Kecerdasan Simbol Minangkabau

 

Minggu, 08 Juni 2008 

 

Merupakan sebuah keniscayaan yang tak dapat disangkal, bila lahirnya
kebiasaan dari individu dan masyarakat (custome) dapat membentuk tatanan
kelakuan (behaviour) kemudian menjadi budaya (culture). Meleburnya tiga
hal tersebut (custome, behaviour, culture) melahirkan satu tatanan yang
disebut dengan konvensi/kesepakatan (convention). Di sisi lain ada pula
makna suka atau arbitrer yang juga merupakan kesepakatan namun
kesepekatan ini tak tertulis dan lebih spesifik. 

Dalam disiplin ilmu semiotik (ilmu tentang tanda), hal-hal tersebut
dijadikan 'kacamata' untuk menilik berbagai fenomena budaya di sekitar
kita. Lain padang lain ilalang, demikian kiranya ungkapan yang pantas
untuk menyatakan berbagai kesepakatan yang ada dalam masyarakat.
Masyarakat suku Jawa sepakat mengatakan bahwa bendera kuning adalah
simbol dari kedukacitaan (ada warga yang meninggal dunia). Untuk
menyatakan hal yang sama, suku Rejang (di Bengkulu) menggunakan bendera
hijau tua dan di Minangkabau adalah bendera hitam. 

Hubungan yang terlihat tersebut merupakan landasan pemahaman yang
dijelaskan oleh Saussure (Bapak Linguistik Modern) sebagai penanda
(signifiant) dan petanda (siginfie). Signifiant adalah aspek bunyi, kata
tulisan, gambar bentuk atau aspek material dari bahasa (konkret),
sedangkan signifie adalah konsep, gambaran mental, pikiran dan realitas
(abstrak). Pertautan konsep tersebut juga menegaskan pembeda antara
tanda (sign), simbol (symbol), kode (code) dan ikon (icon).     

Dengan singkat dijelaskan bahwa tanda adalah hubungan yang bersifat
langsung dengan keadaan. Tanda dibuat berdasarakan alam, dan telah
dimaknai oleh manusia secara keseluruhan. Contohnya mendung adalah tanda
akan hujan (baca Semantik Djajasudarma: 1993). 

Simbol/lambang adalah hubungan yang tidak langsung dengan kenyataan.
Simbol dimengerti oleh kelompok tertentu dalam arti luas dan bersifat
makna suka. Contohnya adalah apa yang tertulis dan apa yang terdengar,
yang tergambar dan lain sebagainya. Kode merupakan sesuatu yang telah
dipermanenkan dan dimengerti oleh kelompok tertentu (khusus). Contohnya
kode dalam suatu sistem ilmu. Jika dilihat dari pengertian Linguistik
maka bahasa adalah kode. 

Ikon dijelaskan sebagai hubungan yang mendekati kepada apa yang
diwakilinya. Hubungan itu bersifat langsung. Contohnya foto seseorang
dengan orangnya (pemilik), rekaan kejadian dan sebagainya (baca
Semiologi Roland Barthes, 2001). Dari pengertian itu, dapat dikatakan
bahwa yang biasa diperhatikan, dibicarakan, dipercaya (diakui ada) oleh
sekelompok orang (bukan seorang) dan menyiratkan maksud tertentu adalah
simbol. Simbol tak hanya jatuh padah hal konkret saja, tapi juga
mengenai hal yang abstrak. 

Masyarakat Minangkabau kaya akan simbol. Terlebih lagi pada daerah yang
homogen. Simbol-simbol itu di antaranya memuat pengajaran, mencakup tiap
sisi kehidupan, dijunjung tinggi 'diamalkan' seperti pepatah-petitih.
Pengajaran yang terdapat dalam bidang sosial contohnya, dikatakan bahwa
sebuah perkara tak boleh tarandam-tarandam indak basah, tarapuang-apuang
indak anyuik yang bermaksud bahwa persoalan harus didudukkan secara
tegas, tak boleh dilalaikan penyelesaiannya. 

Simbol yang ada pada penanda (signifiant) tarandam-tarandam indak basah,
tarapuang-apuang indak anyuik memunculkan petanda (signifie) yaitu
kecerdasan sikap (dari penutur) dalam memperhatikan hal yang unik. Hal
yang tak biasa diperhatikan oleh orang lain, atau hal yang kebanyakan
diabaikan, karena mungkin ada yang menganggap bahwa peristiwa kecil
berlangsung di air itu (sungai) tak berarti apa-apa. 

Di Minangkabau peristiwa itu justru dijadikan pesan sekaligus
peringatan. Referennya (objek) yang dijelaskan adalah air. Air memiliki
sifat yang dapat menyerupai media yang ditempatinya. Air menyejukkan,
sehingga bisa jadi, siapa yang mendapat peringatan seperti ini, ia akan
tenang dan menjalankannya secara terus menerus sebagaimana aliran air. 

Bentuk lain adalah jika kita terlalu percaya kepada seseorang tanpa
mengetahui maksud orang tersebut, maka kita tak lebih bak balam talampau
jinak, gilo maangguak-angguak tabuang aia, gilo mancotok kili-kili.
Penggambaran seekor balam yang minum di sungai, tapi air yang tak
kunjung masuk ke dalam rongga mulutnya karena keasikan mengangguk adalah
hal yang sia-sia. Hal ini Jelas tak mau ditiru oleh kita (individu
Minangkabau). 

Balam (nama jenis burung) mematuk kili-kili (gelang yang dipasang di
hidung kerbau), yang dianggapnya cacing, karena berada dalam tanah.
Penjelasan itu merupakan kebodohan nyata seekor balam. Sehingga tak
seorang pun masyarakat Minangkabau yang mau dikatakan bagai seekor
balam. Apalagi seperti balam yang disebutkan dalam pepatah petitih itu. 

Kepercayaan-kepercayaan tertentu, seperti tidur di muka pintu akan
dilangkah hantu; Tidur telungkup dengan kaki ke atas dianggap menyumpah
orang tua, cepat meninggal; Yang menduduki bantal maka ia akan bisulan;
Wanita hamil tak boleh makan pisang berdempet (pisang kembar) karena
akan susah melahirkan; Jika melangkahi teman yang sedang duduk atau
tidur dianggap sama dengan menghisap darahnya dan masih banyak lagi.
Contoh-contoh tersebut juga merupakan simbol. 

Simbol tersebut adalah kemasan dari sebuah pesan yang sederhana, bahwa
perbuatan tersebut tidak baik, tidak elok dipandang orang atau sumbang
dilakukan. Namun penyampaiannya terasa lebih cepat dan 'ampuh' diterima.
Inilah yang disebut sebagai kecerdasan lingual, yang mempercepat proses
sampainya pesan serta memicu gerak hasrat (hati) untuk melakukan atau
tidak melakukan. Kenapa hal itu terjadi? Jawabannya adalah kecerdasan
yang dimiliki suatu simbol. 

Dalam bidang pengobatan, masyarakat Minangkabau pun juga memperhatikan
simbol. Jika ada salah seorang yang sakit, maka yang disediakan di
alamlah (murni) sebagai bahan penyembuh, seperti sitawa, sidingin,
cikarau, pucuk daun pandan, rumpuik dan lain sebagainya. Berdasarkan
diskusi singkat dan pengamatan penulis, masyarakat Minangkabau sepakat
bahwa berbagai bahan penyembuh itu memiliki maksud (khasiat) tersendiri
(simbol). 

Sitawa adalah simbol penawar, yaitu menawarkan racun yang masuk atau
melekat dalam tubuh. Sidingin berfungsi merubah atau menurunkan kadar
badan yang panas. Sitawa dan sidingin adalah pasangan sejati dalam
pengobatan tradisional di Minangkabau. 

Cikarau merupakan tanaman yang cepat dan mudah tumbuh, menyimbolkan
pribadi yang mudah dan cepat bergaul di tengah masyarakat. Pucuk daun
pandan yaitu bagian ujung daun pandan muda, berbentuk segi tiga. Pucuk
ini menyimbolkan keindahan yang tak menyakiti (tak berduri). Namun bila
dewasa akan muncul duri yang tajam. Duri itu difungsikan saat datang si
pengganggu. 

Rumpuik (rumput) adalah simbol dari kerendahan hati. Meski rendah,
rumput memiliki akar yang kuat, tidak mudah dicabut. Hal ini dimaksudkan
agar setiap individu memiliki pendirian yang teguh. 

Simbol-simbol bidang pengobatan di atas, merupakan jalan mengambil
berkah dari apa yang disediakan oleh alam. Alam telah menyediakan segala
sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Yang menyediakan kelengkapan alam
adalah Sang 

Pencipta. Sehingga simbol-simbol tersebut adalah wujud kepercayaan dan
keyakinan kita pada Allah. Muatan lain dari simbol tersebut adalah
sugesti. Sugesti bagi si sakit agar tetap memegang sikap-sikap
sebagaimana yang disimbolkan oleh masing-masing tumbuhan tersebut.
Sugesti yang juga dijadikan doa sebagai pengharapan langsung kita pada
Allah. 

Dari penjelasan simbol-simbol di atas, satu hal yang dapat kita lihat
adalah masyarakat Minangkabau cerdas dalam menggunakan simbol.
Kecerdasan masyarakat Minangkabau (pengguna simbol) yang meliputi
kecerdasan sikap dan jati diri, (sebagaimana yang terkandung dalam
petatah petitih), kecerdasan lingual (sebagaimana pesan-pesan kausatif
yang hidup di tengah masyarakat) serta kecerdasan berhadapan dengan alam
dan memposisikan dirinya sebagai mahluk (seperti yang ada dalam bidang
pengobatan). 

Kecerdasan ini tidaklah diajarkan sebagaimana guru dengan murid bertemu
di kelas. Kecerdasan ini terbentuk melalui kesadaran memaknai diri, alam
dan Tuhan. Dengan mengambil berkah pada alam, memunculkan sugesti yang
kuat dan menanamkan budi baik, kita layak memupuk Alam Takambang Jadi
Guru sebagai simbol kecerdasan scientific bukan primitif. (Andi Asrizal)


 

(c) 2008 PADANG EKSPRES - Koran Nasional Dari Sumbar


The above message is for the intended recipient only and may contain 
confidential information and/or may be subject to legal privilege. If you are 
not the intended recipient, you are hereby notified that any dissemination, 
distribution, or copying of this message, or any attachment, is strictly 
prohibited. If it has reached you in error please inform us immediately by 
reply e-mail or telephone, reversing the charge if necessary. Please delete the 
message and the reply (if it contains the original message) thereafter. Thank 
you.


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED]
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke