Assalammualaikum Wr Wb Dunsanak sa Palanta Yml

Selamat menunaikan ibadah puasa
Kalau ada waktu, sempatkanlah membaca dan merenungkan artikel berikut.

Salam

hanifah

Oleh Dr Ir Ricky Avenzora, MSc FTrop

Sejalan dengan akan berakhirnya sepertiga pertama kegiatan puasa
Ramadhan 1437 Hijriah yang dilaksanakan umat Islam di dunia, maka
barangkali ada baiknya bila salah satu hikmah ibadah ini dijadikan
sebagai bahan berpikir tentang perjalanan bangsa sekarang.

Jika dalam Islam diyakini bahwa sepertiga pertama dari Ramadhan adalah
merupakan fase rahmat (fase limpahan rahmat dan pahala) --diikuti fase
maghfirah (pengampunan) pada 10 hari berikutnya, serta fase "itqun
minan nar" (pembebasan dari api neraka) pada sepertiga terakhir
Ramadhan-- maka barangkali proses perjalanan bangsa Indonesia saat ini
perlu pula kita refleksikan pada tiga fase yang berbeda tersebut.

Dalam konteks rahmat, kita semua tentu patut bersyukur kehadirat Allah
SWT bahwa hingga saat ini bangsa dan negara kita masih ada, pemerintah
yang berdaulat di bawah pimpinan Presiden Jokowi masih terus berjalan
dan gonjang-ganjing politik nasional pun terlihat semakin mereda,
serta setidaknya sebagian besar rakyat ternyata masih dapat makan dan
menghidupi dirinya dengan berbagai cara yang mereka miliki.

Sedangkan dalam fase maghfirah (pengampunan), sebelum memohon ampun
kepada Ilahi maka tentunya kita semua perlu untuk merenungkan berbagai
kesalahan sendiri dalam perjalanan masing-masing, baik pada tataran
individu maupun dalam hal institusi sebagai suatu entitas.

Allah SWT memang Maha Tahu tentang berbagai kesalahan kita, namun
Allah juga telah mengingatkan bahwa nasib suatu bangsa tak akan Dia
ubah jika bangsa itu tak mau mengubahnya. Dengan demikian, maka
kesadaran dan kejujuran atas berbagai kesalahan yang telah diperbuat
tentunya menjadi prasyarat dari pengampunan menuju perubahan tersebut.

Kesadaran dan kejujuran diri
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, seorang pelajar/mahasiswa tentu
perlu mengintrospeksi diri tentang kesungguhan serta kedisiplinan
mereka dalam belajar serta menuntut ilmu. Sejalan dengan era kemajuan
teknologi dan keterbukaan informasi, di satu sisi tugas seorang
guru/dosen tampaknya menjadi lebih ringan dalam hal menyampaikan
informasi (baca: pengetahuan).

Namun di sisi lain tumbuhnya "perilaku instan" di tengah masyarakat
menjadikan bebannya lebih berat dalam hal menumbuhkan "ilmu" dalam
diri murid/mahasiswanya.

Sudahkah Sang guru/dosen mencurahkan segala kompetensi, tenaga dan
waktunya untuk secara sungguh-sungguh menempa "alam pikir", "alam
rasa", "alam jiwa" dan "alam raga" murid/mahasiswanya? Ataukah sang
guru sudah kehabisan tenaga karena perubahan kurikulum belaka? Atau
malah sang dosen menjadi "mati langkah" akibat penerapan jargon
manajemen pendidikan yang selama 15 tahun terakhir hanya menjadikannya
sebagai "pelayan" belaka bagi mahasiswanya?

Idealnya, ketika kita sebagai seorang suami (sebagai pemimpin dalam
keluarga) tentu kita dituntut untuk menafkahi istri dan anak-anak nya
dengan rezeki yang halal, sedangkan seorang istri tentu diwajibkan
untuk menundukkan hati dan pikirannya kepada suaminya seutuhnya.
Sudahkan salah satu prasyarat terbentuknya keluarga sakinah itu kita
jalankan guna melahirkan dan membentuk generasi penerus yang barakah
untuk kemajuan nusa dan bangsa?

Ketika kita sebagai seorang pemimpin di suatu entitas kerja, kita
tentunya punya kewaijban moral untuk mensejahterakan para sub-ordinat
kita, sedangkan sebaliknya saat sebagai seorang staf tentunya kita
punya kewajiban untuk memberikan semua kompetensi terbaik agar
tercapai dan berhasilnya misi bersama yang kita emban di bawah arahan
sang pemimpin.

Sudahkah hal tersebut kita lakukan, atau kita semua hanya sibuk
bernafsi-nafsi dalam memainkan "office-politicking" untuk
menguntungkan diri masing-masing?

Tatkala kita sebagai seorang pengusaha, apakah kita sudah membayarkan
upah para pekerja kita secara pantas sebelum keringatnya kering,
apakah kita sudah jujur dalam berusaha, serta telah beradabkah kita
dalam mengambil keuntungan dan taatkah kita akan pajak? Sebaliknya,
pada saat kita sebagai konsumen sudah sadarkah kita bahwa
perekeonomian bangsa dan negara perlu dibangun dengan mengutamakan
sikap untuk mengonsumsi produksi dalam negeri?

Lebih lanjut, (jika kita) sebagai seorang presiden/menteri tentu
pertanyaan yang harus kita ajukan pada diri kita adalah:

    (a) apakah aku telah menjadi presiden/menteri untuk mejamin
kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat bangsa ku, atau aku
hanya telah menjadi "petugas partai" (meminjam istilah Ibu Megawati)
dan presiden/menteri bagi para relawan serta cukong pendukung ku saja.

    (b) apakah aku telah melahirkan keputusan-keputusan yang baik dan
benar, terukur serta benar-benar berguna bagi negara dan bangsaku,
atau sebenarnya aku hanya melahirkan proyek-proyek impianku yang
menguntungkan para kroni ku dan bangsa asing saja.

    (c) apakah aku telah berdiri tegak dan bersikap berani untuk
membela kepentingan serta marwah bangsa dan negara ku, atau
sesungguhnya aku hanya telah tunduk dan dijajah oleh bangsa asing yang
berhasil menakut-nakuti aku?


Tuma'ninah dan kabinet kerja
Dalam Islam, dinyatakan bahwa shalat lima waktu adalah merupakan
"tiang agama", sedangkan "tuma'ninah" adalah merupakan salah satu
rukun dalam melaksanakan shalat. Melalui kewajiban "tuma'ninah" setiap
individu yang melaksanakan shalat tidak hanya dituntun dan dituntut
menyadari setiap doa dan bagian dari shalat yang sedang dia lakukan,
melainkan juga diwajibkan untuk menghayati serta meresapi serta
meyakininya secara sungguh-sungguh.

Meskipun dalam Islam dinyatakan bahwa "shalat" nya seorang hamba
adalah sebagai penentu utama dalam penghitungan amal-ibadah hamba
tersebut selama hidupnya, namun Allah SWT juga mengingatkan bahwa
seorang hamba yang rajin shalat adalah bisa "cilaka" jika hamba
tersebut:

    (a) mendustakan agama,
    (b) mencela anak yatim,
    (c) tidak mau memberi makan orang miskin,
    (d) lalai dalam waktu shalat,
    (e) bersikap "riya".


Dalam berbagai pengajian tasawuf dijelaskan bahwa "kealpaan/kegagalan"
seorang hamba dalam melakukan "tuma'ninah" pada
saat shalat akan punya kecenderungan menjadikan shalat hamba tersebut
ibarat hanya seperti "bulir-bulir padi yang hampa",
sehingga bukan tidak mungkin dia akan masuk dalam golongan hamba-hamba
yang "celaka".

Jika ajaran tentang "cilakanya" kinerja orang yang shalat di atas
direfleksikan dengan kehidupan bernegara, maka kinerja suatu rezim
pemerintah yang sedang berkuasa akan bisa menjadi "celaka" pula jika:

    (a) mendustakan amanat UUD-45 dan Pancasila,
    (b) mencela marwah bangsa sendiri,
    (c) tidak mau memberi makan bangsa sendiri yang jelas-jelas masih miskin,
    (d) lalai dalam memaknai waktu pembangunan,
    (e) bersikap "riya" dalam banyak hal.


Atas hal itu, maka Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Joko
Widodo kiranya perlu untuk kita gugah agar juga berkenan melakukan
"tuma'ninah" atas segala keputusan politik dan pembangunan yang sedang
dan akan dikerjakan.

Kabinet kerja perlu kita gugah untuk "tuma'ninah" agar tidak
mendustakan amanat UUD-45 dan Pancasila. Kita semua perlu membantu
Kabinet Kerja agar dalam pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya haruslah benar-benar untuk kemakmuran rakyat,
dalam bentuk usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.

Kita semua perlu mengingatkan Kabinet Kerja bahwa membuka "kran
investasi" dan memberi konsensi kepada bangsa asing untuk menanamkan
investasi dan menguasai berbagai proyek strategis yang menguasai hajat
hidup orang banyak adalah suatu kekeliruan yang sangat serius.

Investasi dan konsesi bagi bangsa asing hanyalah menjadikan rakyat
sebagai "budak ekonomi" bangsa asing, sebagai pekerja dan pemakan gaji
yang tidak akan pernah menjadi benar-benar makmur. Perlu pula kita
sadari bersama bahwa perbudakan ekonomi tersebut akan berjalan untuk
jangka wakta puluhan tahun ke depan, yang bisa saja melewati usia para
pemimpin Kabinet Kerja itu sendiri.

Segenap rakyat Indonesia juga perlu bangkit dan bangun untuk menjaga
serta membelakewibawaan Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara dalam
menghadapi berbagai tekanan dan gerakan politik global bangsa asing;
baik politik kedaulatan negara, politik ekonomi maupun politik
lingkungan.

Perlu kita sadari bahwa ketika seorang Kepala Negara kehilangan
kewibawaan politiknya, maka hal tersebut dapat diibaratkan seperti
"matinya" seorang ayah dan menjadikan rakyat negeri kita sebagai
"yatim". Di sisi lain, seorang ayah (baca: Presiden) juga perlu
"tuma'ninah" untuk meresapi dan menyadari fungsi serta tanggung
jawabnya secara hakiki agar "kuat" untuk bertindak baik dan benar
dalam memimpin dan menjaga marwah bangsanya.

Memberikan banyak investasi strategis dan jangka panjang kepada bangsa
asing dapat diibaratkan "menghinakan marwah" dan tidak mau memberi
makan bangsa sendiri. Begitu pula halnya dengan kebijakan yang
berpotensi untuk mematikan usaha dan industri strategis dalam negeri
yang muncul sebagai akibat tekanan politik lingkungan global.

Kabinet Kerja perlu diajak untuk "tuma'ninah" dalam menyadari bahwa
sesungguhnya di dalam negeri sendiri potensi investasi tersebut
sesungguhnya adalah lebih dari berlimpah.

Mari bayangkan berapa nilai kapital yang bisa dikumpulkan oleh para
kaum "Nahdiyin"/NU (60 juta orang), kaum Muhammadiyah (30 juta orang),
para PNS (5 juta orang) dan para kaum non-Muslim (50 juta orang) di
negeri ini jika seandainya pemerintah berhasil melahirkan suatu sistem
(katakanlah untuk sementara kita sebut sebagai) "Saham Rakyat" sebesar
Rp1 juta per orang dalam waktu setahun.

Dalam setahun, Kabinet Kerja akan mampu mengumpulkan "Saham Rakyat"
(hanya dari empat komponen bangsa itu saja) setidaknya sebesar RP145
triliun, bukan?

Potensi "Saham Rakyat" itu jauh lebih besar dari semua janji-janji
surga para investor asing itu, bukan? Hal itu tidak akan pernah bisa
kita sadari jika fikiran, hati, jiwa dan raga kita hanya untuk partai
maupun untuk relawan kita belaka; tidak untuk dan bersama rakyat kita.

Atas hal itu, maka Kabinet Kerja juga perlu kita temani untuk
"tuma'ninah" dalam merajut rentang waktu perencanaan keberhasilan yang
mereka impikan. Melakukan proses pembangunan dengan pola
"lonjak-lotongi" (istilah Minangkabau untuk menggambarkan sikap yang
terlalu bersemangat dan progresif dengan tidak memperhatikan berbagai
kaidah dan norma serta etika) adalah sama halnya dengan "lalai" atas
waktu.

Ibarat shalat di luar waktu adalah tidak sah, maka pembangunan yang
berpola "lonjak-lotongi" juga adalah akan menjadi sia-sia belaka.

Dalam konteks "riya", Kabinet Kerja juga perlu kita ajak untuk
"tuma'ninah" agar benar-benar bisa menghayati betapa buruknya dampak
dari berbagai bentuk program pencitraan yang muncul selama ini; baik
dalam konteks gerakan-gerakan "beauty contest" yang sengaja diciptakan
untuk mencuatkan dan memperkuat citra, maupun dalam bentuk
"buzzer-war" yang bergerak untuk melakukan pembelaan atas suatu
kritik.

Dalam hal ini, "hilangnya" kritik kepada pemerintah dari berbagai
media "main stream" adalah hal yang termasuk perlu diwaspadai oleh
Kabinet Kerja.

Kiranya Allah SWT berkenan untuk menuntun kita semua agar benar-benar
bisa melakukan "tuma'ninah" sesuai posisi masing-masing. Semoga Allah
juga berkenan membukakan mata dan pintu hati serta memberi kecerdasan
dan kepahaman pada kita semua untuk dapat mempelajari serta
mengamalkan ilmu dunia dan ilmu akhirat-Nya dengan sebaik-baiknya guna
memperbaiki dan membangun bangsa serta negara ini.

*) Penulis adalah salah satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia
(Pernasindo), saat ini Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen
Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor (IPB).

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke