Re: Kerjasama Permias-KBRI/KJRI (Moko)

1999-11-10 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 10:48 AM 11/8/1999, Mahendra Siregar wrote:

|Terima kasih atas tanggapannya. Sungguh suatu cara pandang yang menarik
|yang dapat kita kaji dan diskusikan bersama.

Thanks to you too -- it is always enlightening to have an intelligent
discourse, on any subject. But I must first 'highlight' the last sentence
in your reply:

|Mungkin anda melihat pemilihan kata "strike back" itu terlalu
|keras, dan lebih tepat "long-term partnership in promoting Indonesian
|democracy?.

Sudah barang tentu, pemilihan kata sangat menentukan makna. Dan makna
masing-maing ekspresi diatas sangat berbeda. Yang pertama ("strike back")
lebih menyiratkan adanya permusuhan, perlawanan, atau pembalasan kepada
pihak *luar* (yang belum tentu lebih buruk dalam praktek demokrasinya),
sedangkan yang kedua ("promoting democracy") bukan saja menunjukkan pada
pihak luar tentang upaya demokratisasi di Indonesia, tetapi --yang lebih
penting lagi-- adalah ajakan *kedalam*, lepada kita sendiri yang paling
berkepentingan, untuk menggalakkan praktek kehidupan bernegara yang lebih
demokratis. Ajakan yang kedua ini jelas lebih mudah saya diterima, karena
lebih selaras dengan keyakinan dan nurani saya.


|Sebagai background information,
|mungkin ada baiknya anda sampaikan kira-kira kapan acara brownbag seminar
|itu, sebelum atau setelah SU-MPR. Apa topik dan siapa pembicaranya.

Sebetulnya tidak ada yang istimewa dari acara tersebut, ini bukan seminar
politis, bahkan bukan pula khusus tentang Indonesia, tetapi lebih
merupakan cross-culture event. Sungguh berat "mempertahankan" nilai-nilai
Indonesiawi kalau sudah bersentuhan dan memperbandingkan diri dengan
berbagai kultur dalam tatanan global seperti itu.


|Kenapa perkembangan itu tidak langsung "diterima" oleh rakyat AS secara
|menyeluruh. Argumentasi saya sederhana saja. Bad news travels much faster
|than good news. Itu adalah suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri dalam
|dunia media massa dan public opinion. Berita yang mengandung tragedi
|kemanusiaan jauh lebih menarik daripada berita baik. Disamping itu, publik
|AS terkenal sangat ignorant terhadap hal-hal yang terjadi di belahan dunia
|lain (salah satu adalah kecilnya reaksi publik thd penolakan Senat AS
|terhadap CTBT), kecuali kalau berita itu memang sensasional atau kalau
|mereka melihat dan mendengar dari sumbernya langsung.

Argumen yang sama juga berlaku untuk masyarakat dimana saja. Apakah
publik juga  menaruh perhatian pada apa yang terjadi dibicarakan
Congress, misalnya. Jangankan yang di Indonesia, kita-kita yang hidup di
Amerika pun bisa dibilang tidak ada yang peduli. "Penyakit ignoramus" ini
bukan monopoli khusus masyarakat Amerika saja, tetapi lebih merupakan
konsekuensi logis dari "kelokalan," "radius of effect" dari media massa
-- seperti halnya penduduk Jakarta lebih suka membaca Pos Kota dari pada
berita lokal di New York Time maupun koran lokal manapun. Harus diingat
juga, bahwa Indonesia sendiri memang bukan negara yang paling penting
dalam skala global (and who's fault is that ... if we have to find the
culprit)


|Disitulah saya melihat Permias yang memiliki anggota di seluruh penjuru AS
|memiliki posisi strategis untuk membantu pulihnya citra Indonesia. Hal itu
|tidak berarti kita harus "menipu" diri seperti diwaktu yang lalu. Alasan itu
|pula yang membuat saya pribadi juga tidak terlalu optimis dan bersemangat
|dalam mengajak Permias bekerjasama melaksanakan hal seperti ini diwaktu
|lalu. Penipuan seperti itu tidak akan efektif karena dalam era globalisasi
|seperti sekarang, tindakan menipu diri sendiri itu hanya menjadi tertawaan
|orang lain.

Saya sependapat. Setiap individu warganegara Indonesia yang tinggal di
Amerika ini punya potensi yang penting, sebab mau tidak mau setiap
tindakan dan penampilan kita mau tidak mau tetap terkait dengan
keindonesiaan yang kita sandang. Citra positip atau negatip sangat
tergantung bagaimana kita merealisasikan potensi yang sytrategis ini
dalam *tindakan*, dalam bersikap dan dalam berpikir. Kata kuncinya adalah
tindakan nyata, saya tidak melihat perlunya memberi tekanan pada
"kampanye" atau "counter propaganda" seperti diusulkan seorang netter.

Keyakinan saya sederhana saja, berpegang pada ujar-ujar lama, bahwa "good
from good' (or "light from light"). Frank Lloyd Wright, bapak arsitektur
modern Amerika, menyatakannya secara bagus dalam wawancaranya dengan Mike
Wallace (1957): "You don't have to push hard, talk loud, or in any way
get up to defend what you believe in. If it is right, and it is good, and
it is sound, it will defend you ... if you give it a chance." Singkatnya,
perbuatan baik adalah propaganda terbaik.

[ NOTE: Propaganda --in the usual sense of the word-- never works. No
rational and free thinking man believes in propaganda anymore. In fact,
propaganda has been rendered ineffective long time ago ... since the
publication of George Orwell's classic, "Animal Farm," more than half a
century ago.]

Tentu saja tidak berarti bahwa propaganda itu sendiri sudah tidak 

Re: [Re: Kerjasama Permias-KBRI/KJRI]

1999-11-08 Terurut Topik Rizal Az

Saya kurang setuju dengan pendapat sdr. Karena menurut pendapat saya "image"
itu datang dari kampanye. Jadi kalau kita hanya "memperbaiki" diri sendiri,
tanpa "kampanye" hasil percuma saja.
Ramos Horta/Tim-Tim itu menang lawan kita, memang bukang gara2 Ali Alatas,
atau yang lainnya kurang jago, tapi karena kita tidak ada "counter attack"
terhadap kampanye mereka (Ramos Horta, ETAN, dll).

Sudah waktunya kita ikutan "berkoar". Sayangnya negara kita tidak tahu
bagaimana memarketkan negara kita. Seharusnya mereka bisa menggunakan PERMIAS
dan ISO2 yang ada diseluruh dunia untuk "counter propaganda", tapi berhubung
pemerintah selalu menyepelekan PERMIAS, jadi ya enga' effective
propagandanya.

Seperti kutipan yang anda kasih dibawah. Fact bisa dipelihatkan dengan
berbagai cara, automatis mempunyai "muka" yang berbeda-beda. Sudah waktunya
kita2 yang disini memanfa'atkan itu.

ichal
Moko Darjatmoko [EMAIL PROTECTED] wrote:
At 11:25 PM 11/7/1999, Mahendra Siregar wrote:

|Diwaktu yang lalu, Indonesia sering dikecam oleh berbagai pihak di AS
|berkaitan dengan pelanggaran HAM atau Timtim. Walaupun masih banyak
|pekerjaan rumah yang harus kita lakukan berkaitan dengan hal-hal itu,
|namun "Indonesia Baru" sekarang sudah jauh berubah dan lebih baik
|daripada sebelumnya. Sudah saatnya kita "strike back" ke berbagai pihak
|di AS itu. Sudah saatnya pula Permias dan masyarakat Indonesia di AS
|"mengarahkan" mata perjuangannya ke pihak AS, disamping terus bersikap
|"correct" terhadap KBRI/KJRI. Mari kita kampanyekan di seluruh AS bahwa
|Indonesia sekarang adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia,
|yang siap membangun kembali ekonominya bebas dari KKN.

Ada sebuah "adegan" dalam satu brownbag seminar di kampus, dimana seorang
mahasiswa asal Indonesia dengan semangat menyala berusaha menepis image
buruk tentang negerinya. Dengan berapi-api dia bertanya kenapa si
pembicara tidak mengikut sertakan negerinya dalam kelompok negara yang
demokratis ... "what you expect from us [Indonesia], what Indonesia
supposed to do to be called a democratic country?" Dengan halus si
pembicara menjawab: "It is very simple ... just be like one, or at the
very least, act like one!"

Sudah terlalu lama problem 'image' ini dihadapi dengan "strike back" pada
mereka yang mengritik kita. Sudah lama pula --kalau kita mau melihat
relita-- kita seharusnya mengetahui bahwa pendekatan seperti ini tidak
akan jalan. "Kegagalan" kita dalam diplomasi, soal Timtim misalnya, bukan
karena kurang pandainya Menlu Ali Alatas atau Dubes untuk PBB Makarim
Wibisono bersilang kata --dibandingkan Ramos Horta misalnya-- tetapi
karena memang hampir mustahil meyakinkan orang bahwa loyang adalah emas.
It is a complete waste of time and energy.

Daripada habis buat "kampanye ke AS", alangkah baiknya kalau seluruh
usaha itu dicurahkan sekuatnya untuk memperbaiki diri kita sendiri. Masih
jauh jalan ke masyarakat demokratis, masih banyak problem dalam diri kita
sendiri, baik didalam maupun diluar negeri -- sebagai individu, kelompok
kerja, instansi, komunitas dan bangsa. Ini pekerjaan yang kolosal, yang
hanya bisa dilakukan kalau setiap orang menyadari masalahnya dan mau
kontribusi, paling tidak mulai dari dirinya sendiri dan lingkungan
terdekatnya.  baru kalau semuanya ini sudah terlaksana, orang akan
menyebut dan memperlakukan sebagai bangsa yang demokratis -- tanpa perlu
kampanye lagi.


Moko/

"One of the most untruthful things possible, you know, is a collection
 of facts, because they can be made to appear so many different ways."
-- Karl Menninger



Get your own FREE, personal Netscape WebMail account today at 
http://webmail.netscape.com.



Re: Kerjasama Permias-KBRI/KJRI

1999-11-08 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Diwaktu yang lalu, Indonesia sering dikecam oleh berbagai pihak di AS
berkaitan dengan pelanggaran HAM atau Timtim. Walaupun masih banyak
pekerjaan rumah yang harus kita lakukan berkaitan dengan hal-hal itu,
namun "Indonesia Baru" sekarang sudah jauh berubah dan lebih baik
daripada sebelumnya. Sudah saatnya kita "strike back" ke berbagai pihak
di AS itu. Sudah saatnya pula Permias dan masyarakat Indonesia di AS
"mengarahkan" mata perjuangannya ke pihak AS, disamping terus bersikap
"correct" terhadap KBRI/KJRI. Mari kita kampanyekan di seluruh AS bahwa
Indonesia sekarang adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia,
yang siap membangun kembali ekonominya bebas dari KKN.

Untuk tahap pertama, mungkin sesama anggota Permias dapat membahas
hal-hal seperti kegiatan apa yang dapat dilakukan Permias untuk dapat
ikut memperbaiki citra Indonesia di AS yg rusak selama ini. Program apa
yang perlu dilakukan Permias dalam membantu meyakinkan investor dan
pengusaha AS untuk segera kembali masuk ke Indonesia, dsb.


Saya tertarik membaca tulisan kerjasama Permias dan KBRI ini.

Posisi Indonesia memang agak sulit, soalnya sampai sekarang negara kita
dianggap sebagai negara 'pariah' bukan 'victim.' Agak sulit mendapatkan
simpati untuk negara besar seperti kita atau RRC (dibandingkan dengan
Palestina) dan juga karena status kita yang sering kali dianggap sebagai
agressor dengan petualangan kita di Aceh dan Timor Timur. Mengenai Aceh,
kita bisa argue tentang sejarah Aceh yang sama-sama menentang Belanda
atau pernyataan rakyat Aceh untuk bergabung dengan Indonesia di tahun

1945. Namun, tindak tanduk 'human right abuses' yang ditodongkan di Aceh
dan juga beberapa versi sejarah yang digembar gemborkan media massa di
US tidak menolong kita dalam memberikan legitimasi Indonesia di Aceh.

Jika kita mau 'strike back' ke berbagai pihak mengenai Indonesia, kita harus
'menyerang'-nya bukan hanya dari satu arah saja. Tapi juga harus dari beberapa
arah dan sekaligus perlu juga konsolidasi masyarakat.

Untuk membereskan citra Indonesia di mata internasional, ide kampanye
memang bisa merupakan salah satu 'arah penyerangan,' tapi sejauh mana
dan apa jenisnya, itu yang masih dipertanyakan. Lagipula, kampanye sendiri
tak akan efektif kalau tak dibarengi oleh gerakan lain dan juga jikalau tak
ada
wadah kerjasama seluruh masyarakat Indonesia di Amerika Serikat. Saya
rasa sudah tak perlu disangkal bahwa masyarakat Indonesia di US sering kali
kurang bersatu dan kebanyakan berkelompok; kecuali untuk beberapa kasus
dimana orang Indonesianya memang sangat sedikit. Lagipula, setiap gerakan
Indonesia sering kali sporadik tanpa dibarengi kebersamaan. Belum lagi
kurangnya
kesadaran politik masyarakat. Sering kali tujuan orang Indonesia yang di US
hanya untuk belajar dan bekerja. Titik. Politik merupakan barang haram
karena terlalu radikal artinya 'cekal,' dan lagipula tak adanya 'benefit'
tak banyak meningkatkan semangat. Aversi kepada politik tak perlu
lagi disangkal karena merupakan salah satu dampak Orde Baru.

Pemilu kemarin dan kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini
juga bukan merupakan pendorong bagi massa Indonesia di US untuk lebih

berminat politik, bahkan saya kuatir bahwa pemilu kemarin agak membuat
massa Indonesia di US terfragmentasi. Seperti kita lihat di milis ini,
keributan
antara yang Pro VS Anti Mega sudah merupakan makanan sehari-hari, belum
lagi keributan yang menyangkut agama. Setiap kali ada kasus gereja atau
mesjid dibakar, pasti terjadi teriakan pro atau kontra, dan terjadi kasus
saling
menyalahkan. Setiap kali Mega atau Gus Dur terselandung, pasti terjadi
keributan yang tak diwarnai rasa kritis, namun penuh emosi ditambah lagi
teriakan 'anti Islam' atau 'anti Kristen' dsb. Sikap agamais ini terus terang
tidak akan menarik hati orang-orang Indonesia di US apalagi orang-orang
di US yang mau kita pengaruhi. Bagaimana bisa mempengaruhi orang-orang
US bahwa Indonesia sudah 'berubah' kalau setiap kali yang mereka baca
adalah gereja dibakar atau keributan pro/kontra satu partai politik?

Terkadang saya sering bertanya-tanya: apa tujuan seseorang hanya menulis '
ini si goblok' atau 'itu si pembual' tanpa ada tanggapan dari dia yang
sifatnya
memberikan kritik membangun. Tulisan seperti dari Mme. Mardhika, M. Jeffrey
atau M. Irwan atau M. Okki dan lain-lain justru lebih menyenangkan untuk
dibaca,
karena walaupun sering kali idenya itu super kontroversial, tapi at least
ada usaha
untuk memberikan masukan kepada satu masalah. Jadi tak menyatakan 'kalau
saya bilang salah ya salah,' atau 'anti Islam, ya,' tapi diwarnai oleh
argumen yang
mendukung fakta-faktanya. Argumen yang super emosional justru membuat orang-
orang lain menjadi malas berpendapat dalam politik, karena kesannya ide
mereka
tidak ditanggapi serius, tapi asal-asalan atau emosional atau lebih parah
lagi seperti
berbicara dengan tembok. Yang enak untuk diterima adalah fakta yang mendukung
argumen, bukan emosi yang mendukung fakta.

Kembali ke 

Re: Kerjasama Permias-KBRI/KJRI

1999-11-07 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 11:25 PM 11/7/1999, Mahendra Siregar wrote:

|Diwaktu yang lalu, Indonesia sering dikecam oleh berbagai pihak di AS
|berkaitan dengan pelanggaran HAM atau Timtim. Walaupun masih banyak
|pekerjaan rumah yang harus kita lakukan berkaitan dengan hal-hal itu,
|namun "Indonesia Baru" sekarang sudah jauh berubah dan lebih baik
|daripada sebelumnya. Sudah saatnya kita "strike back" ke berbagai pihak
|di AS itu. Sudah saatnya pula Permias dan masyarakat Indonesia di AS
|"mengarahkan" mata perjuangannya ke pihak AS, disamping terus bersikap
|"correct" terhadap KBRI/KJRI. Mari kita kampanyekan di seluruh AS bahwa
|Indonesia sekarang adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia,
|yang siap membangun kembali ekonominya bebas dari KKN.

Ada sebuah "adegan" dalam satu brownbag seminar di kampus, dimana seorang
mahasiswa asal Indonesia dengan semangat menyala berusaha menepis image
buruk tentang negerinya. Dengan berapi-api dia bertanya kenapa si
pembicara tidak mengikut sertakan negerinya dalam kelompok negara yang
demokratis ... "what you expect from us [Indonesia], what Indonesia
supposed to do to be called a democratic country?" Dengan halus si
pembicara menjawab: "It is very simple ... just be like one, or at the
very least, act like one!"

Sudah terlalu lama problem 'image' ini dihadapi dengan "strike back" pada
mereka yang mengritik kita. Sudah lama pula --kalau kita mau melihat
relita-- kita seharusnya mengetahui bahwa pendekatan seperti ini tidak
akan jalan. "Kegagalan" kita dalam diplomasi, soal Timtim misalnya, bukan
karena kurang pandainya Menlu Ali Alatas atau Dubes untuk PBB Makarim
Wibisono bersilang kata --dibandingkan Ramos Horta misalnya-- tetapi
karena memang hampir mustahil meyakinkan orang bahwa loyang adalah emas.
It is a complete waste of time and energy.

Daripada habis buat "kampanye ke AS", alangkah baiknya kalau seluruh
usaha itu dicurahkan sekuatnya untuk memperbaiki diri kita sendiri. Masih
jauh jalan ke masyarakat demokratis, masih banyak problem dalam diri kita
sendiri, baik didalam maupun diluar negeri -- sebagai individu, kelompok
kerja, instansi, komunitas dan bangsa. Ini pekerjaan yang kolosal, yang
hanya bisa dilakukan kalau setiap orang menyadari masalahnya dan mau
kontribusi, paling tidak mulai dari dirinya sendiri dan lingkungan
terdekatnya.  baru kalau semuanya ini sudah terlaksana, orang akan
menyebut dan memperlakukan sebagai bangsa yang demokratis -- tanpa perlu
kampanye lagi.


Moko/

"One of the most untruthful things possible, you know, is a collection
 of facts, because they can be made to appear so many different ways."
-- Karl Menninger