-----Original Message-----
From: Tanjuang Heri
Sanak Ronald nan budiman, jo netters sadonyo,

Wa 'alaikum salam wa Rahmatullahi wa Barakaatuh
 
Tarimo kasih atas tanggapan sanak na cukuik panjang lebar. Sanak batua, tapi marilah kito cubo liek keadaan iko jo pikiran nan janiah. Iko sebagai wanti wanti sae atau jago jago sabalun parah. Lebih baik mencegah dari pada mengobati toh?
Untuak panyakik AIDS dkk... iyo... tapi untuak panyakik MORAL malah ibaraik manyiram api jo bensin, karano seakan-akan mem-fasilitas-i... 
 
Manuruik pandapek ambo, kegerahan  ...<>... 
 
Saya mau tanya, apakah karena seseorang itu belon menikah, mereka tidak dapat berproduksi? ndak toh? Nah, justru dalam keadaan co iko, kito nan tahu wajib maagiah tahu ka nan mudo tu, supayo inyo kuat beriman. Tapi waktu yang namanya godaan setan "kenikmatan sementara" itu datang tanpa kendali, apa dia pilih "ngebuntingin" orang? atau dia sendiri yang dapat penyakit kalau dia seneng ama sejenis?Maaf, kata-katanya agak pasaran dikit. Dari dua pilihan yang sangat jelek ini, sanak pilih mana? Justru kampanye anti aids dengan menampilkan kondom sebagai alat pencegah bahaya, itu perlu ditanamkan di sekolah. Dan Kadispend harusnya tahu itu. Apa kita terus terusan melarang tanpa harus memberi tahu apa itu seks dan bahayanya?  Sudahkah ada penerangan di sekolah oleh pihak Depkes, jajaran hukum dan polisi tentang masalah seks ini? Pendidikan tentang seks tidak berarti hanya sebatas bagaimana menghamili orang, tapi semua aspek yang berkaitan. Dan ini harus disesuaikan dengan Minang dan keadaan di sekitar kita. Betul ngga? 
 
IMHO, nggak betul itu... untuak duo pilihan di ateh justru tanpa membawa kondom "masih ada sedikit kendali" yaitu dia akan berpikir (kalo masih punya pikiran lho..) bagaimana kalo bunting atau bagaimana kalau kena aids  dst...
Seharusnya "penyuluhan sex" untuak siswa-siswi di ranah Minang harus tegas menyatakan bahaya dan risiko baik di dunia maupun di akhirat tanpa ada toleransi (melalui pengenalan kondom).
 
Kita semua khawatir dan mengelus dada  ...<>.... 
 
Sebagai manusia normal dengan sistem produksi yang normal, seks tetap dibutuhkan. kalau hanya larangan saja tanpa memberikan pengertian, saya rasa percuma, akan sia sia usaha ulama dan da'i. Coba sanak selidiki sendiri, dari setiap larangan yang ada di Ina, apa ada pengarahan pada masyarakat kenapa hal tsb dilarang ? Saya belon pernah lihat, tapi kalau ada yang mau kasih contoh , saya seneng sekali. Masyarakat kita sudah dibiasakan dengan larangan. Larangan akan memberikan rangsangan pada orang untuk mengetahui sampai dimana seseorang itu berani melanggar larangan . Ada yang mengatakan , larangan / undang undang dibuat untuk dilanggar. Kelirukah saya? 
 
Memberi pengertian dan "memberi kondom", dua hal yang sangat berbeda sekali lho... 

Jadi adalah kurang tepat jika sanak justru gelisah karena "kegerahan" Kadispendidikan ini. Cobalah jika keadaan seperti ini dihadapkan kepada sanak, ketika suatu hari adik atau kemenakan sanak yang belum menikah ketahuan mengantongi kondom dalam tas sekolahnya. Apakah sanak akan marah atau gerah, atau sanak justru "happy" karena berarti adik atau kemenakan sanak tersebut telah memahami penggunaan kondom dan bisa melindungi dirinya dari berbagai penyakit kelamin.
 
Saya gelisah karena "kegerahan " Kadispend, yang nota bene sudah mendapat pendidikan barat, justru mengenyampingkan masalah ini dan menganggap "kondom" sebagai barang bukti tindakan kriminal. Saya tidak akan bangga alias "happy" kalau ponakan /adik saya (laki atau permpuan) bawa kondom. Tapi mari kita tanya mereka , buat apa mereka pakai / bawa kondom. kalau sebagai perlindungan, apa perlu dimarahi? 
 
IMHO, seorang yang belum nikah membawa kondom sudah ada ada hubungannya dengan rencana "zinah"... Untuak perlindungan??? apo mungkin seorang pemerkosa disuruh berhenti dulu agar mamakai kondom? atau mungkin "melindungi pacar agar nggak usah khawatir....."
 
Apa kita tidak pernah remaja ? dimana pada saat tsb, merupakan saat saat kritis dalm kehidupan manuasia, di situlah fungsi pengarahan/pendidikan seks di sekolah. Sekali lagi bukan pelajaran bagaimana melakukan hubungan suami istri di luar nikah. Saya tidak memaksakan pendapat saya ini, tapi mari kita pikirkan , kalau kita melarang para remaja  
 
Justru pada "titik kritis" itu kita harus tegas... jangan beri toleransi sedikitpun...
 
mengerti apa itu kondom dan seks, akankah hal ini menyetop penyebaran bebas seks? apalagi dalam kaitan  pengembangan pariwisata di Ranah Minang. Terpikirkah oleh kita dampak ini? Walaupun dalam beberepa postingan soal ini telah dibahas. 
 
Untuk mengantisipasi dampaknya tersebut diperlukan suatu ketegasan, no wisata sex and
no kondom... 

Betul membawa kondom itu bukan KRIMINAL seperti kata sanak, tapi perlukah dia membawa kondom hanya untuk sekedar tahu apa fungsinya kondom ? Apakah tidak dikhawatirkan justru kondom itu digunakan utk berbuat asusila dan menghindar dari akibatnya ?
 
Jawaban saya, perlukah Ranah Minang ini kembali ke zaman kegelapan sebelum kelahiran nabi Muhamad saw? Perlukah dilarang warnet dan turis asing di Sumbar? Perbuatan asusila akan terjadi kalau anak, kemanakan tidak pernah dididik. Bagi setiap orang tua, ninik mamak yang bertanggung jawab, hal ini tidak akan dikesampingkan. Kata kata seks di Minang masih tabu, tapi semua orang sering melakukannya seenaknya. malah ada pagar yang makan tanaman. Justru ini harus dikembalikan pada diri sendiri, sudahkah kita mendidik, mengawasi anak kemanakan dengan baik? Apakah hubungan seks diluar nikah yang dilakukan sepasang manusia , yang suka sama suka dan dengan saling melindungi diri sendiri dengan memakai kondom digolongkan pada perbuatan asusila? Dan perkosaan digolongkan pada bagian mana? 
 
Sudah sedemikian parahkah moral anak bangsa sehingga muncul pertanyaan di atas? Apakah sudah ada yang me-legitimasi-kan kalau "suka sama suka" itu bukan lagi termasuk kategori perbuatan "asusila" menurut ABS-SBK?   

Saya memahami penolakan sanak akan free sex, tapi sikap membolehkan pelajar yang belum menikah membawa alat kontrasepsi (kondom) hanya agar dia bisa melindungi diri dari berbagai penyakit kelamin juga tidak tepat dan menyalahi agama.
 
Saya setuju kalau dilihat dari segi agama perbuatan ini terlarang (sejauh yang saya pahami dari pelajaran agama yang saya dapat di sekolah). Sekarang kita tinggal pilih, kawin paksa, hamil dan dapat penyakit kelamin atau menggunakan perlindungan? 
 
Seharusnya tegas... tidak ada satupun pilihan yang layak untuk dipilih !!! 

Kita tidak hidup dinegara yang membebaskan sex. Kita hidup di Indonesia, lebih khusus lagi di ranah minang yang sangat kental keislamannya.
Kalau yang sedang kita diskusikan bukan terjadi di Sumbar, buat apa saya capek capek kasih komentar. Justru ini merupakn peringatan bagi kita untuk tidak mengeluarkan setiap larangan bagi hal yang kita anggap baru, melainkan harus mencari jalan keluar yang terbaik , kalau perlu yang terbaik di antara yang terburuk. 
 
Ada hal-hal yang secara tegas dinyatakan tidak ada toleransi yang bisa diberikan... 
 
Saya tidak mau melihat Minang yang seperti pendudk sebagian besar negara Afrika hitam dan Cina daratan yang banyak mengidap penyakit Aids. Hal ini karena pemerintahan mereka memanfaatkan kebodohan rakyatnya dengan tidak memberikan informasi lengkap tenntang penyakit tsb. Kenapa negara maju masih tetap memberikan penyuluhan tentang penyakit Aids dan penyalkit kelamin lainnya, sedangkan masyarakatnya dapat meng akses informasi secara bebas soal ini dan tingkat pendidikan mereka minimal SMU ? Jawabannya , karena penyuluhan lebih murah biayanya dari pada pengobatan. Dan penyuluhan dapat dilakukan oleh para sukarelawan. 
 
Kita boleh belajar dari banyak kasus, tetapi tetap harus tegas dalam mencarikan solusinya,
yaitu mana yang masih bisa ditolerir dan mana yang tidak ada toleransi sama sekali... 
 
Kita punya pepatah : Sedia payung sebelum hujan. Polisi juga menyarankan pakai helmet kalau naik roda 2. Kenapa?
 
Payung dan helm tidak tepat untuk dianalogikan dengan kondom !
 
Bagaimana tanggapan netters lainnya, para Mamak, Bundo Kanduang dan Uni lainnya?
 
Salam - tg
 
Pendapat saya sih tidak perlu jadi acuan , tapi sebagai bahan pikiran saja,karena kita tidak mungkin hidup tertutup dari dunia luar.
 
Wasalam
 
Heri (40)
Rangtabiang 
 
wassalaam,
Ronald (31+)

Kirim email ke