RE: [Ar-Royyan-2578] FW: Do We Care With It ?

2005-10-13 Terurut Topik IND, Kurniawan, Yahya



Yaa... kita tahu pemerintah kita mungkin kurang 
memperhatikan jutaan keluarga yang senasib dengan keluarga tersebut. Namun 
yang jadi pertanyaan saya adalah tega-teganya orang yang mengambil jasanya 
sebagai tukang cuci hanya memberikan upah 30.000 perbulan dan tidak tidak ngasih 
makan. Ini mungkin juga pelajaran atau sindiran buat kita, apakah pembantu 
kita juga sudah layak hidup dan mendapat perhatian yang layak dari kita. 
Sebuah keharusan bahwa kita harus memperlakukan pembantu kita seperti keluarga 
kita dengan tidak membedakan makanan yang kita makan dan memberikan upah yang 
layak karena sesungguhnya kita dan pembantu kita adalah sebuah bentuk kerja sama 
yang saling membutuhkan dan menguntungkan.

  -Original Message-From: agus rasidi 
  [mailto:[EMAIL PROTECTED]Sent: 13 October 2005 
  09:54To: jamaah@arroyyan.comSubject: Re: 
  [Ar-Royyan-2578] FW: Do We Care With It ?
  harusnya mereka-mereka inilah yang mendapat THR 
  100 JUTA dari acara Gebreg Sahur bagi-bagi THR.
  innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
  
- Original Message - 
From: 
Januardo Henry Salvetti 
To: jamaah@arroyyan.com 
Sent: Thursday, October 13, 2005 8:53 
AM
Subject: [Ar-Royyan-2578] FW: Do We 
Care With It ?




-Original 
Message-From: Noly 
Sukendar Sent: Thursday, 
October 13, 2005 8:43 AMSubject: Do We Care With It 
?



Makan 
Dua Hari Sekali
Tangerang, Warta 
Kota 


  
  

  

  


  


  

  
  
  
Keluarga Idup 
(44), warga Kampung Sewan Bedeng RT 01/02, Kelurahan Mekarsari, 
Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, terpaksa harus makan dua hari sekali. 
Untuk mengirit minyak tanah, keluarga itu minum air 
mentah.
Kesengsaraan 
keluarga dengan empat anak itu semakin terasa setelah harga BBM naik. 
Penghasilan Idup sebagai kuli angkut pasir kian terpuruk, begitu pula 
istrinya Selih (32) yang bekerja sebagai buruh cuci.Sebelum harga BBM naik, 
keluarga itu masih bisa makan sehari sekali dan Idup masih bisa ngopi dua 
kali. "Sekarang sudah tak bisa lagi. Dengan uang Rp 3.000 sudah tidak 
bisa membeli apa-apa lagi," ujar Idup meratapi nasibnya. Ia pun menuding 
pemerintah buta dan tuli. Menurutnya, para penggede tak peduli terhadap 
kehidupan orang-orang seperti dirinya yang jumlahnya 
jutaan.
Idup dan 
keluarganya tinggal di Kampung Sewan Bedeng RT 01/02, kampung kumuh di 
bantaran Kali Cisadane, tak jauh dari pintu irigasi Pintu Air X. Kampung itu 
dipadati rumah gubuk yang ditempati para kuli angkut pasir dan buruh 
cuci. Seperti kebanyakan rumah gubuk di kampung itu, rumah Idup juga 
tak berjendela. Udara segar hanya bisa masuk dari sela-sela anyaman dinding 
gedek. Gubuk berukuran 3 m x 3 m yang disewa Rp 50.000 per bulan itu 
pun hanya punya satu ruangan yang difungsikan sebagai ruang tamu, kamar 
tidur, dan dapur sekaligus.
Pasangan Idup dan 
Selih memiliki empat orang anak. Anak pertama dan kedua, Gustiawan (15) dan 
Yuliana (13), terpaksa berhenti sekolah di kelas IV SD. Keduanya kini 
dititipkan kepada neneknya, lantaran Idup dan Selih tak sanggup memberi 
makan. Hanya dua anak yang tinggal bersama mereka, yakni anak ketiga 
Julendra (11) yang duduk di kelas V SD dan anak keempat Faisal 
(3).
"Julendra juga 
terancam berhenti sekolah, karena sejak bulan Juni sampai Oktober dia belum 
bayar SPP. Bagaimana kami bisa bayar uang sekolah yang sebulan Rp 5.000, 
kalau makan aja susahnya bukan main," kata Selih.
Ketika 
Warta Kota menyambangi rumah kecil berdinding gedek dan 
beratap anyaman daun kelapa itu, kemarin, Idup bertelanjang dada duduk 
murung menatap anak laki-lakinya Faisal asyik melahap nasi putih tanpa lauk. 
Sesekali tangan Idup menuangkan air putih ke piring plastik bocah itu agar 
nasinya tidak menggumpal.
Di belakang kedua 
orang itu, Selih duduk bersandar lemari kayu usang sambil mengurut kedua 
kakinya. Mata perempuan itu terus menatap ayunan tangan si bocah menyuapkan 
nasi ke mulutnya.
Belum habis nasi 
di piring Faisal, tiba-tiba kakaknya Julendra menyeruak masuk. Tanpa bicara 
apa-apa, si kakak merebut piring plastik di depan adiknya. Piring itu 
dibawanya menjauh ke sudut ruangan. Setelah sejenak melirik ke kanan dan ke 
kiri, tanpa ragu Julendra menyuap nasi yang tinggal setengah itu ke 
mulutnya.
Melihat piringnya 
direbut, Faisal tak bereaksi apa-apa. Dia bangkit dan menjangkau gelas di 
belakangnya. Ia lalu mengisi gelas dengan air yang diambil dari dalam ember 
plastik warna hitam. Usai menenggak habis isi gelas, bocah itu berbaring di 
atas kasur tipis yang dibentan

[Ar-Royyan-2578] FW: Do We Care With It ?

2005-10-12 Terurut Topik Januardo Henry Salvetti













-Original Message-
From: Noly Sukendar 
Sent: Thursday, October 13, 2005
8:43 AM
Subject: Do We Care With It ?







Makan Dua Hari Sekali

Tangerang, Warta Kota 


 
  
  
  
  
  
   



   
   



   
  

  
  
 


Keluarga Idup (44), warga Kampung Sewan
Bedeng RT 01/02, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Kota
Tangerang, terpaksa harus makan dua hari sekali. Untuk mengirit minyak tanah,
keluarga itu minum air mentah.

Kesengsaraan keluarga dengan empat anak itu
semakin terasa setelah harga BBM naik. Penghasilan Idup sebagai kuli
angkut pasir kian terpuruk, begitu pula istrinya Selih (32) yang bekerja
sebagai buruh cuci.Sebelum harga BBM naik, keluarga itu masih bisa makan sehari
sekali dan Idup masih bisa ngopi dua kali. Sekarang sudah tak bisa lagi.
Dengan uang Rp 3.000 sudah tidak bisa membeli apa-apa lagi, ujar
Idup meratapi nasibnya. Ia pun menuding pemerintah buta dan tuli. Menurutnya,
para penggede tak peduli terhadap kehidupan orang-orang seperti dirinya yang
jumlahnya jutaan.

Idup dan keluarganya tinggal di Kampung Sewan
Bedeng RT 01/02, kampung kumuh di bantaran Kali Cisadane, tak jauh dari pintu
irigasi Pintu Air X. Kampung itu dipadati rumah gubuk yang ditempati para kuli
angkut pasir dan buruh cuci. Seperti kebanyakan rumah gubuk di kampung
itu, rumah Idup juga tak berjendela. Udara segar hanya bisa masuk dari
sela-sela anyaman dinding gedek. Gubuk berukuran 3 m x 3 m yang disewa Rp
50.000 per bulan itu pun hanya punya satu ruangan yang difungsikan sebagai
ruang tamu, kamar tidur, dan dapur sekaligus.

Pasangan Idup dan Selih memiliki empat orang
anak. Anak pertama dan kedua, Gustiawan (15) dan Yuliana (13), terpaksa
berhenti sekolah di kelas IV SD. Keduanya kini dititipkan kepada neneknya,
lantaran Idup dan Selih tak sanggup memberi makan. Hanya dua anak yang tinggal
bersama mereka, yakni anak ketiga Julendra (11) yang duduk di kelas V SD dan
anak keempat Faisal (3).

Julendra juga terancam berhenti sekolah,
karena sejak bulan Juni sampai Oktober dia belum bayar SPP. Bagaimana kami bisa
bayar uang sekolah yang sebulan Rp 5.000, kalau makan aja susahnya bukan
main, kata Selih.

Ketika Warta Kota menyambangi
rumah kecil berdinding gedek dan beratap anyaman daun kelapa itu, kemarin, Idup
bertelanjang dada duduk murung menatap anak laki-lakinya Faisal asyik melahap
nasi putih tanpa lauk. Sesekali tangan Idup menuangkan air putih ke piring
plastik bocah itu agar nasinya tidak menggumpal.

Di belakang kedua orang itu, Selih duduk
bersandar lemari kayu usang sambil mengurut kedua kakinya. Mata perempuan itu
terus menatap ayunan tangan si bocah menyuapkan nasi ke mulutnya.

Belum habis nasi di piring Faisal, tiba-tiba
kakaknya Julendra menyeruak masuk. Tanpa bicara apa-apa, si kakak merebut
piring plastik di depan adiknya. Piring itu dibawanya menjauh ke sudut ruangan.
Setelah sejenak melirik ke kanan dan ke kiri, tanpa ragu Julendra menyuap nasi
yang tinggal setengah itu ke mulutnya.

Melihat piringnya direbut, Faisal tak bereaksi
apa-apa. Dia bangkit dan menjangkau gelas di belakangnya. Ia lalu mengisi gelas
dengan air yang diambil dari dalam ember plastik warna hitam. Usai menenggak
habis isi gelas, bocah itu berbaring di atas kasur tipis yang dibentangkan di
lantai semen. Bau tak sedap merebak dari setumpuk kain gombal yang dijadikan
alas kepala si bocah. 

Iya begini deh. Saya dan bapaknya
anak-anak mengalah nggak makan hari ini. Habis nasinya nggak cukup buat
berempat. Biar aja anak-anak duluan yang makan. Kalau saya dan bapaknya masih
kuat nggak makan sampai besok, ujar Selih disusul anggukan lemas suaminya
Idup.

Kompor nganggur

Sebagai buruh cuci, Selih mengaku tak bisa
berbuat banyak. Penghasilannya yang cuma Rp 30.000 setiap bulan, tak pernah
cukup untuk sekadar hidup layak. Sementara penghasilan Idup yang jadi kuli
angkut pasir pun tak jelas. Sekali menurunkan pasir, ia dibayar Rp 3.000. Jika
banyak orderan, Idup paling banter bawa pulang uang Rp 9.000. Tapi Idup
lebih banyak menganggur.

Sebelum BBM naik, kami sekeluarga hanya
makan sehari sekali dengan nasi putih dan kerupuk. Sesekali pakai tempe juga.
Bapaknya anak-anak juga masih bisa ngopi paling nggak dua kali sehari. Tapi
sekarang, saya dan bapaknya anak- anak kadang baru makan dua hari sekali.
Ngopi juga kalau ada orang yang ngasih. Kalau anak-anak sih kami
belain makan sekali sehari. Nasi putih aja. Lauknya seketemunya. Biar nggak
kering, nasinya dicampur air, ujar Selih.

Idup lalu meneruskan cerita kelam hidup
keluarganya. Sambil menunjuk kompor minyak tanah usang yang tergolek di sudut
ruangan, ia berkata, Kompor itu udah lama nggak nyala. Saya nggak kuat
beli minyak tanah karena harganya naik terus. Sekarang aja satu liter Rp 2.
900. Sama harganya dengan upah saya sekali nurunin pasir.

Kalau pun ada uang, lanjut Selih, ia dan
suaminya hanya mampu membeli setengah liter minyak tanah yang digunakan untuk
menanak nasi. Saya cuma berani menggunakan minyak tanah untuk 

Re: [Ar-Royyan-2578] FW: Do We Care With It ?

2005-10-12 Terurut Topik agus rasidi



harusnya mereka-mereka inilah yang mendapat THR 100 
JUTA dari acara Gebreg Sahur bagi-bagi THR.
innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

  - Original Message - 
  From: 
  Januardo Henry Salvetti 
  To: jamaah@arroyyan.com 
  Sent: Thursday, October 13, 2005 8:53 
  AM
  Subject: [Ar-Royyan-2578] FW: Do We Care 
  With It ?
  
  
  
  
  -Original 
  Message-From: Noly 
  Sukendar Sent: Thursday, 
  October 13, 2005 8:43 AMSubject: Do We Care With It 
  ?
  
  
  
  Makan 
  Dua Hari Sekali
  Tangerang, Warta 
  Kota 
  


  

  

  
  

  
  

  



  Keluarga Idup (44), 
  warga Kampung Sewan Bedeng RT 01/02, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan 
  Neglasari, Kota Tangerang, terpaksa harus makan dua hari sekali. Untuk 
  mengirit minyak tanah, keluarga itu minum air mentah.
  Kesengsaraan 
  keluarga dengan empat anak itu semakin terasa setelah harga BBM naik. 
  Penghasilan Idup sebagai kuli angkut pasir kian terpuruk, begitu pula istrinya 
  Selih (32) yang bekerja sebagai buruh cuci.Sebelum harga BBM naik, keluarga 
  itu masih bisa makan sehari sekali dan Idup masih bisa ngopi dua kali. 
  "Sekarang sudah tak bisa lagi. Dengan uang Rp 3.000 sudah tidak bisa 
  membeli apa-apa lagi," ujar Idup meratapi nasibnya. Ia pun menuding pemerintah 
  buta dan tuli. Menurutnya, para penggede tak peduli terhadap kehidupan 
  orang-orang seperti dirinya yang jumlahnya jutaan.
  Idup dan keluarganya 
  tinggal di Kampung Sewan Bedeng RT 01/02, kampung kumuh di bantaran Kali 
  Cisadane, tak jauh dari pintu irigasi Pintu Air X. Kampung itu dipadati rumah 
  gubuk yang ditempati para kuli angkut pasir dan buruh cuci. Seperti 
  kebanyakan rumah gubuk di kampung itu, rumah Idup juga tak berjendela. Udara 
  segar hanya bisa masuk dari sela-sela anyaman dinding gedek. Gubuk 
  berukuran 3 m x 3 m yang disewa Rp 50.000 per bulan itu pun hanya punya satu 
  ruangan yang difungsikan sebagai ruang tamu, kamar tidur, dan dapur 
  sekaligus.
  Pasangan Idup dan 
  Selih memiliki empat orang anak. Anak pertama dan kedua, Gustiawan (15) dan 
  Yuliana (13), terpaksa berhenti sekolah di kelas IV SD. Keduanya kini 
  dititipkan kepada neneknya, lantaran Idup dan Selih tak sanggup memberi makan. 
  Hanya dua anak yang tinggal bersama mereka, yakni anak ketiga Julendra (11) 
  yang duduk di kelas V SD dan anak keempat Faisal (3).
  "Julendra juga 
  terancam berhenti sekolah, karena sejak bulan Juni sampai Oktober dia belum 
  bayar SPP. Bagaimana kami bisa bayar uang sekolah yang sebulan Rp 5.000, kalau 
  makan aja susahnya bukan main," kata Selih.
  Ketika Warta 
  Kota menyambangi rumah kecil berdinding gedek dan beratap anyaman 
  daun kelapa itu, kemarin, Idup bertelanjang dada duduk murung menatap anak 
  laki-lakinya Faisal asyik melahap nasi putih tanpa lauk. Sesekali tangan Idup 
  menuangkan air putih ke piring plastik bocah itu agar nasinya tidak 
  menggumpal.
  Di belakang kedua 
  orang itu, Selih duduk bersandar lemari kayu usang sambil mengurut kedua 
  kakinya. Mata perempuan itu terus menatap ayunan tangan si bocah menyuapkan 
  nasi ke mulutnya.
  Belum habis nasi di 
  piring Faisal, tiba-tiba kakaknya Julendra menyeruak masuk. Tanpa bicara 
  apa-apa, si kakak merebut piring plastik di depan adiknya. Piring itu 
  dibawanya menjauh ke sudut ruangan. Setelah sejenak melirik ke kanan dan ke 
  kiri, tanpa ragu Julendra menyuap nasi yang tinggal setengah itu ke 
  mulutnya.
  Melihat piringnya 
  direbut, Faisal tak bereaksi apa-apa. Dia bangkit dan menjangkau gelas di 
  belakangnya. Ia lalu mengisi gelas dengan air yang diambil dari dalam ember 
  plastik warna hitam. Usai menenggak habis isi gelas, bocah itu berbaring di 
  atas kasur tipis yang dibentangkan di lantai semen. Bau tak sedap merebak dari 
  setumpuk kain gombal yang dijadikan alas kepala si bocah. 
  "Iya begini deh. 
  Saya dan bapaknya anak-anak mengalah nggak makan hari ini. Habis nasinya 
  nggak cukup buat berempat. Biar aja anak-anak duluan yang makan. Kalau saya 
  dan bapaknya masih kuat nggak makan sampai besok," ujar Selih disusul anggukan 
  lemas suaminya Idup.
  Kompor 
  nganggur
  Sebagai buruh cuci, 
  Selih mengaku tak bisa berbuat banyak. Penghasilannya yang cuma Rp 30.000 
  setiap bulan, tak pernah cukup untuk sekadar hidup layak. Sementara 
  penghasilan Idup yang jadi kuli angkut pasir pun tak jelas. Sekali menurunkan 
  pasir, ia dibayar Rp 3.000. Jika banyak orderan, Idup paling banter bawa 
  pulang uang Rp 9.000. Tapi Idup lebih banyak menganggur.
  "Sebelum BBM naik, 
  kami sekeluarga hanya makan sehari sekali dengan nasi putih dan kerupuk. 
  Sesekali pakai tempe juga. Bapaknya anak-anak juga masih bisa ngopi paling 
  nggak dua kali sehari. Tapi sekarang, saya dan bapaknya anak- anak kadang baru 
  makan dua hari sekali. Ngopi juga kalau ada or