Republika, Selasa, 09 Agustus 2005

http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=208657&kat_id=19

Pada saat tersiar berita bahwa saya dan teman-teman dari lintas agama mau
bertemu dengan Presiden Bush pada 22 Oktober 2003 di Bali, dalam masyarakat
telah terjadi polarisasi penilaian. Ada yang menuduh bahwa kami akan menjadi
corong Bush, tetapi ada pula yang menilainya positif.

Jawaban saya waktu itu adalah: "Mana yang lebih kesatria, berhadapan
langsung dengan musuh atau mengepalkan tinju dari balik gunung?" Setelah apa
yang kami sampaikan yang kemudian disiarkan media massa, barulah kelompok
yang skeptik paham bahwa kami yang memilih opsi pertama berada di jalan yang
benar. Pada waktu saya bacakan pernyataan yang sudah disiapkan, Bush
mendengar dengan baik, sekalipun menghantam politik imperialistiknya.

Bagi saya pertemuan semacam itu penting, sebab kita punya kesempatan emas
untuk menyampaikan apa yang terasa secara sopan tetapi tajam. Tidak seperti
cara-cara sementara pihak yang menyerbu suatu tempat yang mereka nilai
"berbahaya" bagi Islam seperti yang mereka pahami. Ada pula fatwa MUI yang
dijadikan dasar. Cara semacam ini adalah cara preman yang berjubah, jauh
dari sifat seorang ksatria. Kelompok inilah yang saya kategorikan sebagai
mereka yang berani mati, tetapi tidak berani hidup, karena mereka tidak
punya sesuatu, kecuali kekerasan, untuk ditawarkan bagi kepentingan
kemanusiaan.

Di otak belakang mereka sudah lama menggebu syahwat ingin berkuasa melalui
cara-cara yang tidak beradab dan antidemokrasi. Mereka tidak segan-segan
"membajak" Tuhan untuk meraih kekuasaan itu di balik dalil-dalil agama yang
digunakan. Dan tidak jarang mereka dengan mudah dijadikan mangsa oleh pihak
tertentu dengan diberi upah materi. Cara-cara almarhum Ali Moertopo
menjinakkan bekas-bekas anggota DI adalah di antara contoh yang masih segar
dalam ingatan kita. Cara itu pasti berulang, apalagi masyarakat kita
sekarang sangat labil karena serba ketidakpastian menghadang masa depan.

Sudah berapa kali saya lontarkan bahwa ujung sekularisme dan fundamentalisme
hampir setali tiga uang. Sekularisme mengusir Tuhan dari lingkungan manusia
karena dianggap sudah mati, sebagaimana Nietzsche pernah mengatakan,
sementara fundamentalisme membajak Tuhan untuk kepentingan kekuasaan.
Bedanya, sekularisme memberhalakan manusia dalam mencapai tujuannya yang
serba duniawi, fundamentalisme berlindung di belakang jargon-jargon religius
untuk membunuh peradaban. Rezim Taliban di Afghanistan adalah contoh yang
dekat dengan masa kita yang ingin memutar jarum jam ke belakang. Mereka
ingin membangun sebuah dunia cita-cita yang akal sehat tidak dapat
memahaminya. Perempuan misalnya tidak perlu sekolah dan harus tinggal di
rumah.

Kesalahan fatal Amerika dan sekutunya adalah melakukan invasi ke negeri ini,
sebuah tindakan biadab yang berlawanan dengan hukum internasional dan
prinsip-prinsip demokrasi. Tindakan serupa juga kemudian dilakukan di Irak
dengan dalih adanya senjata pemusnah massal, tetapi ternyata bohong belaka.
Bahwa, Saddam Hussein kejam terhadap lawan-lawan politiknya, sudah diketahui
umum. Tetapi, apa hak negara lain untuk menghukumnya? Doktrin pre-emptive
strike (pukul dulu) berlawanan secara diametral dengan etika dan hukum
internasional. Tetapi, etika dan hukum itu sudah tidak diabaikan oleh
negara-negara kuat tetapi mengklaim sebagai benteng demokrasi. Sebuah
kebohongan publik mereka bungkus dengan cara-cara manis, tetapi penuh bisa
yang mematikan.

Konstelasi politik global sekarang memang sangat pelik dan melelahkan,
sementara dunia Islam seperti tidak mengerti apa yang harus dikerjakan.
Suasana serba tidak menentu ini menjadi salah satu sebab mengapa
kekuatan-kekuatan radikal mendapat lahan subur untuk melancarkan aksinya,
apakah itu melalui teror, dan tidak jarang pula berlindung di balik
dalil-dalil agama. Pesan Alquran sebagai rahmat bagi alam semesta telah lama
dicampakkan entah ke mana. Tragis memang. Tetapi, inilah realitas getir yang
harus dihadapi dengan sabar tetapi cerdas, sambil bekerja keras mencari
solusi.

Kemanusiaan tidak akan bisa tahan lama berada dalam lingkungan global yang
serba hipokrit ini. Oleh sebab itu, kita yang masih siuman tidak boleh
kehilangan perspektif dalam keadaan yang bagaimanapun. Akal sehat jangan
dibiarkan mati dengan meniru cara-cara radikal dan senang dengan serba
kekerasan yang risikonya hanya tunggal: menghancurkan peradaban dan diri
sendiri, lambat atau cepat. Ya Allah, tunjukilah kami jalan-Mu yang benar
dan lurus, jalan yang Engkau ridhai, bukan jalan yang Engkau benci, dan
bukan pula jalan yang sesat. Tanpa petunjuk-Mu ya Allah, kami tentu akan
bertualang tanpa arah, tidak tahu lagi ke mana langkah ini harus diayunkan.
Amin!

(Ahmad Syafii Maarif )

 

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke