Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-07 Terurut Topik Dedi Sopian
Hoax tuh, kayaknya seneng banget kalau ada kata-kata yang memojokan perusahaan 
korea (samsung)
Sent from my BlackBerry® via Smart 1x / EVDO Network. Smart.Hebat.Hemat.

-Original Message-
From: cakra sa cakrami...@gmail.com
Sender: id-android@googlegroups.com
Date: Fri, 7 Sep 2012 08:34:36 
To: id-android@googlegroups.com
Reply-To: id-android@googlegroups.com
Subject: Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp,
 Toshiba dan Sanyo...

 2. Perusahaan Korea khususnya perusahaan elektronika jarang berinovasi,
mereka kebanyakan mencontoh produk jepang, dan memasarkan produknya dengan
harga murah, tercatat hampir semua produk seperti bluray, 3d tv dll sony
adalah penemunya,tapi yg menjadi pemimpin pasarnya adalah LG atau samsung.

Hmm.. I like this point




 3.Senjata perusahaan Korea adalah market share dan profil, dgn adanya
market share salah satu indikator suksesnya penjualan maka perusahaan Korea
secara otomatis akan memiliki cabang yang banyak, sehingga penetrasi ke
daerah menjadi lebih maksimal. LG saja hampir disetiap provinsi memiliki
kantor cabang.

 4. Generasi Y yang sekarang mendominasi populasi di Indonesia juga sudah
tidak terlalu jepang oriented

 On Sep 5, 2012 10:12 AM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
wrote:

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


--


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

 Faktor 3 : Old

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-07 Terurut Topik Petra Immanuel
xixixi iya kadang seru baca disini ternyata banyak banget yg benci sama
samsung...
padahal Android loh wkwkwkwkwk

Termasuk yg memperkenalkan Android ke Indonesia (Spica)

Malah sampe ada yg bilang yg, make Samsung termakan sama merk doang.
Biar tombol tengah ilang, bahan bkn plastik, tapi ada logo Samsung, ga mau
dahhh

Lebih pilih Galaxy S3, yg tulisan Samsung nya di ganti :D

2012/9/7 Dedi Sopian dedi.sop...@gmail.com

 **
 Hoax tuh, kayaknya seneng banget kalau ada kata-kata yang memojokan
 perusahaan korea (samsung)
 Sent from my BlackBerry® via Smart 1x / EVDO Network. Smart.Hebat.Hemat.
 --
 *From: * cakra sa cakrami...@gmail.com
 *Sender: * id-android@googlegroups.com
 *Date: *Fri, 7 Sep 2012 08:34:36 +0700
 *To: *id-android@googlegroups.com
 *ReplyTo: * id-android@googlegroups.com
 *Subject: *Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic,
 Sharp, Toshiba dan Sanyo...


  2. Perusahaan Korea khususnya perusahaan elektronika jarang berinovasi,
 mereka kebanyakan mencontoh produk jepang, dan memasarkan produknya dengan
 harga murah, tercatat hampir semua produk seperti bluray, 3d tv dll sony
 adalah penemunya,tapi yg menjadi pemimpin pasarnya adalah LG atau samsung.

 Hmm.. I like this point




  3.Senjata perusahaan Korea adalah market share dan profil, dgn adanya
 market share salah satu indikator suksesnya penjualan maka perusahaan Korea
 secara otomatis akan memiliki cabang yang banyak, sehingga penetrasi ke
 daerah menjadi lebih maksimal. LG saja hampir disetiap provinsi memiliki
 kantor cabang.
 
  4. Generasi Y yang sekarang mendominasi populasi di Indonesia juga sudah
 tidak terlalu jepang oriented
 
  On Sep 5, 2012 10:12 AM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 wrote:
 
  Dari sebuah millist
 
  agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?
 
 
 --
 
 
  Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
  kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
  disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
  pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.
 
  Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
  trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
  bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
  menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
  ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
  mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).
 
  Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
  kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
  Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.
 
  Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
  Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
  meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
  elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
  juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
  gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.
 
  What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
  seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
  petik sebagai pelajaran.
 
  Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
  kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
  development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
  perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
  mengangungkan harmoni dan konsensus.
 
  Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
  yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
  berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
  yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
  sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
  hanya bisa melongo.
 
  Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
  lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).
 
  Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
  nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
  tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.
 
  Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
  Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
  tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
  budaya sungkan pada atasan.
 
  Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
  senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
  akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-07 Terurut Topik Iwan Robotijo
Ijin #ngakak


Thx,

Iwan
08170002442
08818002342

Dikirim via Monaco Nyambuung teruuss..!!

-Original Message-
From: Petra Immanuel petra.imman...@gmail.com
Sender: id-android@googlegroups.com
Date: Fri, 7 Sep 2012 16:30:36 
To: id-android@googlegroups.com
Reply-To: id-android@googlegroups.com
Subject: Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp,
 Toshiba dan Sanyo...

xixixi iya kadang seru baca disini ternyata banyak banget yg benci sama
samsung...
padahal Android loh wkwkwkwkwk

Termasuk yg memperkenalkan Android ke Indonesia (Spica)

Malah sampe ada yg bilang yg, make Samsung termakan sama merk doang.
Biar tombol tengah ilang, bahan bkn plastik, tapi ada logo Samsung, ga mau
dahhh

Lebih pilih Galaxy S3, yg tulisan Samsung nya di ganti :D

2012/9/7 Dedi Sopian dedi.sop...@gmail.com

 **
 Hoax tuh, kayaknya seneng banget kalau ada kata-kata yang memojokan
 perusahaan korea (samsung)
 Sent from my BlackBerry® via Smart 1x / EVDO Network. Smart.Hebat.Hemat.
 --
 *From: * cakra sa cakrami...@gmail.com
 *Sender: * id-android@googlegroups.com
 *Date: *Fri, 7 Sep 2012 08:34:36 +0700
 *To: *id-android@googlegroups.com
 *ReplyTo: * id-android@googlegroups.com
 *Subject: *Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic,
 Sharp, Toshiba dan Sanyo...


  2. Perusahaan Korea khususnya perusahaan elektronika jarang berinovasi,
 mereka kebanyakan mencontoh produk jepang, dan memasarkan produknya dengan
 harga murah, tercatat hampir semua produk seperti bluray, 3d tv dll sony
 adalah penemunya,tapi yg menjadi pemimpin pasarnya adalah LG atau samsung.

 Hmm.. I like this point




  3.Senjata perusahaan Korea adalah market share dan profil, dgn adanya
 market share salah satu indikator suksesnya penjualan maka perusahaan Korea
 secara otomatis akan memiliki cabang yang banyak, sehingga penetrasi ke
 daerah menjadi lebih maksimal. LG saja hampir disetiap provinsi memiliki
 kantor cabang.
 
  4. Generasi Y yang sekarang mendominasi populasi di Indonesia juga sudah
 tidak terlalu jepang oriented
 
  On Sep 5, 2012 10:12 AM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 wrote:
 
  Dari sebuah millist
 
  agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?
 
 
 --
 
 
  Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
  kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
  disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
  pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.
 
  Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
  trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
  bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
  menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
  ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
  mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).
 
  Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
  kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
  Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.
 
  Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
  Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
  meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
  elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
  juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
  gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.
 
  What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
  seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
  petik sebagai pelajaran.
 
  Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
  kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
  development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
  perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
  mengangungkan harmoni dan konsensus.
 
  Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
  yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
  berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
  yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
  sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
  hanya bisa melongo.
 
  Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
  lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).
 
  Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
  nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
  tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.
 
  Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-06 Terurut Topik Lana's
Contoh nyata, sampai saat ini sudah beberapa bulan sejak launching dan
dibahas di milis ini, produk sony smartwatch yang saya tunggu2 belum
masuk juga secara resmi, pernah masuk dalam jumlah sedikit dan
langsung ludes, permintaan sampai sekarang sangat tinggi, tapi sony
sepertinya tidak bisa melihat peluang ini, beda dengan samsung yang
selalu membuka promo tidak lama setelah launching, dan hampir tidak
pernah ada kasus kehabisan stok, mereka sangat cepat tanggap terhadap
kebutuhan konsumen.
Regards,
Lana's

2012/9/6 Norris YP xinnamon...@gmail.com:
 Setuju dan bagus sekali sharenya karena , evolusi suatu bisnis dari negara
 atau budaya mana saja ada kalanya profile perkembangan graphis menjadi flat
 dan cenderung menurun pada suatu titik, jika tdk menyiapkan langkah
 antisipasi dan inovasi pd titik tsb, niscaya bisa jadi trus menurun dan
 bahkan hilang sama sekali.. Dan maybe industry elektonik jepun saat ini
 apakah sdh di titik tsb ? Atau mereka siap2 dgn inovasi dan gebrakan
 baru..wi'll see :)

 Regards


 Norris

 Sent from Gnote10
 
 From: ardi kemara ardi.kema...@gmail.com
 Sender: id-android@googlegroups.com
 Date: Thu, 6 Sep 2012 16:46:46 +0700
 To: id-android@googlegroups.com
 ReplyTo: id-android@googlegroups.com
 Subject: Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp,
 Toshiba dan Sanyo...

 Selamat sore rr,

 Kalo boleh ikutan berdiskusi sedikit, sebagai mantan public relation LG
 Electronic Indonesia, runtuhnya dominasi jepang di dominasi beberapa hal:

 1.budaya dari perusahaan Korea adalah kecepatan, hampir seluruh perusahaan
 Korea pasti menempatkan kata cepat sebagai budayanya, sangat cepat dalam
 melakukan apapun.

 2. Perusahaan Korea khususnya perusahaan elektronika jarang berinovasi,
 mereka kebanyakan mencontoh produk jepang, dan memasarkan produknya dengan
 harga murah, tercatat hampir semua produk seperti bluray, 3d tv dll sony
 adalah penemunya,tapi yg menjadi pemimpin pasarnya adalah LG atau samsung.

 3.Senjata perusahaan Korea adalah market share dan profil, dgn adanya market
 share salah satu indikator suksesnya penjualan maka perusahaan Korea secara
 otomatis akan memiliki cabang yang banyak, sehingga penetrasi ke  daerah
 menjadi lebih maksimal. LG saja hampir disetiap provinsi memiliki kantor
 cabang.

 4. Generasi Y yang sekarang mendominasi populasi di Indonesia juga sudah
 tidak terlalu jepang oriented dan lebih sensitif dgn harga.

 Jika jepang ingin merebut pasar lagi ,agak terlalu susah karena saya yakin
 diseluruh negara berkembang penetrasi korea sudah sangat dasyat, satu
 satunya cara adalah mengalah untuk menang, lupakan generasi Y, rebut hati
 generasi Z.

 Ardi Kemara Pradipta
 www.ardikemarap.com

 On Sep 5, 2012 10:12 AM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 wrote:

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-06 Terurut Topik Boedi
Intinya bro, jgn terlena dgn kemapanan dan kenyamanan. Mobil jepang emang
skrg sdg di atas, tapi begitu mereka tidak inovatif maka akan tergerus.
Contohnya jika mobil jepang tidak cpt mengeluarkan mobil listrik murah di
indonesia, niscaya akan tergerus ama mobilnya bos surabaya. He...he

sent by sfandro
On Sep 6, 2012 12:21 PM, Mas Dian nampanaj...@gmail.com wrote:

 kalo gadget bener..tapi untuk industri lain,spt otomotif jepang masih
 rajanya.. Toyota misalnya ..sekarang perusahaan dunia belajar The Toyota
 Way nya..

 jadi jangan menggeneralisir industri jepang hanya dari satu aspek..namanya
 sesat pikir (falacy) itu :)




 On Sep 5, 2012 5:12 PM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 wrote:

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

 Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
 dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
 negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
 diatas 50 tahun.

 Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
 masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

 Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
 bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan
 yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga
 

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-06 Terurut Topik cakra sa
 2. Perusahaan Korea khususnya perusahaan elektronika jarang berinovasi,
mereka kebanyakan mencontoh produk jepang, dan memasarkan produknya dengan
harga murah, tercatat hampir semua produk seperti bluray, 3d tv dll sony
adalah penemunya,tapi yg menjadi pemimpin pasarnya adalah LG atau samsung.

Hmm.. I like this point




 3.Senjata perusahaan Korea adalah market share dan profil, dgn adanya
market share salah satu indikator suksesnya penjualan maka perusahaan Korea
secara otomatis akan memiliki cabang yang banyak, sehingga penetrasi ke
daerah menjadi lebih maksimal. LG saja hampir disetiap provinsi memiliki
kantor cabang.

 4. Generasi Y yang sekarang mendominasi populasi di Indonesia juga sudah
tidak terlalu jepang oriented

 On Sep 5, 2012 10:12 AM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
wrote:

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


--


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

 Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
 dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
 negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
 diatas 50 tahun.

 Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
 masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

 Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
 bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya 

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-06 Terurut Topik Arianto C Nugroho
hampir di semua produk elektronik bergerak ke arah yang sama ...

it doesn't have to be perfect, it just has to be good enough ...

gak perlu bisa bertahan sampai 10 tahun, tapi cukup 3 tahun aja .. toh
dalam waktu 3 tahun sudah ada teknologi baru yang kemungkinan kita mau beli
khan ?

Ayah saya selalu bilang, TV jaman dulu itu bisa tahan sampe 20 tahun ..
jaman sekarang, bisa tahan 2 tahun aja udah bagus ..

2012/9/5 Aris Rubiyanto aris.fotogr...@gmail.com

 Beneran nih oum ?
 emang sih LG dan samsung lagi booming,
 harga ok, kualitas menawan

 coba ketuk daleman kulkas sharp dengan harga lebih mahal,
 dan coba ketuk daleman kulkas LG
 pasti berasa bedanya
 sama halnya dengan elektronik lainnya juga


 2012/9/5 Andi - leo5354 leo5...@se-ven.net

 **
 Kalau dibilang mirip Budaya Indonesia kurang pas juga
 Penyebab bangsa ini ngga bisa maju maksimal yg paling utama adalah budaya
 Instant dalam artian, lbh mementingkan hasil dalam jangka pendek ketimbang
 menunggu proses dan hasilnya dalam jangka menengah atau panjang
 Bisa kita lihat bahwa industri kita sampai saat ini mayoritas didominasi
 oleh perusahaan penjahit bukan pembuat
 Asato ma sad gamaya, tamaso ma jyotir gamaya, mrutyor ma amritam gamaya
 --
 *From: * Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 *Sender: * id-android@googlegroups.com
 *Date: *Wed, 5 Sep 2012 17:11:57 +0700
 *To: *id-android@googlegroups.com
 *ReplyTo: * id-android@googlegroups.com
 *Subject: *[id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp,
 Toshiba dan Sanyo...

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-06 Terurut Topik Yohan Yudanara
TV dulu awet karena dulu nyetelnya cuma unyil, hunter, remington steele,
berita nasional, dunia dalam berita, menggambar pak tino sidin :)
Sekarang kan nyala terus hihihi...

2012/9/6 Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com

 hampir di semua produk elektronik bergerak ke arah yang sama ...

 it doesn't have to be perfect, it just has to be good enough ...

 gak perlu bisa bertahan sampai 10 tahun, tapi cukup 3 tahun aja .. toh
 dalam waktu 3 tahun sudah ada teknologi baru yang kemungkinan kita mau beli
 khan ?

 Ayah saya selalu bilang, TV jaman dulu itu bisa tahan sampe 20 tahun ..
 jaman sekarang, bisa tahan 2 tahun aja udah bagus ..


 2012/9/5 Aris Rubiyanto aris.fotogr...@gmail.com

 Beneran nih oum ?
 emang sih LG dan samsung lagi booming,
 harga ok, kualitas menawan

 coba ketuk daleman kulkas sharp dengan harga lebih mahal,
 dan coba ketuk daleman kulkas LG
 pasti berasa bedanya
 sama halnya dengan elektronik lainnya juga


 2012/9/5 Andi - leo5354 leo5...@se-ven.net

 **
 Kalau dibilang mirip Budaya Indonesia kurang pas juga
 Penyebab bangsa ini ngga bisa maju maksimal yg paling utama adalah
 budaya Instant dalam artian, lbh mementingkan hasil dalam jangka pendek
 ketimbang menunggu proses dan hasilnya dalam jangka menengah atau panjang
 Bisa kita lihat bahwa industri kita sampai saat ini mayoritas didominasi
 oleh perusahaan penjahit bukan pembuat
 Asato ma sad gamaya, tamaso ma jyotir gamaya, mrutyor ma amritam gamaya
 --
 *From: * Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 *Sender: * id-android@googlegroups.com
 *Date: *Wed, 5 Sep 2012 17:11:57 +0700
 *To: *id-android@googlegroups.com
 *ReplyTo: * id-android@googlegroups.com
 *Subject: *[id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp,
 Toshiba dan Sanyo...

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-06 Terurut Topik Arianto C Nugroho
eit busyet .. ketahuan nih angkatan berapa :))

masih kurang ; Charlie's Angels (the original one)

2012/9/6 Yohan Yudanara yohan.yudan...@gmail.com

 TV dulu awet karena dulu nyetelnya cuma unyil, hunter, remington steele,
 berita nasional, dunia dalam berita, menggambar pak tino sidin :)
 Sekarang kan nyala terus hihihi...

 2012/9/6 Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com

 hampir di semua produk elektronik bergerak ke arah yang sama ...

 it doesn't have to be perfect, it just has to be good enough ...

 gak perlu bisa bertahan sampai 10 tahun, tapi cukup 3 tahun aja .. toh
 dalam waktu 3 tahun sudah ada teknologi baru yang kemungkinan kita mau beli
 khan ?

 Ayah saya selalu bilang, TV jaman dulu itu bisa tahan sampe 20 tahun ..
 jaman sekarang, bisa tahan 2 tahun aja udah bagus ..


 2012/9/5 Aris Rubiyanto aris.fotogr...@gmail.com

 Beneran nih oum ?
 emang sih LG dan samsung lagi booming,
 harga ok, kualitas menawan

  coba ketuk daleman kulkas sharp dengan harga lebih mahal,
 dan coba ketuk daleman kulkas LG
 pasti berasa bedanya
 sama halnya dengan elektronik lainnya juga


 2012/9/5 Andi - leo5354 leo5...@se-ven.net

 **
 Kalau dibilang mirip Budaya Indonesia kurang pas juga
 Penyebab bangsa ini ngga bisa maju maksimal yg paling utama adalah
 budaya Instant dalam artian, lbh mementingkan hasil dalam jangka pendek
 ketimbang menunggu proses dan hasilnya dalam jangka menengah atau panjang
 Bisa kita lihat bahwa industri kita sampai saat ini mayoritas
 didominasi oleh perusahaan penjahit bukan pembuat
 Asato ma sad gamaya, tamaso ma jyotir gamaya, mrutyor ma amritam
 gamaya
 --
 *From: * Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 *Sender: * id-android@googlegroups.com
 *Date: *Wed, 5 Sep 2012 17:11:57 +0700
 *To: *id-android@googlegroups.com
 *ReplyTo: * id-android@googlegroups.com
 *Subject: *[id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic,
 Sharp, Toshiba dan Sanyo...

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-06 Terurut Topik Eko Prasetiyo
Hunter, magnum PI, miami vice, airwolf, knight rider.
On Sep 6, 2012 2:48 PM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
wrote:

 eit busyet .. ketahuan nih angkatan berapa :))

 masih kurang ; Charlie's Angels (the original one)

 2012/9/6 Yohan Yudanara yohan.yudan...@gmail.com

 TV dulu awet karena dulu nyetelnya cuma unyil, hunter, remington steele,
 berita nasional, dunia dalam berita, menggambar pak tino sidin :)
 Sekarang kan nyala terus hihihi...

 2012/9/6 Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com

 hampir di semua produk elektronik bergerak ke arah yang sama ...

 it doesn't have to be perfect, it just has to be good enough ...

 gak perlu bisa bertahan sampai 10 tahun, tapi cukup 3 tahun aja .. toh
 dalam waktu 3 tahun sudah ada teknologi baru yang kemungkinan kita mau beli
 khan ?

 Ayah saya selalu bilang, TV jaman dulu itu bisa tahan sampe 20 tahun ..
 jaman sekarang, bisa tahan 2 tahun aja udah bagus ..


 2012/9/5 Aris Rubiyanto aris.fotogr...@gmail.com

 Beneran nih oum ?
 emang sih LG dan samsung lagi booming,
 harga ok, kualitas menawan

  coba ketuk daleman kulkas sharp dengan harga lebih mahal,
 dan coba ketuk daleman kulkas LG
 pasti berasa bedanya
 sama halnya dengan elektronik lainnya juga


 2012/9/5 Andi - leo5354 leo5...@se-ven.net

 **
 Kalau dibilang mirip Budaya Indonesia kurang pas juga
 Penyebab bangsa ini ngga bisa maju maksimal yg paling utama adalah
 budaya Instant dalam artian, lbh mementingkan hasil dalam jangka pendek
 ketimbang menunggu proses dan hasilnya dalam jangka menengah atau panjang
 Bisa kita lihat bahwa industri kita sampai saat ini mayoritas
 didominasi oleh perusahaan penjahit bukan pembuat
 Asato ma sad gamaya, tamaso ma jyotir gamaya, mrutyor ma amritam
 gamaya
 --
 *From: * Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 *Sender: * id-android@googlegroups.com
 *Date: *Wed, 5 Sep 2012 17:11:57 +0700
 *To: *id-android@googlegroups.com
 *ReplyTo: * id-android@googlegroups.com
 *Subject: *[id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic,
 Sharp, Toshiba dan Sanyo...

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping.
 Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur
 kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-06 Terurut Topik Arianto C Nugroho
ah .. itu kebanyakan udah jaman-nya RCTI ... waktu masih TVRI aja dong .. ;D

*I'm getting old*

2012/9/6 Eko Prasetiyo ekopraset...@gmail.com

 Hunter, magnum PI, miami vice, airwolf, knight rider.
 On Sep 6, 2012 2:48 PM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 wrote:

 eit busyet .. ketahuan nih angkatan berapa :))

 masih kurang ; Charlie's Angels (the original one)

 2012/9/6 Yohan Yudanara yohan.yudan...@gmail.com

 TV dulu awet karena dulu nyetelnya cuma unyil, hunter, remington steele,
 berita nasional, dunia dalam berita, menggambar pak tino sidin :)
 Sekarang kan nyala terus hihihi...

 2012/9/6 Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com

 hampir di semua produk elektronik bergerak ke arah yang sama ...

 it doesn't have to be perfect, it just has to be good enough ...

 gak perlu bisa bertahan sampai 10 tahun, tapi cukup 3 tahun aja .. toh
 dalam waktu 3 tahun sudah ada teknologi baru yang kemungkinan kita mau beli
 khan ?

 Ayah saya selalu bilang, TV jaman dulu itu bisa tahan sampe 20 tahun ..
 jaman sekarang, bisa tahan 2 tahun aja udah bagus ..


 2012/9/5 Aris Rubiyanto aris.fotogr...@gmail.com

 Beneran nih oum ?
 emang sih LG dan samsung lagi booming,
 harga ok, kualitas menawan

  coba ketuk daleman kulkas sharp dengan harga lebih mahal,
 dan coba ketuk daleman kulkas LG
 pasti berasa bedanya
 sama halnya dengan elektronik lainnya juga


 2012/9/5 Andi - leo5354 leo5...@se-ven.net

 **
 Kalau dibilang mirip Budaya Indonesia kurang pas juga
 Penyebab bangsa ini ngga bisa maju maksimal yg paling utama adalah
 budaya Instant dalam artian, lbh mementingkan hasil dalam jangka pendek
 ketimbang menunggu proses dan hasilnya dalam jangka menengah atau panjang
 Bisa kita lihat bahwa industri kita sampai saat ini mayoritas
 didominasi oleh perusahaan penjahit bukan pembuat
 Asato ma sad gamaya, tamaso ma jyotir gamaya, mrutyor ma amritam
 gamaya
 --
 *From: * Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 *Sender: * id-android@googlegroups.com
 *Date: *Wed, 5 Sep 2012 17:11:57 +0700
 *To: *id-android@googlegroups.com
 *ReplyTo: * id-android@googlegroups.com
 *Subject: *[id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic,
 Sharp, Toshiba dan Sanyo...

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun
 silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka
 kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping.
 Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat
 murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur
 kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau
 LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan
 Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya
 tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-06 Terurut Topik Eko Prasetiyo
Ahh.. berarti saya ttp lebih muda... :P
On Sep 6, 2012 3:18 PM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
wrote:

 ah .. itu kebanyakan udah jaman-nya RCTI ... waktu masih TVRI aja dong ..
 ;D

 *I'm getting old*

 2012/9/6 Eko Prasetiyo ekopraset...@gmail.com

 Hunter, magnum PI, miami vice, airwolf, knight rider.
 On Sep 6, 2012 2:48 PM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 wrote:

 eit busyet .. ketahuan nih angkatan berapa :))

 masih kurang ; Charlie's Angels (the original one)

 2012/9/6 Yohan Yudanara yohan.yudan...@gmail.com

 TV dulu awet karena dulu nyetelnya cuma unyil, hunter, remington
 steele, berita nasional, dunia dalam berita, menggambar pak tino sidin :)
 Sekarang kan nyala terus hihihi...

 2012/9/6 Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com

 hampir di semua produk elektronik bergerak ke arah yang sama ...

 it doesn't have to be perfect, it just has to be good enough ...

 gak perlu bisa bertahan sampai 10 tahun, tapi cukup 3 tahun aja .. toh
 dalam waktu 3 tahun sudah ada teknologi baru yang kemungkinan kita mau 
 beli
 khan ?

 Ayah saya selalu bilang, TV jaman dulu itu bisa tahan sampe 20 tahun
 .. jaman sekarang, bisa tahan 2 tahun aja udah bagus ..


 2012/9/5 Aris Rubiyanto aris.fotogr...@gmail.com

 Beneran nih oum ?
 emang sih LG dan samsung lagi booming,
 harga ok, kualitas menawan

  coba ketuk daleman kulkas sharp dengan harga lebih mahal,
 dan coba ketuk daleman kulkas LG
 pasti berasa bedanya
 sama halnya dengan elektronik lainnya juga


 2012/9/5 Andi - leo5354 leo5...@se-ven.net

 **
 Kalau dibilang mirip Budaya Indonesia kurang pas juga
 Penyebab bangsa ini ngga bisa maju maksimal yg paling utama adalah
 budaya Instant dalam artian, lbh mementingkan hasil dalam jangka pendek
 ketimbang menunggu proses dan hasilnya dalam jangka menengah atau 
 panjang
 Bisa kita lihat bahwa industri kita sampai saat ini mayoritas
 didominasi oleh perusahaan penjahit bukan pembuat
 Asato ma sad gamaya, tamaso ma jyotir gamaya, mrutyor ma amritam
 gamaya
 --
 *From: * Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 *Sender: * id-android@googlegroups.com
 *Date: *Wed, 5 Sep 2012 17:11:57 +0700
 *To: *id-android@googlegroups.com
 *ReplyTo: * id-android@googlegroups.com
 *Subject: *[id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic,
 Sharp, Toshiba dan Sanyo...

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun
 silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka
 kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping.
 Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp
 berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi
 notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat
 murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori
 digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh
 dan tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa
 kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur
 kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk
 apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau
 LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan
 Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya
 tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-06 Terurut Topik ardi kemara
Selamat sore rr,

Kalo boleh ikutan berdiskusi sedikit, sebagai mantan public relation LG
Electronic Indonesia, runtuhnya dominasi jepang di dominasi beberapa hal:

1.budaya dari perusahaan Korea adalah kecepatan, hampir seluruh perusahaan
Korea pasti menempatkan kata cepat sebagai budayanya, sangat cepat dalam
melakukan apapun.

2. Perusahaan Korea khususnya perusahaan elektronika jarang berinovasi,
mereka kebanyakan mencontoh produk jepang, dan memasarkan produknya dengan
harga murah, tercatat hampir semua produk seperti bluray, 3d tv dll sony
adalah penemunya,tapi yg menjadi pemimpin pasarnya adalah LG atau samsung.

3.Senjata perusahaan Korea adalah market share dan profil, dgn adanya
market share salah satu indikator suksesnya penjualan maka perusahaan Korea
secara otomatis akan memiliki cabang yang banyak, sehingga penetrasi ke
daerah menjadi lebih maksimal. LG saja hampir disetiap provinsi memiliki
kantor cabang.

4. Generasi Y yang sekarang mendominasi populasi di Indonesia juga sudah
tidak terlalu jepang oriented dan lebih sensitif dgn harga.

Jika jepang ingin merebut pasar lagi ,agak terlalu susah karena saya yakin
diseluruh negara berkembang penetrasi korea sudah sangat dasyat, satu
satunya cara adalah mengalah untuk menang, lupakan generasi Y, rebut hati
generasi Z.

Ardi Kemara Pradipta
www.ardikemarap.com
On Sep 5, 2012 10:12 AM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
wrote:

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas 

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-06 Terurut Topik Norris YP
Setuju dan bagus sekali sharenya karena , evolusi suatu bisnis dari negara atau 
budaya mana saja  ada kalanya profile perkembangan graphis  menjadi flat dan 
cenderung menurun pada suatu titik, jika tdk menyiapkan langkah antisipasi dan 
inovasi pd titik tsb,  niscaya bisa jadi trus menurun dan bahkan hilang sama 
sekali.. Dan maybe industry elektonik jepun saat ini apakah sdh di titik tsb ? 
Atau mereka siap2 dgn inovasi dan gebrakan baru..wi'll see :)


Regards


Norris

Sent from Gnote10

-Original Message-
From: ardi kemara ardi.kema...@gmail.com
Sender: id-android@googlegroups.com
Date: Thu, 6 Sep 2012 16:46:46 
To: id-android@googlegroups.com
Reply-To: id-android@googlegroups.com
Subject: Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp,
 Toshiba dan Sanyo...

Selamat sore rr,

Kalo boleh ikutan berdiskusi sedikit, sebagai mantan public relation LG
Electronic Indonesia, runtuhnya dominasi jepang di dominasi beberapa hal:

1.budaya dari perusahaan Korea adalah kecepatan, hampir seluruh perusahaan
Korea pasti menempatkan kata cepat sebagai budayanya, sangat cepat dalam
melakukan apapun.

2. Perusahaan Korea khususnya perusahaan elektronika jarang berinovasi,
mereka kebanyakan mencontoh produk jepang, dan memasarkan produknya dengan
harga murah, tercatat hampir semua produk seperti bluray, 3d tv dll sony
adalah penemunya,tapi yg menjadi pemimpin pasarnya adalah LG atau samsung.

3.Senjata perusahaan Korea adalah market share dan profil, dgn adanya
market share salah satu indikator suksesnya penjualan maka perusahaan Korea
secara otomatis akan memiliki cabang yang banyak, sehingga penetrasi ke
daerah menjadi lebih maksimal. LG saja hampir disetiap provinsi memiliki
kantor cabang.

4. Generasi Y yang sekarang mendominasi populasi di Indonesia juga sudah
tidak terlalu jepang oriented dan lebih sensitif dgn harga.

Jika jepang ingin merebut pasar lagi ,agak terlalu susah karena saya yakin
diseluruh negara berkembang penetrasi korea sudah sangat dasyat, satu
satunya cara adalah mengalah untuk menang, lupakan generasi Y, rebut hati
generasi Z.

Ardi Kemara Pradipta
www.ardikemarap.com
On Sep 5, 2012 10:12 AM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
wrote:

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah

[id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Arianto C Nugroho
Dari sebuah millist

agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?

--


Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.

What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
petik sebagai pelajaran.

Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
mengangungkan harmoni dan konsensus.

Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
hanya bisa melongo.

Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
budaya sungkan pada atasan.

Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
diatas 50 tahun.

Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan
yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga
manajer-manajer senior dan tua itu.

Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas
inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa
raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal
pada tiga elemen di atas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada
dalam bayang-bayang kematian.


http://strategimanajemen.net/2012/09/03/the-death-of-samurai-robohnya-sony-panasonic-sharp-dan-sanyo/


Sent from my Blewah Berry®



 MILIS LINTAS ANGKATAN DI SMA NEGERI 8 JAKARTA 

==

NO PROFIT, NO CHATTING, NO SPAM, NO SARA, NO CORUPPTION,
NO TERORIST, NO ALCOHOL, NO STALGIA...SMA 

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Reski@Droid
Terima kasih.. Nice share
On Sep 5, 2012 5:12 PM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
wrote:

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

 Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
 dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
 negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
 diatas 50 tahun.

 Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
 masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

 Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
 bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan
 yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga
 manajer-manajer senior dan tua itu.

 Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas
 inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

 Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa
 raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal
 pada tiga elemen di atas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada
 dalam bayang-bayang kematian.



 http://strategimanajemen.net/2012/09/03/the-death-of-samurai-robohnya-sony-panasonic-sharp-dan-sanyo/


 Sent from my Blewah Berry®

 

  MILIS LINTAS ANGKATAN DI SMA NEGERI 8 

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Andi - leo5354
Kalau dibilang mirip Budaya Indonesia kurang pas juga
Penyebab bangsa ini ngga bisa maju maksimal yg paling utama adalah budaya 
Instant dalam artian, lbh mementingkan hasil dalam jangka pendek ketimbang 
menunggu proses dan hasilnya dalam jangka menengah atau panjang
Bisa kita lihat bahwa industri kita sampai saat ini mayoritas didominasi oleh 
perusahaan penjahit bukan pembuat

Asato ma sad gamaya, tamaso ma jyotir gamaya, mrutyor ma amritam gamaya

-Original Message-
From: Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
Sender: id-android@googlegroups.com
Date: Wed, 5 Sep 2012 17:11:57 
To: id-android@googlegroups.com
Reply-To: id-android@googlegroups.com
Subject: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba
 dan Sanyo...

Dari sebuah millist

agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?

--


Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.

What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
petik sebagai pelajaran.

Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
mengangungkan harmoni dan konsensus.

Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
hanya bisa melongo.

Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
budaya sungkan pada atasan.

Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
diatas 50 tahun.

Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan
yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga
manajer-manajer senior dan tua

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Wimbo Satwiko
Nice share, om. Sol
On Sep 5, 2012 5:12 PM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
wrote:

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

 Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
 dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
 negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
 diatas 50 tahun.

 Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
 masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

 Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
 bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan
 yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga
 manajer-manajer senior dan tua itu.

 Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas
 inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

 Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa
 raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal
 pada tiga elemen di atas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada
 dalam bayang-bayang kematian.



 http://strategimanajemen.net/2012/09/03/the-death-of-samurai-robohnya-sony-panasonic-sharp-dan-sanyo/


 Sent from my Blewah Berry®

 

  MILIS LINTAS ANGKATAN DI SMA NEGERI 8 

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Aris Rubiyanto
Beneran nih oum ?
emang sih LG dan samsung lagi booming,
harga ok, kualitas menawan

coba ketuk daleman kulkas sharp dengan harga lebih mahal,
dan coba ketuk daleman kulkas LG
pasti berasa bedanya
sama halnya dengan elektronik lainnya juga


2012/9/5 Andi - leo5354 leo5...@se-ven.net

 **
 Kalau dibilang mirip Budaya Indonesia kurang pas juga
 Penyebab bangsa ini ngga bisa maju maksimal yg paling utama adalah budaya
 Instant dalam artian, lbh mementingkan hasil dalam jangka pendek ketimbang
 menunggu proses dan hasilnya dalam jangka menengah atau panjang
 Bisa kita lihat bahwa industri kita sampai saat ini mayoritas didominasi
 oleh perusahaan penjahit bukan pembuat
 Asato ma sad gamaya, tamaso ma jyotir gamaya, mrutyor ma amritam gamaya
 --
 *From: * Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 *Sender: * id-android@googlegroups.com
 *Date: *Wed, 5 Sep 2012 17:11:57 +0700
 *To: *id-android@googlegroups.com
 *ReplyTo: * id-android@googlegroups.com
 *Subject: *[id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp,
 Toshiba dan Sanyo...

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

 Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
 dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
 negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
 diatas 50

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Amer
IMVHO, kalah harga otomatis hukum ekonomi berlaku.
Sol

--
√ HTC Evo 3D
√ Android ICS 4.0.3
√ Sense 3.6 Cool ICS ROM v12
√ 4EXT Recovery Touch v1.0.0.5 RC5
On Sep 5, 2012 5:12 PM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
wrote:

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

 Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
 dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
 negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
 diatas 50 tahun.

 Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
 masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

 Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
 bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan
 yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga
 manajer-manajer senior dan tua itu.

 Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas
 inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

 Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa
 raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal
 pada tiga elemen di atas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada
 dalam bayang-bayang kematian.



 

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Yosa Natawidjaja
Nice share om Arianto

Cuma saya sih ga setuju sama isi artikel tsb. Cuma saya ga bisa mengungkapkan 
yg bener gimana sih.
Cuma ke 3 hal tsb menurut saya positifnya banyak
Masih inget jaman ada tsunami dimana org Jepang ngantri walau semua sama2 
susah. Di amerika aja ga bisa begitu. Di korsel saya yakin ga akan setertib itu.
salam,
Yosa

-Original Message-
From: Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
Sender: id-android@googlegroups.com
Date: Wed, 5 Sep 2012 17:11:57 
To: id-android@googlegroups.com
Reply-To: id-android@googlegroups.com
Subject: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba
 dan Sanyo...

Dari sebuah millist

agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?

--


Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.

What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
petik sebagai pelajaran.

Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
mengangungkan harmoni dan konsensus.

Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
hanya bisa melongo.

Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
budaya sungkan pada atasan.

Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
diatas 50 tahun.

Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan
yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga
manajer-manajer senior dan tua itu.

Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas
inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Gino S
Artikel yang menarik, tapi saya ngeliatnya jadi nggak apple to apple #eh ..

Karena 4 perusahaan jepang yang disebut di artikel (Selain SONY)  lebih
fokus kepada produk Home appliance,mungkin ada produk gadgetnya tapi
mungkin lebih diutamakan untuk pasar dalam negeri sehingga tidak banyak
dikenal ,  beda dengan LG dan Samsung (terutama Samsung) merekapun ada
produk Home appliance-nya tapi lebih fokus kepada produk gadgetnya,
sehingga setelah membaca artikel dari link yang disertakan timbul
pertanyaan - pertanyaan :

1. apakah dalam bidang home appliancenya perusahaan -perusahaan jepang ini
kalah juga dengan produk-produk Korea?

2.  bagaimana dengan industri otomotifnya? apakah jepang dengan
Toyota/Honda juga kalah dengan Korea dengan KIA/Hyundai - nya?

Untuk menjawab pertanyaan 1  2 butuh data - data pembanding untuk
menjawabnya, tapi untuk sementara ini mungkin bisa  lebih dikatakan terjadi
penurunan/terhambatnya perusahaan - perusahaan jepang dibandingkan
perusahaan Korea Dan China, dikarenakan membanjirnya produk dari Korea Dan
China, yang dampaknya menggerus keuntungan dari perusahaan-perusahaan
Jepang ini.

Agak OOT dikit banyak yang bilang Nokia akan tutup karena serbuan
smartphone (Android, Black Berry, IOS dan smartphone lainnya), tapi sampai
hari ini dapat kita lihat  Nokia masih bisa survive

Apakah mirip dengan budaya (perusahaan) di Indonesia ?, bisa dibilang
sangat mirip, dengan proses persetujuan sebuah inovasi yang harus
ditentukan Oleh Atasan (kalau bukan kantor cabang), sedangkan kalau itu
terjadi di cabang, maka harus dikirim ke principal/kantor pusat yang
membutuhkan waktu yang agak lama dalam persetujuaanya (itupun sukur-sukur
di setujui ) :P

Nah sekarang yang menarik adalah apa yang akan kita lakukan (baca
Indonesia) jika melihat fenomena/peluang ini ?

#Cuma pendapat nubi aja

Pada 5 September 2012 17:49, Aris Rubiyanto aris.fotogr...@gmail.commenulis:

 Beneran nih oum ?
 emang sih LG dan samsung lagi booming,
 harga ok, kualitas menawan

 coba ketuk daleman kulkas sharp dengan harga lebih mahal,
 dan coba ketuk daleman kulkas LG
 pasti berasa bedanya
 sama halnya dengan elektronik lainnya juga


 2012/9/5 Andi - leo5354 leo5...@se-ven.net

 **
 Kalau dibilang mirip Budaya Indonesia kurang pas juga
 Penyebab bangsa ini ngga bisa maju maksimal yg paling utama adalah budaya
 Instant dalam artian, lbh mementingkan hasil dalam jangka pendek ketimbang
 menunggu proses dan hasilnya dalam jangka menengah atau panjang
 Bisa kita lihat bahwa industri kita sampai saat ini mayoritas didominasi
 oleh perusahaan penjahit bukan pembuat
 Asato ma sad gamaya, tamaso ma jyotir gamaya, mrutyor ma amritam gamaya
 --
 *From: * Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 *Sender: * id-android@googlegroups.com
 *Date: *Wed, 5 Sep 2012 17:11:57 +0700
 *To: *id-android@googlegroups.com
 *ReplyTo: * id-android@googlegroups.com
 *Subject: *[id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp,
 Toshiba dan Sanyo...

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik yudhistya ksyatria

Tepatnya perusahaan negara indonesia
Sol

Sent from my BlackBerry®

-Original Message-
From: Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
Sender: id-android@googlegroups.com
Date: Wed, 5 Sep 2012 17:11:57 
To: id-android@googlegroups.com
Reply-To: id-android@googlegroups.com
Subject: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba
 dan Sanyo...

Dari sebuah millist

agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?

--


Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.

What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
petik sebagai pelajaran.

Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
mengangungkan harmoni dan konsensus.

Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
hanya bisa melongo.

Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
budaya sungkan pada atasan.

Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
diatas 50 tahun.

Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan
yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga
manajer-manajer senior dan tua itu.

Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas
inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa
raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal
pada tiga elemen di atas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada
dalam bayang-bayang kematian.


http

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Andremagis
Tenkiu sharing nya Om .. 
Menjadi pelajaran berharga .. 

Ä̤n̤̈d̤̈r̤̈ë̤m̤̈ä̤g̤̈ï̤s̤̈ 
22:52:37 



Sent from bb not White Gnote

-Original Message-
From: Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
Sender: id-android@googlegroups.com
Date: Wed, 5 Sep 2012 17:11:57 
To: id-android@googlegroups.com
Reply-To: id-android@googlegroups.com
Subject: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba
 dan Sanyo...

Dari sebuah millist

agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?

--


Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.

What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
petik sebagai pelajaran.

Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
mengangungkan harmoni dan konsensus.

Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
hanya bisa melongo.

Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
budaya sungkan pada atasan.

Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
diatas 50 tahun.

Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan
yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga
manajer-manajer senior dan tua itu.

Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas
inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa
raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal
pada tiga elemen di atas, masa depan Japan Co mungkin

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Novie Wowiling
tidak hanya harga bro ,lebih kearah paradigma berpikir dan pengaruh budaya ..


On 5 Sep 2012, at 21:48, Amer wrote:

 IMVHO, kalah harga otomatis hukum ekonomi berlaku. 
 Sol
 
 --
 √ HTC Evo 3D 
 √ Android ICS 4.0.3 
 √ Sense 3.6 Cool ICS ROM v12
 √ 4EXT Recovery Touch v1.0.0.5 RC5
 
 On Sep 5, 2012 5:12 PM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com wrote:
 Dari sebuah millist
 
 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?
 
 --
 
 
 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.
 
 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).
 
 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.
 
 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.
 
 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.
 
 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.
 
 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.
 
 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).
 
 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.
 
 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.
 
 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.
 
 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.
 
 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.
 
 Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
 dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
 negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
 diatas 50 tahun.
 
 Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
 masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.
 
 Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
 bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan
 yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga
 manajer-manajer senior dan tua itu.
 
 Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas
 inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.
 
 Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa
 raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal
 pada tiga elemen di atas, masa depan 

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Lana's
Tapi produsen otomotif Mesin dan Motor nya masih berjaya kayakna bro (Honda
Mitshubisi Toyota )

Regards,
Lana's
sent with G-Note
On Sep 5, 2012 5:12 PM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
wrote:

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

 Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
 dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
 negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
 diatas 50 tahun.

 Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
 masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

 Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
 bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan
 yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga
 manajer-manajer senior dan tua itu.

 Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas
 inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

 Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa
 raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal
 pada tiga elemen di atas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada
 dalam bayang-bayang kematian.



 http://strategimanajemen.net/2012/09/03/the-death-of-samurai-robohnya-sony-panasonic-sharp-dan-sanyo/


 

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Alvin Kurniawan
Kayanya bukan mirip indonesia, cuma diatas langit masih ada langit dan
dunia selalu berputar. Yang tadinya dibawah, inovasi terus gimana caranya
supaya bisa sampai atas. Yang diatas kadang terlena dan perkembangan kurang
cepat sehingga terdempet oleh competitor yang moving foward

Nice share. Lumayan jadi bahan pemikiran malam gini

Alvin Kurniawan
@S3
On Sep 5, 2012 5:38 PM, Andi - leo5354 leo5...@se-ven.net wrote:

 **
 Kalau dibilang mirip Budaya Indonesia kurang pas juga
 Penyebab bangsa ini ngga bisa maju maksimal yg paling utama adalah budaya
 Instant dalam artian, lbh mementingkan hasil dalam jangka pendek ketimbang
 menunggu proses dan hasilnya dalam jangka menengah atau panjang
 Bisa kita lihat bahwa industri kita sampai saat ini mayoritas didominasi
 oleh perusahaan penjahit bukan pembuat
 Asato ma sad gamaya, tamaso ma jyotir gamaya, mrutyor ma amritam gamaya
 --
 *From: * Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 *Sender: * id-android@googlegroups.com
 *Date: *Wed, 5 Sep 2012 17:11:57 +0700
 *To: *id-android@googlegroups.com
 *ReplyTo: * id-android@googlegroups.com
 *Subject: *[id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp,
 Toshiba dan Sanyo...

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

 Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
 dengan faktor kedua

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik rudi android
kLo mobil atau inddustri otomotif pergerakan model dan perkembangan nya gag
setiap hari ganti model kan om? jadi menurut saya jepang masih tetap
teratas dalam industri otomotif.kalo elektronik kita lihat di konsumen nya
aja om.berapa rumah di sekitaran om yang memakai produk sony? dan berapa
rumah yang memakai produk samsung atau LG.saya pribadi sekarang hampir
seisi rumah di isi oleh kedua product terakhir tersebut.itu sudah
menunjukkan pergeseran bahwa produk no 1 untuk elektronik di indonesia
adalah samsug dan LG

*pendapat newbie
On Sep 6, 2012 12:14 AM, Lana's masslid...@gmail.com wrote:

 Tapi produsen otomotif Mesin dan Motor nya masih berjaya kayakna bro
 (Honda Mitshubisi Toyota )

 Regards,
 Lana's
 sent with G-Note
 On Sep 5, 2012 5:12 PM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 wrote:

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

 Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
 dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
 negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
 diatas 50 tahun.

 Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
 masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

 Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
 bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang 

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Risha Raditya
apakah ini menandakan bahwa konsepnya om Darwin memang benar ?

yang mampu beradaptasi bukan yang terkuat (krn menang merek selama
bertahun2, etc : sony or nokia) yang menjadi pemenang

tapi bagaimanapun sebesar2 nya Samsung sekarang, apakah Samsung sudah bisa
bikin game device sekelas Sony Playstation atau XBox ?
atau apakah Samsung sudah bisa bikin OS sendiri yg laris (etc :Android) ?+-

regards,

Raditya

2012/9/5 Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

 Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
 dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
 negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
 diatas 50 tahun.

 Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
 masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

 Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
 bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan
 yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga
 manajer-manajer senior dan tua itu.

 Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas
 inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

 Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa
 raksasa-raksasa elektronika 

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik hendra firmansyah
Thank articlenya..

Jadi banyak pelajaran..

Komitmen harus seperti jepang. Inovasi harus kayak eropa. Produktifitas
harus kayak cina.

Dan pasarnya asia tenggara. Termasuk indonesia. Great.

salam

hendra f



email:sarekatdag...@gmail.com

hp/WhatApp: +62 85624 678964
On Sep 5, 2012 5:12 PM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
wrote:

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

 Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
 dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
 negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
 diatas 50 tahun.

 Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
 masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

 Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
 bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan
 yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga
 manajer-manajer senior dan tua itu.

 Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas
 inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

 Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa
 raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal
 pada tiga elemen di atas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada
 

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Joko Pratomo
Nice artikel om,
Pengen tau aja apakah Samsung + LG akan mengalami masa suram juga ntar yah,
disalip produk yg lebih inovatif dan murah. Dunia kan terus berputar...

Best Regards,
Joko Pratomo
On Sep 5, 2012 5:12 PM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
wrote:

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

 Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
 dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
 negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
 diatas 50 tahun.

 Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
 masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

 Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
 bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan
 yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga
 manajer-manajer senior dan tua itu.

 Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas
 inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

 Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa
 raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal
 pada tiga elemen di atas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada
 dalam bayang-bayang kematian.



 

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Laurentius Michael
Kayaknya jaman sekarang gak usah berdiri sendiri gpp deh.
Saling kerja sama aja. Google+samsung toh udah laris manis.

-Original Message-
From: Risha Raditya risha.radi...@gmail.com
Sender: id-android@googlegroups.com
Date: Thu, 6 Sep 2012 09:42:14 
To: id-android@googlegroups.com
Reply-To: id-android@googlegroups.com
Subject: Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp,
 Toshiba dan Sanyo...

apakah ini menandakan bahwa konsepnya om Darwin memang benar ?

yang mampu beradaptasi bukan yang terkuat (krn menang merek selama
bertahun2, etc : sony or nokia) yang menjadi pemenang

tapi bagaimanapun sebesar2 nya Samsung sekarang, apakah Samsung sudah bisa
bikin game device sekelas Sony Playstation atau XBox ?
atau apakah Samsung sudah bisa bikin OS sendiri yg laris (etc :Android) ?+-

regards,

Raditya

2012/9/5 Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

 Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
 dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
 negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
 diatas 50 tahun.

 Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
 masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

 Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua

Re: [id-android] WTShare : Fwd: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo...

2012-09-05 Terurut Topik Mas Dian
kalo gadget bener..tapi untuk industri lain,spt otomotif jepang masih
rajanya.. Toyota misalnya ..sekarang perusahaan dunia belajar The Toyota
Way nya..

jadi jangan menggeneralisir industri jepang hanya dari satu aspek..namanya
sesat pikir (falacy) itu :)




On Sep 5, 2012 5:12 PM, Arianto C Nugroho arianto.nugr...@gmail.com
 wrote:

 Dari sebuah millist

 agak-agak mirip budaya Indonesia gak sih ?


 --


 Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada
 kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang
 disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam,
 pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

 Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
 trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo
 bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana
 menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK
 ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya
 mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

 Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa
 kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa
 Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

 Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang
 Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah
 meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk
 elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah
 juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital
 gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan
 tolol.

 What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi
 seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita
 petik sebagai pelajaran.

 Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini,
 kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product
 development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini,
 perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang
 mengangungkan harmoni dan konsensus.

 Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja
 yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat
 berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa
 yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG
 sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu
 hanya bisa melongo.

 Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang
 lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

 Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal
 nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan
 tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

 Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen.
 Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini
 tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
 budaya sungkan pada atasan.

 Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya
 senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak
 akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah
 Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

 Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut
 kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di
 perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus
 bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

 Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam
 budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
 layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

 Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya
 dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah
 negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia
 diatas 50 tahun.

 Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang
 masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

 Di sini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun
 bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan
 yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga
 manajer-manajer senior dan tua itu.

 Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas
 inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

 Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa
 raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal
 pada tiga elemen di atas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada
 dalam