Re: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate
sama seperti pengukuran porositas lainnya, sonic bukanlah pengukuran langsung porosity, untuk mendapatkan porosity harus diketahui dt dari matriks dan dt dari fluidnya. Jadi tidak harus bahwa porosity dari sonic harus lebih kecil atau lebih besar dari porosity density neutron. mis untuk gas di vuggy porosity akan memberikan porosity density > real porosity > porosity sonic > porosity neutron. sementara untuk oil atau water umumnya porosity density~porosity neutron~real porosity>porosity sonic. Nah kalau di gas menggunakan kombinasi porosity density neutron, bisa jadi bahwa porosity sonic akan lebih besar dari porosity density neutron, karena sifat tarik menarik dari density neutron seperti di atas. cara mudahnya lakukan overlay porosity di water zone untuk melihat apakah porosity sonic masih lebih tinggi dari porosity density neutron. kalau punya porosity dari core yang sudah dikoreksi dengan overburden , bisa digunakan untuk mengkalibrasi porosity dari lognya. untuk vuggy porosity mungkin bisa diusulkan run cmr/nmr untuk dapat mengetahui distribusi pore throatnya secara continous (tentunya dikalibrasi dengan core ) yang akan banyak membantu untuk kalibrasi permeability dan saturation water function. Mungkin rekan yang lain bisa mengkoreksi atau menambahkan On 8/6/07, Shofiyuddin <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Mas Andri, > Memang segala sesuatunya harus kembali kepada asal. Nah log pun sama, > harus dikalibrasi lagi kepada batuannya, bentuknya bisa kepada deskripsi > batuan inti (core), sayatan tipis, SEM dan XRD. Begitu juga dengan sifat > fisik batuan laen seperti porosity dan permeability. Tanpa itu, log tidak > punya referensi. > > Kalo kita bicara batuan, kita bicara yang paling detil (dari micron same > meter. Kalo kita bicara log, kita bicara dibilangan cm sampe meteran, > tergantung jenis lognya apa. Bicara seismik bicara pada kisaran yang lebih > besar lagi dari log. > > Nah yang sedang saya share ini bagaimana usaha kita untuk mengenal adanya > porositas sekunder dari log dimana dari pengamatan core ditemukan adanya > vuggy porosity. Secara umum, sonic log sering disebut sebagai salah satu > tool yang cukup efektif untuk mengenal porositas sekunder ini sehingga > banyak persamaan muncul yang diertai dengan asumsi yang berbeda berbeda > beda. Salah satu contoh adalah penggunaan rumus SPI (Secondary Poroitas > Index) digunakan dengan aumsi bahwa sonic log tidak melihat sama sekali > adanya vug, jadi selisih antara porositas total dengan sonic dilihat sebagai > adanya porosoitas sekunder. Untuk rumus Nurmi sedikit laen lagi karena > dianggap alat sonik mampu untuk melihat "sebagian vuggy porosity, sekitar > 50% dari aktual" nya. Nah begitu juga yang rumus yang laen. > > Yang menjadi masalah ditempat saya adalah kenapa justru porositas yang > dihitung daro sonik kok lebih besar dari porositas totalnya (yang dihitung > dari density dan neutron log)? nah itu yang saya lagi cari pak. > > Salam > > Shofi > > > > > > On 8/6/07, Andri Subandrio <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > > Bung Shofiyuddin yng budiman, saya bukan ahli petrophysic, tapi saya > > mau sharing atas dasar pengalaman saya bekerja sebagai petrologis untuk > > reservoir karbonat. Sebelumnya saya mohon segera dikorensi apabila ada yang > > kurang tepat. Beberapa ayang perlu diperhatikan pada karbonat antara lain : > > 1. Geometri, dimensi dan skala: Karbonat terutama yang berasosiasi > > dengan reef dan paparan mempunya geometri yang berbeda dengan klastik biasa > > seperti batupasir. Misalnya pada reef, tekstur dan besar butirnya sangat > > beragam tergantung jenis "organik" seperti coral and associate yang tumbuh > > berdasarkan kedalaman. Pada lingkungan ini kemunginan ada 'primary porosity" > > yaitu terdapat disela-sela kerangka. Geometri seperti ini akan sangat baik > > direkonstruksi dengan pemodelan yang dibangun dari pengamatan lapangan > > modern reef seperti pulau Seribu dan ancient reef seperti di Formasi > > Rajamandala Ciatatah - Padalarang dan tentunya data bawah pemukaan geologi > > reservoir yang menjadi target. > > > > 2. Secondary porosoity didalam karbonat masuk dalam wilayah "diagenesis" > > yang berkaitan dengan fasies, lingkungan pengendapan dan "exposure" > > phenomena pasca sedimentasi dan litifikasi. Di Indonesia, 2nd Porosity (2nd > > por) umumnya dikontrol oleh diagenesis, sedang di arid climate seperti di > > mediterania sebagian porosity dikontrol oleh facies, misalnya pada oolitic > > limestone positasnya mirip dengan batupasir yang well rounded. 2nd Por > > didaerah tropis umumnya disebabkan pelarutan "fresh water" setelah formasi > > batugamping ter "expose" diatas muka laut. Pelarutan ini biasanya didahului > > dengan berkembangnya "fracture network", lalu air tawar yang umumnya air > > hujan mulai bekerja membentuk porositas atau ruang-ruang yang dapat > > menghasilkan pori-pori yang kecil hingga raksasa! Karena itu tida heran 2nd > > por di ls (limestone) bisa dimasuki orang bahkan di Perancis gua-gua
Re: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate
Akan lebih baik lagi bila tersedia digital microscope dan bisa dilakukan Whole thin section imaging, maka penghitungan porosity mungkin akan lebih mewakili. Goodluck AnssM - Original Message - From: Shofiyuddin To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Monday, August 06, 2007 3:53 PM Subject: Re: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate Saya lagi merencanakan untuk point count (250) untuk mendeskripsi tipe porosity dan jumlahnya (interparticle, intraparticle, separate vug dan connected vug). Semoga saja ini bisa untuk menjelaskan fenomena lognya. On 8/6/07, Andri Subandrio <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Mungkin ini bisa jadi jalan tengah, yaitu mengawinkan log petrology & petrophysic. Saya pernah melakukan quantitative petrological analyses dari cutting. Hasilnya berupa angka porositas dalam %. Pekerjaan ini memerlukan ketelitian dalam pengamatan porisitas dalam butiran cutting, oleh karena itu untuk satu sayatan dari range kedalaman tertentu bisa dipotret sampai 100 kali dan kemudian setiap temuan tekstur dan porositas dimasukan dalam tabel. Hasil penghitungan porositas tiap kedalaman lalu kita plot terhadap kedalaman, mirip grafik log. Grafik log petrologi lalu kita sandingkan dengan petrofisik. Pada waktu kami kerjakan analisis petrologi kuantitatif dan petrofisik ternyata bisa saling membantu. Selamat mencoba. Salam AnssM - Original Message - From: Shofiyuddin To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Monday, August 06, 2007 11:34 AM Subject: Re: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate Mas Andri, Memang segala sesuatunya harus kembali kepada asal. Nah log pun sama, harus dikalibrasi lagi kepada batuannya, bentuknya bisa kepada deskripsi batuan inti (core), sayatan tipis, SEM dan XRD. Begitu juga dengan sifat fisik batuan laen seperti porosity dan permeability. Tanpa itu, log tidak punya referensi. Kalo kita bicara batuan, kita bicara yang paling detil (dari micron same meter. Kalo kita bicara log, kita bicara dibilangan cm sampe meteran, tergantung jenis lognya apa. Bicara seismik bicara pada kisaran yang lebih besar lagi dari log. Nah yang sedang saya share ini bagaimana usaha kita untuk mengenal adanya porositas sekunder dari log dimana dari pengamatan core ditemukan adanya vuggy porosity. Secara umum, sonic log sering disebut sebagai salah satu tool yang cukup efektif untuk mengenal porositas sekunder ini sehingga banyak persamaan muncul yang diertai dengan asumsi yang berbeda berbeda beda. Salah satu contoh adalah penggunaan rumus SPI (Secondary Poroitas Index) digunakan dengan aumsi bahwa sonic log tidak melihat sama sekali adanya vug, jadi selisih antara porositas total dengan sonic dilihat sebagai adanya porosoitas sekunder. Untuk rumus Nurmi sedikit laen lagi karena dianggap alat sonik mampu untuk melihat "sebagian vuggy porosity, sekitar 50% dari aktual" nya. Nah begitu juga yang rumus yang laen. Yang menjadi masalah ditempat saya adalah kenapa justru porositas yang dihitung daro sonik kok lebih besar dari porositas totalnya (yang dihitung dari density dan neutron log)? nah itu yang saya lagi cari pak. Salam Shofi On 8/6/07, Andri Subandrio <[EMAIL PROTECTED] > wrote: Bung Shofiyuddin yng budiman, saya bukan ahli petrophysic, tapi saya mau sharing atas dasar pengalaman saya bekerja sebagai petrologis untuk reservoir karbonat. Sebelumnya saya mohon segera dikorensi apabila ada yang kurang tepat. Beberapa ayang perlu diperhatikan pada karbonat antara lain : 1. Geometri, dimensi dan skala: Karbonat terutama yang berasosiasi dengan reef dan paparan mempunya geometri yang berbeda dengan klastik biasa seperti batupasir. Misalnya pada reef, tekstur dan besar butirnya sangat beragam tergantung jenis "organik" seperti coral and associate yang tumbuh berdasarkan kedalaman. Pada lingkungan ini kemunginan ada 'primary porosity" yaitu terdapat disela-sela kerangka. Geometri seperti ini akan sangat baik direkonstruksi dengan pemodelan yang dibangun dari pengamatan lapangan modern reef seperti pulau Seribu dan ancient reef seperti di Formasi Rajamandala Ciatatah - Padalarang dan tentunya data bawah pemukaan geologi reservoir yang menjadi target. 2. Secondary porosoity didalam karbonat masuk dalam wilayah "diagenesis" yang berkaitan dengan fasies, lingkungan pengendapan dan "exposure" phenomena pasca sedimentasi dan litifikasi. Di Indonesia, 2nd Porosity (2nd por) umumnya dikontrol oleh diagenesis, sedang di arid climate seperti di mediterania sebagian porosity dikontrol oleh facies, misalnya pada oolitic limestone positasnya mirip dengan batupasir yang well rounded. 2nd Por didaerah tropis umumnya disebabkan pelarutan "fresh water" setelah formasi batugam
Re: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate
Saya lagi merencanakan untuk point count (250) untuk mendeskripsi tipe porosity dan jumlahnya (interparticle, intraparticle, separate vug dan connected vug). Semoga saja ini bisa untuk menjelaskan fenomena lognya. On 8/6/07, Andri Subandrio <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Mungkin ini bisa jadi jalan tengah, yaitu mengawinkan log petrology & > petrophysic. Saya pernah melakukan quantitative petrological analyses dari > cutting. Hasilnya berupa angka porositas dalam %. Pekerjaan ini memerlukan > ketelitian dalam pengamatan porisitas dalam butiran cutting, oleh karena itu > untuk satu sayatan dari range kedalaman tertentu bisa dipotret sampai 100 > kali dan kemudian setiap temuan tekstur dan porositas dimasukan dalam tabel. > Hasil penghitungan porositas tiap kedalaman lalu kita plot terhadap > kedalaman, mirip grafik log. Grafik log petrologi lalu kita sandingkan > dengan petrofisik. Pada waktu kami kerjakan analisis petrologi kuantitatif > dan petrofisik ternyata bisa saling membantu. Selamat mencoba. > > > Salam > > AnssM > > - Original Message - > *From:* Shofiyuddin <[EMAIL PROTECTED]> > *To:* iagi-net@iagi.or.id > *Sent:* Monday, August 06, 2007 11:34 AM > *Subject:* Re: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in > Carbonate > > > Mas Andri, > Memang segala sesuatunya harus kembali kepada asal. Nah log pun sama, > harus dikalibrasi lagi kepada batuannya, bentuknya bisa kepada deskripsi > batuan inti (core), sayatan tipis, SEM dan XRD. Begitu juga dengan sifat > fisik batuan laen seperti porosity dan permeability. Tanpa itu, log tidak > punya referensi. > > Kalo kita bicara batuan, kita bicara yang paling detil (dari micron same > meter. Kalo kita bicara log, kita bicara dibilangan cm sampe meteran, > tergantung jenis lognya apa. Bicara seismik bicara pada kisaran yang lebih > besar lagi dari log. > > Nah yang sedang saya share ini bagaimana usaha kita untuk mengenal adanya > porositas sekunder dari log dimana dari pengamatan core ditemukan adanya > vuggy porosity. Secara umum, sonic log sering disebut sebagai salah satu > tool yang cukup efektif untuk mengenal porositas sekunder ini sehingga > banyak persamaan muncul yang diertai dengan asumsi yang berbeda berbeda > beda. Salah satu contoh adalah penggunaan rumus SPI (Secondary Poroitas > Index) digunakan dengan aumsi bahwa sonic log tidak melihat sama sekali > adanya vug, jadi selisih antara porositas total dengan sonic dilihat sebagai > adanya porosoitas sekunder. Untuk rumus Nurmi sedikit laen lagi karena > dianggap alat sonik mampu untuk melihat "sebagian vuggy porosity, sekitar > 50% dari aktual" nya. Nah begitu juga yang rumus yang laen. > > Yang menjadi masalah ditempat saya adalah kenapa justru porositas yang > dihitung daro sonik kok lebih besar dari porositas totalnya (yang dihitung > dari density dan neutron log)? nah itu yang saya lagi cari pak. > > Salam > > Shofi > > > > > > On 8/6/07, Andri Subandrio <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > > Bung Shofiyuddin yng budiman, saya bukan ahli petrophysic, tapi saya > > mau sharing atas dasar pengalaman saya bekerja sebagai petrologis untuk > > reservoir karbonat. Sebelumnya saya mohon segera dikorensi apabila ada yang > > kurang tepat. Beberapa ayang perlu diperhatikan pada karbonat antara lain : > > 1. Geometri, dimensi dan skala: Karbonat terutama yang berasosiasi > > dengan reef dan paparan mempunya geometri yang berbeda dengan klastik biasa > > seperti batupasir. Misalnya pada reef, tekstur dan besar butirnya sangat > > beragam tergantung jenis "organik" seperti coral and associate yang tumbuh > > berdasarkan kedalaman. Pada lingkungan ini kemunginan ada 'primary porosity" > > yaitu terdapat disela-sela kerangka. Geometri seperti ini akan sangat baik > > direkonstruksi dengan pemodelan yang dibangun dari pengamatan lapangan > > modern reef seperti pulau Seribu dan ancient reef seperti di Formasi > > Rajamandala Ciatatah - Padalarang dan tentunya data bawah pemukaan geologi > > reservoir yang menjadi target. > > > > 2. Secondary porosoity didalam karbonat masuk dalam wilayah "diagenesis" > > yang berkaitan dengan fasies, lingkungan pengendapan dan "exposure" > > phenomena pasca sedimentasi dan litifikasi. Di Indonesia, 2nd Porosity (2nd > > por) umumnya dikontrol oleh diagenesis, sedang di arid climate seperti di > > mediterania sebagian porosity dikontrol oleh facies, misalnya pada oolitic > > limestone positasnya mirip dengan batupasir yang well rounded. 2nd Por > > didaerah tropis umumnya disebabkan pelarutan "fresh water" setelah formasi > > batugamping ter
Re: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate
Terimakasih Pak Wikan atas feedbacknya yang berharga. Intinya, bagaimanapun juga nilai-nilai ini tidak pernah eksak banget, semuanya berdasarkan "statistik", sehingga kalau adapun nilai adalah hasil "estimasi" yang paling "optimum" alias mendekati. Salam AnssM - Original Message - From: Winderasta, Wikan (wikanw) To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Monday, August 06, 2007 1:21 PM Subject: RE: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate Pak Andri dan pak Shofi, boleh di-share metode perbandingan kuantitif nilai log dan core/petrologi secara umum saja - nggak mesti untuk karbonat? Apakah digunakan nilai "mean" dari delta kumpulan data point kedua object/data tersebut sebagai nilai "general bias"? Apabila diinginkan nilai "error atau uncertainty" dari log terhadap core, apakah digunakan harga standard deviasi dari nilai discrete data ataukah setengah dari range nilai low-high (misal : nilai min-max ataukah P10-P90) ? Bagaimanakah bila digunakan nilai mean absolut dari delta data, apakah bisa dianggap sebagai magnitude dari error log terhadap core tsb? Manakah yang lebih tepat digunakan mean absolut tsb, bila dibandingkan dengan nilai standard deviasi atau setengah dari range nilai low-high ? Saya sendiri kurang menyukai nilai "correlation coefficien" plot kedua data tersebut karena tidak menyatakan unit properti batuan yang sesungguhnya, sehingga sulit diintegrasikan untuk kuantifikasi ketidakpastian, misal dalam perhitungan volume cadangan (resources). terima kasih atas pencerahannya. ww -- From: Andri Subandrio [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, August 06, 2007 1:00 PM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate Mungkin ini bisa jadi jalan tengah, yaitu mengawinkan log petrology & petrophysic. Saya pernah melakukan quantitative petrological analyses dari cutting. Hasilnya berupa angka porositas dalam %. Pekerjaan ini memerlukan ketelitian dalam pengamatan porisitas dalam butiran cutting, oleh karena itu untuk satu sayatan dari range kedalaman tertentu bisa dipotret sampai 100 kali dan kemudian setiap temuan tekstur dan porositas dimasukan dalam tabel. Hasil penghitungan porositas tiap kedalaman lalu kita plot terhadap kedalaman, mirip grafik log. Grafik log petrologi lalu kita sandingkan dengan petrofisik. Pada waktu kami kerjakan analisis petrologi kuantitatif dan petrofisik ternyata bisa saling membantu. Selamat mencoba. Salam AnssM - Original Message - From: Shofiyuddin To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Monday, August 06, 2007 11:34 AM Subject: Re: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate Mas Andri, Memang segala sesuatunya harus kembali kepada asal. Nah log pun sama, harus dikalibrasi lagi kepada batuannya, bentuknya bisa kepada deskripsi batuan inti (core), sayatan tipis, SEM dan XRD. Begitu juga dengan sifat fisik batuan laen seperti porosity dan permeability. Tanpa itu, log tidak punya referensi. Kalo kita bicara batuan, kita bicara yang paling detil (dari micron same meter. Kalo kita bicara log, kita bicara dibilangan cm sampe meteran, tergantung jenis lognya apa. Bicara seismik bicara pada kisaran yang lebih besar lagi dari log. Nah yang sedang saya share ini bagaimana usaha kita untuk mengenal adanya porositas sekunder dari log dimana dari pengamatan core ditemukan adanya vuggy porosity. Secara umum, sonic log sering disebut sebagai salah satu tool yang cukup efektif untuk mengenal porositas sekunder ini sehingga banyak persamaan muncul yang diertai dengan asumsi yang berbeda berbeda beda. Salah satu contoh adalah penggunaan rumus SPI (Secondary Poroitas Index) digunakan dengan aumsi bahwa sonic log tidak melihat sama sekali adanya vug, jadi selisih antara porositas total dengan sonic dilihat sebagai adanya porosoitas sekunder. Untuk rumus Nurmi sedikit laen lagi karena dianggap alat sonik mampu untuk melihat "sebagian vuggy porosity, sekitar 50% dari aktual" nya. Nah begitu juga yang rumus yang laen. Yang menjadi masalah ditempat saya adalah kenapa justru porositas yang dihitung daro sonik kok lebih besar dari porositas totalnya (yang dihitung dari density dan neutron log)? nah itu yang saya lagi cari pak. Salam Shofi On 8/6/07, Andri Subandrio <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Bung Shofiyuddin yng budiman, saya bukan ahli petrophysic, tapi saya mau sharing atas dasar pengalaman saya bekerja sebagai petrologis untuk reservoir karbonat. Sebelumnya saya mohon segera dikorensi apabila ada yang kurang tepat. Beberapa ayang perlu diperhatikan pada karbonat antara lain : 1. Geometri, dimensi dan skala: Karbonat terutama yang beraso
RE: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate
Pak Andri dan pak Shofi, boleh di-share metode perbandingan kuantitif nilai log dan core/petrologi secara umum saja - nggak mesti untuk karbonat? Apakah digunakan nilai "mean" dari delta kumpulan data point kedua object/data tersebut sebagai nilai "general bias"? Apabila diinginkan nilai "error atau uncertainty" dari log terhadap core, apakah digunakan harga standard deviasi dari nilai discrete data ataukah setengah dari range nilai low-high (misal : nilai min-max ataukah P10-P90) ? Bagaimanakah bila digunakan nilai mean absolut dari delta data, apakah bisa dianggap sebagai magnitude dari error log terhadap core tsb? Manakah yang lebih tepat digunakan mean absolut tsb, bila dibandingkan dengan nilai standard deviasi atau setengah dari range nilai low-high ? Saya sendiri kurang menyukai nilai "correlation coefficien" plot kedua data tersebut karena tidak menyatakan unit properti batuan yang sesungguhnya, sehingga sulit diintegrasikan untuk kuantifikasi ketidakpastian, misal dalam perhitungan volume cadangan (resources). terima kasih atas pencerahannya. ww From: Andri Subandrio [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, August 06, 2007 1:00 PM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate Mungkin ini bisa jadi jalan tengah, yaitu mengawinkan log petrology & petrophysic. Saya pernah melakukan quantitative petrological analyses dari cutting. Hasilnya berupa angka porositas dalam %. Pekerjaan ini memerlukan ketelitian dalam pengamatan porisitas dalam butiran cutting, oleh karena itu untuk satu sayatan dari range kedalaman tertentu bisa dipotret sampai 100 kali dan kemudian setiap temuan tekstur dan porositas dimasukan dalam tabel. Hasil penghitungan porositas tiap kedalaman lalu kita plot terhadap kedalaman, mirip grafik log. Grafik log petrologi lalu kita sandingkan dengan petrofisik. Pada waktu kami kerjakan analisis petrologi kuantitatif dan petrofisik ternyata bisa saling membantu. Selamat mencoba. Salam AnssM - Original Message - From: Shofiyuddin <mailto:[EMAIL PROTECTED]> To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Monday, August 06, 2007 11:34 AM Subject: Re: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate Mas Andri, Memang segala sesuatunya harus kembali kepada asal. Nah log pun sama, harus dikalibrasi lagi kepada batuannya, bentuknya bisa kepada deskripsi batuan inti (core), sayatan tipis, SEM dan XRD. Begitu juga dengan sifat fisik batuan laen seperti porosity dan permeability. Tanpa itu, log tidak punya referensi. Kalo kita bicara batuan, kita bicara yang paling detil (dari micron same meter. Kalo kita bicara log, kita bicara dibilangan cm sampe meteran, tergantung jenis lognya apa. Bicara seismik bicara pada kisaran yang lebih besar lagi dari log. Nah yang sedang saya share ini bagaimana usaha kita untuk mengenal adanya porositas sekunder dari log dimana dari pengamatan core ditemukan adanya vuggy porosity. Secara umum, sonic log sering disebut sebagai salah satu tool yang cukup efektif untuk mengenal porositas sekunder ini sehingga banyak persamaan muncul yang diertai dengan asumsi yang berbeda berbeda beda. Salah satu contoh adalah penggunaan rumus SPI (Secondary Poroitas Index) digunakan dengan aumsi bahwa sonic log tidak melihat sama sekali adanya vug, jadi selisih antara porositas total dengan sonic dilihat sebagai adanya porosoitas sekunder. Untuk rumus Nurmi sedikit laen lagi karena dianggap alat sonik mampu untuk melihat "sebagian vuggy porosity, sekitar 50% dari aktual" nya. Nah begitu juga yang rumus yang laen. Yang menjadi masalah ditempat saya adalah kenapa justru porositas yang dihitung daro sonik kok lebih besar dari porositas totalnya (yang dihitung dari density dan neutron log)? nah itu yang saya lagi cari pak. Salam Shofi On 8/6/07, Andri Subandrio <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Bung Shofiyuddin yng budiman, saya bukan ahli petrophysic, tapi saya mau sharing atas dasar pengalaman saya bekerja sebagai petrologis untuk reservoir karbonat. Sebelumnya saya mohon segera dikorensi apabila ada yang kurang tepat. Beberapa ayang perlu diperhatikan pada karbonat antara lain : 1. Geometri, dimensi dan skala: Karbonat terutama yang berasosiasi dengan reef dan paparan mempunya geometri yang berbeda dengan klastik biasa seperti batupasir. Misalnya pada reef, tekstur dan besar butirnya sangat beragam tergantung jenis "organik" seperti coral and associate yang tumbuh berdasarkan kedalaman. Pada lingkungan ini kemunginan ada 'primary porosity" yaitu terdapat disela-sela kerangka. Geometri seperti ini akan sangat baik direkonstruksi dengan pemodelan yang dibangun dari pe
Re: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate
Mungkin ini bisa jadi jalan tengah, yaitu mengawinkan log petrology & petrophysic. Saya pernah melakukan quantitative petrological analyses dari cutting. Hasilnya berupa angka porositas dalam %. Pekerjaan ini memerlukan ketelitian dalam pengamatan porisitas dalam butiran cutting, oleh karena itu untuk satu sayatan dari range kedalaman tertentu bisa dipotret sampai 100 kali dan kemudian setiap temuan tekstur dan porositas dimasukan dalam tabel. Hasil penghitungan porositas tiap kedalaman lalu kita plot terhadap kedalaman, mirip grafik log. Grafik log petrologi lalu kita sandingkan dengan petrofisik. Pada waktu kami kerjakan analisis petrologi kuantitatif dan petrofisik ternyata bisa saling membantu. Selamat mencoba. Salam AnssM - Original Message - From: Shofiyuddin To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Monday, August 06, 2007 11:34 AM Subject: Re: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate Mas Andri, Memang segala sesuatunya harus kembali kepada asal. Nah log pun sama, harus dikalibrasi lagi kepada batuannya, bentuknya bisa kepada deskripsi batuan inti (core), sayatan tipis, SEM dan XRD. Begitu juga dengan sifat fisik batuan laen seperti porosity dan permeability. Tanpa itu, log tidak punya referensi. Kalo kita bicara batuan, kita bicara yang paling detil (dari micron same meter. Kalo kita bicara log, kita bicara dibilangan cm sampe meteran, tergantung jenis lognya apa. Bicara seismik bicara pada kisaran yang lebih besar lagi dari log. Nah yang sedang saya share ini bagaimana usaha kita untuk mengenal adanya porositas sekunder dari log dimana dari pengamatan core ditemukan adanya vuggy porosity. Secara umum, sonic log sering disebut sebagai salah satu tool yang cukup efektif untuk mengenal porositas sekunder ini sehingga banyak persamaan muncul yang diertai dengan asumsi yang berbeda berbeda beda. Salah satu contoh adalah penggunaan rumus SPI (Secondary Poroitas Index) digunakan dengan aumsi bahwa sonic log tidak melihat sama sekali adanya vug, jadi selisih antara porositas total dengan sonic dilihat sebagai adanya porosoitas sekunder. Untuk rumus Nurmi sedikit laen lagi karena dianggap alat sonik mampu untuk melihat "sebagian vuggy porosity, sekitar 50% dari aktual" nya. Nah begitu juga yang rumus yang laen. Yang menjadi masalah ditempat saya adalah kenapa justru porositas yang dihitung daro sonik kok lebih besar dari porositas totalnya (yang dihitung dari density dan neutron log)? nah itu yang saya lagi cari pak. Salam Shofi On 8/6/07, Andri Subandrio <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Bung Shofiyuddin yng budiman, saya bukan ahli petrophysic, tapi saya mau sharing atas dasar pengalaman saya bekerja sebagai petrologis untuk reservoir karbonat. Sebelumnya saya mohon segera dikorensi apabila ada yang kurang tepat. Beberapa ayang perlu diperhatikan pada karbonat antara lain : 1. Geometri, dimensi dan skala: Karbonat terutama yang berasosiasi dengan reef dan paparan mempunya geometri yang berbeda dengan klastik biasa seperti batupasir. Misalnya pada reef, tekstur dan besar butirnya sangat beragam tergantung jenis "organik" seperti coral and associate yang tumbuh berdasarkan kedalaman. Pada lingkungan ini kemunginan ada 'primary porosity" yaitu terdapat disela-sela kerangka. Geometri seperti ini akan sangat baik direkonstruksi dengan pemodelan yang dibangun dari pengamatan lapangan modern reef seperti pulau Seribu dan ancient reef seperti di Formasi Rajamandala Ciatatah - Padalarang dan tentunya data bawah pemukaan geologi reservoir yang menjadi target. 2. Secondary porosoity didalam karbonat masuk dalam wilayah "diagenesis" yang berkaitan dengan fasies, lingkungan pengendapan dan "exposure" phenomena pasca sedimentasi dan litifikasi. Di Indonesia, 2nd Porosity (2nd por) umumnya dikontrol oleh diagenesis, sedang di arid climate seperti di mediterania sebagian porosity dikontrol oleh facies, misalnya pada oolitic limestone positasnya mirip dengan batupasir yang well rounded. 2nd Por didaerah tropis umumnya disebabkan pelarutan "fresh water" setelah formasi batugamping ter "expose" diatas muka laut. Pelarutan ini biasanya didahului dengan berkembangnya "fracture network", lalu air tawar yang umumnya air hujan mulai bekerja membentuk porositas atau ruang-ruang yang dapat menghasilkan pori-pori yang kecil hingga raksasa! Karena itu tida heran 2nd por di ls (limestone) bisa dimasuki orang bahkan di Perancis gua-guanya bisa dipakai berlayar dengan boat! Dengan demikian dimensi di golkar (golongan karbonat) bukanlah hal yang sederhana untuk dipahami. 3. Resolusi petrofisika vs petrography: petrofisika resolusinya mungkin dalam dimensi cm hingga dm (atau bahkan meter ?), karenanya segmen yang bisa di 'trace" dalam log mungkin masih relatif kasar bila dibandingan dengan mi
Re: [iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate
Mas Andri, Memang segala sesuatunya harus kembali kepada asal. Nah log pun sama, harus dikalibrasi lagi kepada batuannya, bentuknya bisa kepada deskripsi batuan inti (core), sayatan tipis, SEM dan XRD. Begitu juga dengan sifat fisik batuan laen seperti porosity dan permeability. Tanpa itu, log tidak punya referensi. Kalo kita bicara batuan, kita bicara yang paling detil (dari micron same meter. Kalo kita bicara log, kita bicara dibilangan cm sampe meteran, tergantung jenis lognya apa. Bicara seismik bicara pada kisaran yang lebih besar lagi dari log. Nah yang sedang saya share ini bagaimana usaha kita untuk mengenal adanya porositas sekunder dari log dimana dari pengamatan core ditemukan adanya vuggy porosity. Secara umum, sonic log sering disebut sebagai salah satu tool yang cukup efektif untuk mengenal porositas sekunder ini sehingga banyak persamaan muncul yang diertai dengan asumsi yang berbeda berbeda beda. Salah satu contoh adalah penggunaan rumus SPI (Secondary Poroitas Index) digunakan dengan aumsi bahwa sonic log tidak melihat sama sekali adanya vug, jadi selisih antara porositas total dengan sonic dilihat sebagai adanya porosoitas sekunder. Untuk rumus Nurmi sedikit laen lagi karena dianggap alat sonik mampu untuk melihat "sebagian vuggy porosity, sekitar 50% dari aktual" nya. Nah begitu juga yang rumus yang laen. Yang menjadi masalah ditempat saya adalah kenapa justru porositas yang dihitung daro sonik kok lebih besar dari porositas totalnya (yang dihitung dari density dan neutron log)? nah itu yang saya lagi cari pak. Salam Shofi On 8/6/07, Andri Subandrio <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Bung Shofiyuddin yng budiman, saya bukan ahli petrophysic, tapi saya mau > sharing atas dasar pengalaman saya bekerja sebagai petrologis untuk > reservoir karbonat. Sebelumnya saya mohon segera dikorensi apabila ada yang > kurang tepat. Beberapa ayang perlu diperhatikan pada karbonat antara lain : > 1. Geometri, dimensi dan skala: Karbonat terutama yang berasosiasi dengan > reef dan paparan mempunya geometri yang berbeda dengan klastik biasa seperti > batupasir. Misalnya pada reef, tekstur dan besar butirnya sangat beragam > tergantung jenis "organik" seperti coral and associate yang tumbuh > berdasarkan kedalaman. Pada lingkungan ini kemunginan ada 'primary porosity" > yaitu terdapat disela-sela kerangka. Geometri seperti ini akan sangat baik > direkonstruksi dengan pemodelan yang dibangun dari pengamatan lapangan > modern reef seperti pulau Seribu dan ancient reef seperti di Formasi > Rajamandala Ciatatah - Padalarang dan tentunya data bawah pemukaan geologi > reservoir yang menjadi target. > > 2. Secondary porosoity didalam karbonat masuk dalam wilayah "diagenesis" > yang berkaitan dengan fasies, lingkungan pengendapan dan "exposure" > phenomena pasca sedimentasi dan litifikasi. Di Indonesia, 2nd Porosity (2nd > por) umumnya dikontrol oleh diagenesis, sedang di arid climate seperti di > mediterania sebagian porosity dikontrol oleh facies, misalnya pada oolitic > limestone positasnya mirip dengan batupasir yang well rounded. 2nd Por > didaerah tropis umumnya disebabkan pelarutan "fresh water" setelah formasi > batugamping ter "expose" diatas muka laut. Pelarutan ini biasanya didahului > dengan berkembangnya "fracture network", lalu air tawar yang umumnya air > hujan mulai bekerja membentuk porositas atau ruang-ruang yang dapat > menghasilkan pori-pori yang kecil hingga raksasa! Karena itu tida heran 2nd > por di ls (limestone) bisa dimasuki orang bahkan di Perancis gua-guanya bisa > dipakai berlayar dengan boat! Dengan demikian dimensi di golkar (golongan > karbonat) bukanlah hal yang sederhana untuk dipahami. > > 3. Resolusi petrofisika vs petrography: petrofisika resolusinya mungkin > dalam dimensi cm hingga dm (atau bahkan meter ?), karenanya segmen yang bisa > di 'trace" dalam log mungkin masih relatif kasar bila dibandingan dengan > mikroskopis dari sayatan tipis. Dengan petrografi dapat diamati besaran dari > mikron hingga mm, selain itu kita akan dapat melihat bagaimana fasies dan > sejarah diagenesisnya. Dengan penelitian diagenesis ls, dapat diperkirakan > bagaimana distribusi 2nd por nya. Data seismik juga bisa kolaburasi dengan > petrografi, terutama untuk memperkirakan geometri dan dimensi paparan > karbonatnya. Mungkin perlu kerjasama yang baik antara divisi petrologi, > petrofisik dan seismik untuk membangun model underground golkar. Cutting > petrologic analyses bisa sangat membantu petrofisik untuk memahami > development of 2nd porosity" Selamat Ber" golkar" ria. > > Salam > > Andri Subandrio > - Original Message - > > *From:* Shofiyuddin <[EMAIL PROTECTED]> > *To:* iagi-net@iagi.or.id > *Sent:* Monday, August 06, 2007 7:53 AM > *Subject:* [iagi-net-l] Petrophysics - Secondary Porosity > > > Barangkali ada yang bisa bantu masalah saya. > > Saya lagi mencoba menghitung besarnya secondary porosity di carbonat > dengan menggunakan pendekatan harga cementation factor (m). > >
[iagi-net-l] 2nd Porosity Petrophysic vs Petrography in Carbonate
Bung Shofiyuddin yng budiman, saya bukan ahli petrophysic, tapi saya mau sharing atas dasar pengalaman saya bekerja sebagai petrologis untuk reservoir karbonat. Sebelumnya saya mohon segera dikorensi apabila ada yang kurang tepat. Beberapa ayang perlu diperhatikan pada karbonat antara lain : 1. Geometri, dimensi dan skala: Karbonat terutama yang berasosiasi dengan reef dan paparan mempunya geometri yang berbeda dengan klastik biasa seperti batupasir. Misalnya pada reef, tekstur dan besar butirnya sangat beragam tergantung jenis "organik" seperti coral and associate yang tumbuh berdasarkan kedalaman. Pada lingkungan ini kemunginan ada 'primary porosity" yaitu terdapat disela-sela kerangka. Geometri seperti ini akan sangat baik direkonstruksi dengan pemodelan yang dibangun dari pengamatan lapangan modern reef seperti pulau Seribu dan ancient reef seperti di Formasi Rajamandala Ciatatah - Padalarang dan tentunya data bawah pemukaan geologi reservoir yang menjadi target. 2. Secondary porosoity didalam karbonat masuk dalam wilayah "diagenesis" yang berkaitan dengan fasies, lingkungan pengendapan dan "exposure" phenomena pasca sedimentasi dan litifikasi. Di Indonesia, 2nd Porosity (2nd por) umumnya dikontrol oleh diagenesis, sedang di arid climate seperti di mediterania sebagian porosity dikontrol oleh facies, misalnya pada oolitic limestone positasnya mirip dengan batupasir yang well rounded. 2nd Por didaerah tropis umumnya disebabkan pelarutan "fresh water" setelah formasi batugamping ter "expose" diatas muka laut. Pelarutan ini biasanya didahului dengan berkembangnya "fracture network", lalu air tawar yang umumnya air hujan mulai bekerja membentuk porositas atau ruang-ruang yang dapat menghasilkan pori-pori yang kecil hingga raksasa! Karena itu tida heran 2nd por di ls (limestone) bisa dimasuki orang bahkan di Perancis gua-guanya bisa dipakai berlayar dengan boat! Dengan demikian dimensi di golkar (golongan karbonat) bukanlah hal yang sederhana untuk dipahami. 3. Resolusi petrofisika vs petrography: petrofisika resolusinya mungkin dalam dimensi cm hingga dm (atau bahkan meter ?), karenanya segmen yang bisa di 'trace" dalam log mungkin masih relatif kasar bila dibandingan dengan mikroskopis dari sayatan tipis. Dengan petrografi dapat diamati besaran dari mikron hingga mm, selain itu kita akan dapat melihat bagaimana fasies dan sejarah diagenesisnya. Dengan penelitian diagenesis ls, dapat diperkirakan bagaimana distribusi 2nd por nya. Data seismik juga bisa kolaburasi dengan petrografi, terutama untuk memperkirakan geometri dan dimensi paparan karbonatnya. Mungkin perlu kerjasama yang baik antara divisi petrologi, petrofisik dan seismik untuk membangun model underground golkar. Cutting petrologic analyses bisa sangat membantu petrofisik untuk memahami development of 2nd porosity" Selamat Ber" golkar" ria. Salam Andri Subandrio - Original Message - From: Shofiyuddin To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Monday, August 06, 2007 7:53 AM Subject: [iagi-net-l] Petrophysics - Secondary Porosity Barangkali ada yang bisa bantu masalah saya. Saya lagi mencoba menghitung besarnya secondary porosity di carbonat dengan menggunakan pendekatan harga cementation factor (m). Saya coba menggunakan beberapa pendekatan persamaan di beberapa publikasi seperti persamaan Secondary Porosity Index, Nugent (1984), Nurmi, Rasmus, quadratic dan laen sebagainya. Dari seluruh persamaan yang ada, semuanya menyebutkan bahwa Porositas yang dihasilkan oleh SONIC selalu lebih rendah dari Total Porosity yang dihasilkan dari perhitungan Density dan Neutron. Nah yang dipunyai di lapangan saya ini kebalikannya, yaitu POROSITY SONIC selalu lebih tinggi dari TOTAL POROSITY (dari Density Neutron) nya. Akhirnya saya tidak bisa menggunakan beberapa persamaan diatas untuk menentukan berapa besarnya m dan berapa besarnya porsi secondary porosity dari sistem. Dari persamaan yang ada, hanya Nugent yang bisa diterapkan karena tidak mempunyai factor pengurangan Total Porosity dengan Sonic Porosity. Seandainya memang benar SONIC POROSITY lebih besar dari TOTAL POROSITY (DN), apakah saya bisa berargumanetasi bahwa SONIC tool ini bisa membaca lebih detil porosity laen yang tidak terbaca oleh Density dan Neutron? Apakah selisih antara SONIC Porosity dan Total Porosity adalah secondary porosity (vuggy)? kalo iya, berarti bertentangan dengan semua asumsi yang ada di publikasi. Thanks sebelumnya untuk yang mau berbagi ilmu. Salam Shofi