Pak BSP, Pak Djarot, dan rekan-rekan ysh. Terimakasih atas sharing pengalaman, yang sangat berharga dalam kondisi saat ini. Apa yang Pak BSP sampaikan terlihat sejak hari I telah dilakukan upaya-upaya pengendalian berdasarkan situasi yang berkembang di lapangan. Memang masa tanggap darurat merupakan masa yang sangat penting, karena dalam masa ini masih dimungkinkan upaya-upaya penyelamatan terhadap korban-korban yang masih tertimbun. Pernah dapat informasi dari tayangan tv, kalau manusia masih bisa bertahan 6 hari tanpa makan dan tanpa minum tergantung situasi dan orangnya; walau kalau tidak salah di Nias kemarin katanya ada yang bisa bertahan 2 minggu? Kita missed waktu kejadian Aceh, dimana bantuan baru datang seminggu kemudian.
Dari informasi Pak Har, waktu gempa Yogya, koordinasi sudah mulai membaik. Petugas-petugas pemerintah sudah mulai tahu apa yang dilakukan. Seperti misalnya pada hari-hari pertama ini adalah mencari informasi tentang ketersediaan alat-alat berat, apakah yang dimiliki oleh Dinas PU atau pun kontraktor, dan mengalokasikan pada tempat-tempat bencana. Saya kira prioritas pertama adalah pada reruntuhan bangunan yang diperkirakan masih ada korban hidup di dalamnya, termasuk juga pembersihan jalan untuk akses. Termasuk juga penyediaan prasarana CK yang juga sangat dibutuhkan. Saat ini dari beberapa informasi, sebaran bencana adalah meliputi hampir seluruh Sumatera Barat. Terdapat beberapa kampung yang 80% sudah luluh lantak. Akses ke berbagai tempat banyak terputus. Dengan demikian info yang kita terima dari MetroTV dkk hanya merupakan sampel kecil saja. Demikian juga korban, saya perkirakan jauh lebih besar dari yang saat ini diberitakan, mudah-mudahan tidak hendaknya. Mohon saling berbagi informasi, termasuk juga Pak Sony dari Jambi yang katanya baru terjadi gempa. Salam. -ekadj --- In referensi@yahoogroups.com, "bspr...@..." <bspr...@...> wrote: > > > Mas Djarot, uda Eka. > > Disaster management sangat bagus. Menjadi masalah sebenarnya adalah bukan disitu. Jogja punya konsep itu menghadapi Merapi. Ternyata macet pada waktu menghadapi gempa. Padahal sama-sama disaster. > > Pengalaman mas Djarot pada saat di Bantul itu sangat berarti. Kalau ingat detik2 kejadian paska gempa itu adalah : > > Absentiisme dari pejabat pemerintah yang harus memegang tampuk kendali. > > Pejabat yang seharusnya baru bisa in dalam menangani tanggap darurat (2x7 hari) baru pada jam 14.00 siang. Itupun dengan kondisi yang tidak penuh. > Terjadi persaingan antara institusi. Ini terpancing pada masalah politik (sehingga memunculkan adanya p[olemik 15 juta-30 juta dan siapa berwenang menangani apa. > Ternyata ABRI dalam hal ini di komando oleh Pangdam Diponegoro sudah mulai evakuasi pada jam 11 siang. Komando dengan pemerintah setempat terjadi jam 14.00 siang. > Sistem management di Pemerintah Daerah khususnya di Kabupaten Bantul baru bisa disusun pada hari kedua. > Sistem kendali penanganan tanggap darurat di Propinsi baru berjalan maksimal pada hari ke 2 sore. > Reaksi cepat masyarakat luar terhadap bencana > > Masyarakat luar masuk DIY justru terjadi sejak jam 12 siang dengan jalan darat. Istimewanya ini justru dari pihak asing. Pesawat pertama memberi bantuan mendarat di Solo jam 8 malam, karena bandara Adisucipto tidak bisa didarati. > Masyarakat LSM masuk Jogja pertama pada jam 8 sore dan jumlah cukup besar dengan jalan darat. Mereka cenderung melakukan pembantuan secara independen dan sporadis. Disatu sisi ini sangat bagus, tetapi disisi lain terjadi pemborosan energi. Hal ini misalnya dapat dilihat dari penumpukan pasien di RS PKU Bantul, dan kelemahan distribusi pasien. Distribusi pasien baru bisa berjalan dengan baik pada hari ke 3. > Kesiapan masyarakat dalam bereaksi terhadap bencana > > Justru kesiapan masyarakat secara mandiri yang merupakan cerminan gotong royong yang mempercepat proses evakuasi. Mereka menggunakan pendekatan pkoknya dibantu. Sedangkan prosedur pengamanan tidak diperhitungkan. Hal ini menyebabkan banyaknya korban meninggal waktu evakuasi. > Seminggu setelah bencana, proses recovery secara mandiri pada masyarakat sudah berjalan. Kegiatan usaha skala kecil sudah muncul pada hari ke 7-8. > > Ini merupakan sebagian dari log-book yang ada pada saya yang waktu itu menjadi sekreetaris pengendali penanganan tanggap darurat (Bakortranasda). > > Bila ingin dilihat dalam distribusi bantuan. Bakortranasda bekerja sama dengan Pangdam mencoba dengan trial n error. > > Pertama, melakukan distribusi langsung kepada orang yang datang ke posko. Ternyata muncul orang-orang yang pulang balik mengambil jatah seperti supermi dan makanan kering lainnya dan ternyata di jual kembali di pasar Bering Harjio dlsb. Model ini dihentikan segera pada hari ke 3. > > Kedua, didistribusikan pada tingkat kecamatan. Ternyata model inipun mempunyai kelemahan. Yang menjadi pemain pengambil keuntungan adalah aparat kecamatan. Munculah lord=lord baru di kecamatan. Jangkauan tidak bisa merata. Model ini dihentikan pada hari ke 5. > > Ketiga, kombinasi model 1 dan 2. Masyarakat dipersilahkan langsung datang ke posko dan juga disitribusikan ke desa2. Ternyata yang didesa-desa trejadi kolusi. Keluarga pejabat desalah yang mendapatkan pelayanan pertama dan masyarakat lainnya tidak jalan. > > Keempat, kombinasi 3 dan menggunakian masyarakat cq. radio dan tv swasta untuk mencari korban yang belum tertangani. Untuk itu di posko dibangun pemantu siaran radio dan radio komunikasi warga (CB dan ORARI), selain juga TV. Kemudian ada tim gerak cepat berbentuk heli, speda motor trail dan kendaraan 4WD untuk menjangku area yang sukar. Ternyata cara ini adalah yang paling efektif. > > Mungkin ini sedikit pengalaman waktu penanganan gempa Jogja. Ada sebuah posisi yang tidak bisa di lupakan. Information center yang terbuka 24 jam untuk semua pihak sehingga masing2 bisa berkoordinasi. > > Salam > > bambang sp >