Yth Pak Saaf, Saya sendiri sebenarnya tidak berpengalaman dengan tugas-tugas urang sumando, karena sejak kawin sudah menjadi sumando ninik mamak. Untuk kasus Pak Saaf, kalau memang niyo nak mancungkie utak dari kapalo kambiang, iyo bakoja bana karajo di dapua tu. Tugas-tugas urang sumando banyak macamnyo, kalau kurang pandai maramu bumbu, dapek mancancang dagiang, manyusun galeh, hinggo bagorah sajo mambari sumangek. Kalau lai capek kaki ringan tangan, inyo pulo nan buliah wara-wiri di tangah-tangah tampek barundiang. Untuak urang-urang sepuh sarupo Pak Saaf jo Buya almarhum dulu, cukuik duduak sajo, manyerong sangenek, membantu manaruihkan edaran galeh jo piriang nan talatak. Kalaupun indak, cukuik manunjuakkan ka nan mudo-mudo dimaa juadah nan kurang, dan urang-urang pun alah samo maklum. Untuk kasus di rantau begitu pula pada perundingan adat, walau saat ini telah banyak mengalami modifikasi. Tugas urang sumando telah mulai tergantikan oleh petugas katering atau bujang di rumah. Memang pola ini mulai terbawa ke kampung, dan dapat dimaklumi. Mintuo dan istri saya bila pulang ke kampung sering membawa pembantu dari Jakarta, sehingga bila ada tugas-tugas sumandan bisa dibantu oleh pembantu itu. Dengan kata lain, hal ini masih bisa babuhua sintak. Saya pikir menarik juga bila masalah hak dan kewajiban sumando dan sumandan khususnya dalam alek-jamu ini diseminarkan. Paling tidak bisa diusulkan untuk menjadi salah satu bahasan menarik dalam semiloka besok di Padang. Hal-hal lain yang bersifat dorongan, akan saya perhatikan pak. Wassalam.
"Dr.Saafroedin BAHAR" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Assalamualaikum w.w. Bundo Hayatun dan Ananda Dt Endang, Karena nama saya disebut-sebut, izinkan saya menyela. Secara pelahan-lahan saya memang melihat ada gunanya untuk bertemu muka seperti pada kesempatan di rumah Bundo itu, tidak hanya berunding dalam jarak jauh dalam dunia maya. Saya mengharapkan dalam kesempatan tersebut bertemu muka dengan Engku Azmi Dt Bagindo dan Ananda Dt Endang, yang nama-nama beliau tercantum dalam cc undangan, seperti saya juga ingin jumpa dengan Sanak Bandaro Labiah. Sayang memang kedua beliau tidak hadir. Saya sama sekali tidak terganggu dengan perbedaan pendirian, bahkan pertentangan pendirian. Adat kita sendiri kan mengatakan :"basilang kayu dalam tungku, di sinan makonyo api ka iduik". Nyatanya jika sudah bertemu kan tidak terlalu sulit untuk menemukan titik temu, asal niat dan kecintaan kepada kampung halaman sudah sama. Kepentingan pribadi saya dengan adat Minangkabau tidaklah terlalu banyak, yaitu agar dirumuskannya secara lugas kaidah dasar formal adat Minangkabau yang selain mengakui juga mewadahi ajaran Islam tentang hubungan darah ayah - anak, yang tidak dikait-kaitkan begitu saja dengan sako dan pusako. Visualisasinya juga tidak sulit. Buatlah ranji atau istilah atau istilah apapun, yang menunjukkan hubungan darah itu. Jangan seperti sekarang, dalam setiap ranji menurut adat, pasti seluruh nama keturunan anak laki-laki tidak tercantum, karena khawatir 'kok lapeh pusako ka urang sumando beko'. Aneh sekali terasa `oleh saya, seakan seluruh urang sumando urang Minang itu kawin karena 'ngincer' harta isterinya. Cara seperti itu juga berpotensi melanggar Pasal 277 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang penggelapan silsilah. [Seperti pernah saya tulis pada Angku Azmi Dt Bagindo, saya tidak mempersoalkan dan tidak berkeberatan dengan sako dan pusako menurut adat ini. Silakan saja. Bagi saya hal itu oke-oke saja. Yang saya minta hanya tolong lengkapi sedikit hal itu dengan ajaran Islam tentang nasab]. Saya masih merasa sangat tidak nyaman dengan ulasan mengenai 'urang sumando' yang antara lain masih dikaitkan -- sebagai contoh -- dengan soal tugas masak mamasak di dapur yang menjadi tugas urang sumando. Itu kan khusus untuk yang masih tinggal di nagari, dan sama sekali tidak bisa dipakai bagi kita yang hidup di Rantau. [Kalau saya misalnya ditugaskan memasak di dapur keluarga isteri saya, wah, siapa yang akan mau memakannya, karena rasanya pasti amburadul! ). Ada satu lagi. Saya melihat suatu gejala yang menarik, bahwa dalam memberi mengulas adat Minang, kita cenderung memberi contoh pengalaman kita pribadi. Saya juga begitu. Jadi kita menggeneralisasikan hal yang khusus dan lokal untuk menggambarkan hal yang umum untuk seluruh Minangkabau. Masalahnya apakah belum saatnya wacana kita menganai adat Minang ini didasarkan pada kajian yang sudah dipersiapkan dengan baik dan mencakup seluruh warga Minangkabau, baik yang berdiam di Ranah maupun di Rantau ? Sebagai usaha rintisan, itulah yang sudah saya coba bersama Sanak Ir Mohammad Zulfan Tadjoeddin M.A. untuk menulisnya tahun 2004 yang lalu. Saya mengharap tokoh-tokoh adat seperti pak Amir M.S. Dt Mangguang nan sati, Angku Azmi Dt Bagindo dan Ananda Dt Endang Pahlawan juga dapat membuat tuliasn yang sejenis, agar bisa dibanding secara 'apple to apple'. Wassalam, Saafroedin Bahar --------------------------------- Fussy? Opinionated? Impossible to please? Perfect. Join Yahoo!'s user panel and lay it on us. --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id&cd=US&service=groups2. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---