu rapek
IDI nan mambahas mengenai trend pelayanan kedokteran memang adoh disabuik an bahaso adoh perubahan
mendasar dibidang pelayanan kesehatan nan samulo baorientasi
sosial barubah manjadi baorientasi bisnis. Tapi ambo indak tau
bilo parubahan itu di tatapan.
Jadi pelayanan rumah sakik misalnyo kalau dulu adoh
aspek sosialnyo mako kini lebih
kapado industri rumah sakik. Mako indak jarang
awak liek di babarapo rumah
sakik swasta katiko urang barubek
nan nyo
tanyoan partamo sakali adolah PITIHNYO ADOH ATAU
INDAK. Walaupun urang tu dalam keadaan
gawat darurat sabalun jaleh pitihnyo
ko pertolongan
alun ka dimulai. Iko memang agak dilemma…….. Itu saketek nan ambo tau tantang bidang kesehatanko Wassalam Rahyussalim -----Original Message----- Assalamu Alaikum W. W. Iko ado pulo nan bisa masuak UI harus bayie 250 juta
ITB 45 juta (minimal). Nanti sasudah manjadi manjadi dokter atau insinyur
urang ko manjadi tukang peras masyarakat atau gila duit. Kasihan generasi
mendatang. Bagaimana dengan Unand ada jugakah program seperti ini? Nanda
Rahyussalim bagaimana kalau ditinjau dari professional? Mungkin tiap-tiap semester
mahasiswa ini bisa lulus juga dengan mudah asal punya fulus. Tapi ini kan
pemerataan. Wassalam Bundo Nismah SUARA PEMBARUAN DAILY Masuk FKUI Rp 250 Juta JAKARTA - Berkurangnya subsidi dari pemerintah pada
dunia pendidikan menyebabkan berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) membuka
jalur khusus dengan biaya yang sangat tinggi. Bahkan menurut informasi yang
diperoleh Pembaruan, dari mahasiswa, Selasa (17/6), sumbangan masuk Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) melalui program kuliah mandiri mencapai
Rp 250 juta. Untuk program-program mandiri, setiap universitas
memasang harga bervariasi. Tahun lalu FKUI menarik biaya Rp 217 juta yang harus
dibayar di muka, tahun ini calon mahasiswa diminta menyumbang Rp 250 juta.
Sementara Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun ini membuka program yang
mewajibkan calon mahasiswa menyumbang minimal Rp 45 juta. Universitas Gadjah
Mada (UGM) memasang tarif minimal Rp 5 juta, sementara
Universitas Diponegoro (Undip) Rp 25-Rp 125 juta. Pembantu Rektor III UI bidang kemahasiswaan, Arie
Susilo, ketika dikonfirmasi soal tingginya biaya perkuliahan program mandiri
enggan berkomentar. Dia hanya mengatakan, program mandiri tetap dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan akademik. Namun, UI tetap tidak ingin mengorbankan
perkuliahan dan nama baik universitas itu. Sementara itu, Kepala Humas UI, Dienaryati Tjokro,
menegaskan UI tetap memegang teguh prinsip penerimaan mahasiswa dengan
mengedepankan proses seleksi ketat 100 persen lewat jalur Sistem Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB). Dicontohkan, salah satu fakultas di UI daya tampungnya
70 orang, padahal anak yang memiliki nilai potensial akademik sesuai standar
fakultas berjumlah 200 orang. Akhirnya rektor dan pemimpin universitas
mengambil kebijakan untuk mengambil siswa tambahan sebanyak 20 persen. Hanya,
siswa tambahan itu harus membayar uang masuk yang berbeda. Dikatakan, uang masuk kuliah untuk mahasiswa melalui
program mandiri bervariasi. Untuk program mandiri di fakultas ilmu sosial dan
teknik sebesar Rp 25 juta sampai 75 juta, sedangkan untuk program ilmu
kedokteran mencapai di atas Rp 200 juta. Dikatakan, dana dari mahasiswa yang masuk lewat
program mandiri itu dimanfaatkan oleh manajemen UI untuk program subsidi silang
bagi siswa kurang mampu. Pasalnya, berdasarkan penelitian biro akademik UI,
rata-rata tiap tahun terdapat sekitar 20 persen mahasiswa yang masuk lewat
jalur SPMB terancam drop out karena tidak mampu meneruskan kuliah. "Kami ingin menyelamatkan mereka yang putus
kuliah melalui lewat program ini. Sedangkan di FKUI kenapa biaya kuliahnya
mencapai sebesar itu, tidak lain karena laboratorium yang ada di FKUI sangat
mahal, dan ini juga dimanfaatkan oleh mahasiswa yang lulus lewat jalur
SPMB," ujarnya. Dicermati Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Satryo S Brodjonegoro kepada Pembaruan di Jakarta, Senin mengatakan, pemerintah
akan mencermati kebijakan PTN yang menerima mahasiswa melalui jalur khusus
dengan biaya tinggi. Menurut dia, pemerintah akan menuntut akuntabilitas
penggunaan dana dari masyarakat tersebut. "Kita harus mengetahui secara
jelas kemana dana itu digunakan. Apakah untuk dosen, pengembangan fasilitas
atau bagaimana. Itu yang akan kita tuntut dari PTN-PTN tersebut," katanya. Ditambahkan, masalah akuntabilitas itu akan menjadi
pilar penting dalam pemantauan Dirjen Dikti, sehingga masyarakat tidak
dirugikan. Selain itu, adanya program mandiri jalur khusus itu tidak akan
menjadikan diskriminasi di lingkungan pendidikan tinggi negeri. Dijelaskan, maraknya PTN berbiaya tinggi disebabkan
karena subsidi dari pemerintah tidak mencukupi. Idealnya, menurut Satryo unit
biaya mencapai Rp 18 juta per mahasiswa per tahun. Sementara subsidi dari
pemerintah hanya Rp 5 juta per mahasiswa per tahun. Diakui, kebijakan setiap PTN membuka jalur khusus
dengan biaya tinggi adalah kewenangan PTN yang bersangkutan. Kewenangan
tersebut sudah tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional yang
memberikan kebebasan bagi rektor untuk memutuskan proses seleksi masuk calon
mahasiswa. Meskipun demikian, dia menepis anggapan bila PTN akan
mendahulukan mahasiswa yang berduit daripada yang cerdas hanya karena kebutuhan
PTN akan dana. Dikatakan, senat universitas dan masyarakat akademik di PTN
pasti memiliki kepekaan dan naluri agar kampusnya tidak dikorbankan. "Saya contohkan ITB. Memang ITB meminta kesediaan
calon mahasiswa untuk membayar minimal Rp 45 juta. Tetapi dalam formulir
kesanggupan menyumbang, tidak ada yang mengisi Rp 45 juta. Angka yang diisi
adalah Rp 50 juta sampai Rp 500 juta. Artinya ada kekhawatiran calon mahasiswa
bahwa semakin sedikit dia menyumbang maka peluangnya makin kecil. Padahal dalam
proses seleksi, angka itu kita tutup dan hanya melihat skor. Jadi PTN masih
tetap memperhitungkan kemampuan dan juga kesanggupan pembiayaan orang
tua," katanya. Tidak Mengurangi Satryo menjamin bahwa mahasiswa yang masuk melalui
program mandiri tidak akan mengurangi jatah penerimaan mahasiswa yang masuk
dengan jalur reguler lewat seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) yang biaya
perkuliahannya rendah. Menurut dia, pemerintah telah menentukan subsidi per
mahasiswa per tahun Rp 5 juta, dan ini harus tetap mendapat tempat di PTN. "Berapapun mahasiswa berani membayar di PTN, kami
tegas soal jatah yang harus dinikmati mahasiswa yang dapat lulus dengan jalur
biasa. Komitmen kita tetap, subsidi kita berikan pada yang pandai dan tidak
mampu," katanya. Dia memastikan bahwa PTN tidak akan berani memasukkan
mahasiswa jalur khusus terlalu banyak, diperkirakan hanya sekitar 10-20 persen.
Selain karena kemampuan masyarakat terbatas, juga daya tampung yang tidak
memungkinkan, terutama untuk program-program yang membutuhkan perlengkapan
laboratorium. Lebih lanjut dikatakan, tambahan mahasiswa yang masuk
melalui jalur khusus ini tidak akan berpengaruh dalam penyediaan fasilitas
karena PTN sendiri mempunyai dosen berlebih. (AS/E-5) Last modified: 17/6/03 Do you Yahoo!? |
- Re: [RantauNet.Com] MAT / pansiun dini mulyadi
- Re: [RantauNet.Com] MAT / pansiun di... Hayatun Nismah Rumzy
- Re: [RantauNet.Com] MAT / pansi... mulyadi
- [RantauNet.Com] 250 Juta un... Hayatun Nismah Rumzy
- Re: [RantauNet.Com] 250 Jut... mulyadi
- Re: [RantauNet.Com] 250 Jut... -- (*o*) --
- Re: [RantauNet.Com] 250 Jut... ronal chandra
- Re: [RantauNet.Com] 250 Jut... zul amry
- RE: [RantauNet.Com] 250 Jut... Dewis Natra
- Re: [RantauNet.Com] 250 Jut... Benzuara
- Re: [RantauNet.Com] MAT / p... Rahyussalim
- Re: [RantauNet.Com] MAT / pansiun di... Yanti
- Re: [RantauNet.Com] MAT / pansi... mulyadi
- [RantauNet.Com] Re:resep samba ... daniël carelse
- RE: [RantauNet.Com] MAT / pansiun dini Hayatun Nismah Rumzy
- RE: [RantauNet.Com] MAT / pansiun dini FST-IAMS-Elect
- RE: [RantauNet.Com] MAT / pansiun dini junaidi malinbasa
- RE: [RantauNet.Com] MAT / pansiun dini Arman Bahar