Anarki di NKRI
oleh Es. Ito
www.esito.web.id

Inilah kisah tentang anak-anak yang bukan untuk dibaca oleh anak-anak.
Bayangkan kanak-kanak dengan seragam merah putih di sekolah negeri yang
sering tidak terjamah subsidi. Murid-murid belia yang sering melihat kawan
mereka bergelimang fasilitas di sekolah swasta. Tetapi mereka tetaplah
kanak-kanak, tanpa iri dengki mereka terus belajar tanpa perlu memaki.
Selama puluhan tahun di sekolah dasar negeri yang sering tidak tersentuh
subsidi itu segala sesuatunya berjalan dengan normal terkendali. Normal
artinya, murid ikhlas belajar dengan fasilitas seadanya, tidak terganggu
dengan profesi paruh waktu para guru, penuh gembira pada saat upacara
bendera dan yang terpenting, mereka sadar diri untuk tidak menggantungkan
cita-cita terlalu tinggi. Yang penting mereka tidak buta huruf dan angka,
kecuali beberapa terjebak dalam buta warna yang tiada obatnya. Inilah
sekolah dasar yang ideal yang kemajuannya tidak perlu menyesuaikan dengan
pertumbuhan ekonomi.

Tetapi semenjak televisi menggantikan alunan ayat suci, pelan-pelan berubah
pula peradaban adiluhung anak-anak. Ayat suci menceritakan teladan kebaikan,
mereka perlu berpikir untuk membayangkannya. Di televisi, mimpi-mimpi mereka
hadir sebagai realita yang langsung ditangkap indera mata. Waktu berganti
dengan cepat, pahlawan kartun berganti sinetron, sinetron berganti band-band
yang tidak pernah menelurkan album kecuali single yang lebih mirip jingle.
Mereka sekarang berbangga hati, dalam usia dini mereka telah mengerti arti
partisipasi. Bila kau rajin mengikuti berita televisi nilainya melebihi
partisipasi politik pemilihan ketua kelas. Begitulah, pelan tetapi pasti,
televisi membimbing mereka untuk menentukan cita-cita, kelak bila mereka
besar nanti. Menimbulkan kegaduhan itu pasti, tetapi mereka masih
kanak-kanak, harap dimaklumi. Toh, orang dewasa juga terus menerus minta
dimaklumi.

Sebagian anak berkeliaran di jalan raya. Berkejaran, bernyanyi dan tertawa
terbahak-bahak. Nasihat guru tentang tertib di jalan raya mereka tertawakan.
Kata mereka, “kami ingin jadi polisi, tidak mau jadi orang biasa. Sebab
hanya polisi yang berani melanggar aturan tanpa perlu khawatir ada yang akan
menangkapnya”. Guru hanya geleng-geleng kepala. Akibatnya mereka sering
terlambat tiba di sekolah. Pada saat disetrap di ruang guru mereka nyengir,
“kami tidak terlambat, hanya telat mengabarkan. Kami sudah kirim pesan
pendek kepada wakil kepala sekolah”. Guru bertanya, “mau jadi apa kalian
ini?”, serempak mereka menjawab, “Menteri Keuangan, pastinya!”. Anak-anak
ini jadinya jarang mengikuti upacara bendera sehingga guru kesal bukan
kepalang lantas kembali menyidang mereka. Guru menasihati mereka, “upacara
ini penting untuk menanamkan semangat kebangsaan dan kecintaan kalian kepada
Negara. Kalau kalian tidak pernah ikut upacara bendera, jangan harap kalian
bisa memimpin negara ini nanti!”. Dengan kalemnya seorang murid menjawab,
“kami tengah berlatih untuk jadi pejabat negara. Membiasakan diri kami sibuk
sehingga pada saat sidang lupa untuk menyanyikan Indonesia Raya”. Begitulah,
kanak-kanak ini semakin pintar menjawab. Lagaknya pun dibikin-bikin
sebagaimana cita-cita yang mereka inginkan. Beberapa murid mulai malas
belajar membaca, saat guru menuliskan sebuah kalimat di papan tulis, gugup
mereka mengejanya. Guru marah-marah, “mau jadi apa kalian, membaca saja
tidak lancar??”. Tenang mereka menjawab, “Jadi ketua MPR, Guru”. Kemarahan
guru semakin menjadi-jadi, suaranya meninggi, hening tetapi tidak lama satu
orang murid balas memakinya, murid lain mengikutinya hingga kelas penuh
suara makian. Guru menangis sambil berseru, “Saya bersumpah, kalian pasti
tidak akan menjadi apa-apa”. Murid semakin tenang menjawab, “Sumpah Bu Guru,
Kami pasti jadi anggota DPR kelak”.

Guru matematika berusaha mengatasi keadaan. Dia senang bercerita untuk
menyampaikan persoalan perhitungan. Dia menunjuk seorang murid bernama Robi.
Robi, cerita pak guru, sedang bersusah hati sebabnya dia tidak punya uang
untuk membayar uang sekolah 300 ribu rupiah, buku-buku pelajaran 200 ribu
rupiah dan seragam sekolah 100 ribu rupiah. Budi, murid lainnya adalah
seorang pramuka sejati yang selalu berpedoman pada Dasa Dharma Pramuka.
Kebetulan orang tuanya sangat berada sehingga uang tidak pernah jadi
masalah. Karena Budi rajin menabung dan suka menolong sesama maka dia
berniat membantu Robi. Pertanyaannya berapa duit yang harus dikeluarkan oleh
Budi agar Robi bisa membayar uang sekolah, melengkapi buku dan membeli
seragam sekolah? Kelas hening sementara, tidak lama serempak murid menjawab,
“6 JUTA Rupiah, Pak Guru”. Guru tidak percaya mendengar jawaban muridnya,
“kalian yakin?”. Tentu saja, jawab murid-murid dengan wajah riang tidak
berdosa. Guru menuliskan perhitungan di papan tulis, lalu menunjukkan
hasilnya, “kalian lihat sendiri, hasilnya 600 ribu rupiah. Kenapa hitungan
mudah begini saja kalian bisa salah?”. Murid-murid saling berpandangan,
tersenyum kecil, lantas menjawab, “karena kami ingin menjadi Gubernur Bank
Indonesia, Pak Guru!”. Guru tidak bisa menerima jawaban murid-muridnya,
“coba pikirkan lagi, berapa kali lipat kerugian yang harus kalian alami
akibat salah hitung ini”. Bukannya takzim mendengarkan, murid-murid malah
nyengir, “karena salah hitung itu mungkin kami bisa jadi wakil presiden Pak
Guru”.

Guru-guru mengadakan rapat darurat. Keganjilan ini tidak pernah terjadi
sebelumnya. Solusi harus didapatkan, anarki ini mesti diakhiri. Ada upaya
menyibukkan murid-murid dengan sepakbola. Tetapi mereka yang gemar bermain
bola ini bukannya giat berlatih malah sibuk membikin koperasi. Pada saat
guru olahraga memarahi mereka, enak saja mereka menjawab, “tenang Pak Guru.
Kami ini tidak ingin jadi pemain bola, kami ingin jadi Ketua PSSI. Tidak
perlu pintar bermain bola, cukup pintar berniaga lewat koperasi”. Karena
guru-guru kebingungan murid-murid semakin menjadi-jadi. Mereka tidak mau
belajar, menolak guru masuk kelas dan mengenal kata mogok. Guru mengumpulkan
mereka di lapangan, di tengah terik mentari siang mereka berteriak garang,
“kami jadi korban politik”.

Guru mendesak kepala sekolah untuk mengambil keputusan. Tetapi kepala
sekolah tidak ingin namanya tercela di depan orang tua siswa. Guru terus
mendesak, kepala sekolah hilang kesabaran. Lantang dia berteriak di ruang
rapat, “jangan memaksa saya untuk melakukan tindakan di luar kewenangan
saya”. Hening seketika, tetapi murid-murid yang mengintip rapat guru sibuk
berbisik, “mungkin kepala sekolah ingin jadi presiden”

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke