Re: [R@ntau-Net] Rebab Kelu Perjalanan Andrinof Chaniago (oleh Indra J. Piliang)
Dari www.konfrontasi.com 11 Februari 2015 JAKARTA- Dikecam publik, pujian pakar psikologi yang mendadak jadi pengamat dari Universitas Indonesia (UI), Prof Hamdi Muluk, terhadap Jokowi di masa lalu, karena dianggap menjerumuskan bangsa jadi rusak dan tak menentu begini. Hamdi adalah penganut Jokowisme, serba pro-Jokowi, dan menyatakan Jokowi calon presiden yang baik. Padahal Jokowi lembek,lelet dan tak kredibel serta mengalami krisis legitimasi dan otak/nalar tidak nyandak. Hamdi Muluk menganggap ada empat kelebihan Joko Widodo alias Jokowi yang membuatnya menjadi figur terpopuler sebagai calon presiden. Kelebihan Jokowi, yang pertama adalah karena memiliki jiwa kepemimpinan dan integritas. Hal itu dapat dilihat selama memimpin Jakarta, Jokowi memiliki citra baik karena dinilai jujur, amanah, dan memiliki empati sosial. Kedua, Jokowi memiliki political branding yang kuat, misalnya blusukan, baju kotak-kotak, dan lainnya. Faktor ketiga adalah Jokowi mampu menggoda publik sehingga menjadi kasmaran kepadanya. Atas dasar itu, Hamdi yakin kejelekan Jokowi yang diembuskan oleh lawan politiknya tak akan mampu menjatuhkan kepercayaan publik padanya, dan lagi rakyat makin teredukasi dan punya nurani. Ketiga, ada teori epidemi sosial. “Ini seperti wabah yang tidak bisa distop. Wabah ini baru akan berhenti ketika orang sudah nyoblos Jokowi.” Keempat kelebihan itu menjadi modal besar karena tidak dimiliki secara utuh oleh figur lain dan membuat keinginan publik pada pencapresan Jokowi tak terbantahkan. Saat ini, menurut Hamdi ada semacam fenomena atau fakta sosial yang menggambarkan keinginan publik agar Jokowi menjadi presiden berikutnya. Sejumlah hasil survei dianggapnya ikut menguatkan analisis tersebut karena figur yang mencuat sebagai calon presiden terus mengerucut. “Jokowi angkanya naik terus, tidak terbantahkan. Artinya, keinginan publik makin mengerucut inginkan Jokowi jadi presiden.” Itulah puja puji Hamdi Muluk untuk Jokowi sebelum coblosan Pilpres 2014. Kredibilitas Hamdi, juga Sukardi Rinakit dari SSS, Prof Ikrar Nusa Bhakti dari LIPI dan sebagainya yang memuja muji Jokowi dengan argumentasi akademisnya, jelas menyesatnya publik. Para pakar itu telah menyesatkan rakyat ke jurang ketidakpastian, dan kondisi sosial ekoomi rakyat makin jeblok di era Jokowi. Kini apa hasilnya Jokowi? Hamdi Muluk kini harus menjilat ludahnya sendiri, sebab pujiannya bagi Jokowi itu lebay, basi, ngawur dan dia tak bertanggung jawab pula. Itulah ilmuwan kelas teri dari UI yang asal njeplak juga demi Jokowi sebelum dan selama pilpres.. Inilah kritik dan koreksi publik bagi Hamdi Muluk yang diduga punya ''kepentingan bercokol'' ketika memuji-muji Jokowi, diduga demi imbalan dari Jokowi-JK. Bobrok sudah reputasi Hamdi Muluk kini, karena Jokowi terbukti membwa NKRI ke titik nadir, ke tubir jurang. Banyak kritik dan kecaman kepada Hamdi Muluk-Hamdi Muluk lainnya di media sosial dan di kalangan kaum terpelajar karena Hamdi lebay dan, sori, kelihatan tak suka pada lawan kompetisi Jokowi di pilpres 2014. Jokowisme-nya kini menuai krisis kepercayaan. Kini nasi sudah jadi bubur, dan Hamdi Muluk kredibilitasnya hancur. Quo vadis psikologi UI kalau kualitas profesornya buruk kayak gini? (Subandi, jurnalis warga). Dibaca 21742 kali BaBe - Baca Berita Indonesia GRATIS (91.437) BaBe Tampilan Baru Kategori tetap bervariasi. Fitur makin canggih. Tambah keren! Unduh Berita Terkini Baim Wong Selektif Pilih Pasangan Suara Buruh Terpecah Dalam Pilkada Kota Semarang Asean Tingkatkan Kemitraan Dengan China, Jepang dan Korea Selatan Skandal Suap Hakim PTUN Medan: Gatot Pujo kembali Diperiksa KPK Sengketa PSSI vs Supporter: PP Minta MA Hormati Berita Terkait Pengamat Nilai Pencitraan Ala Jokowi Bodohi Rakyat Jokowi-PDIP Silau Dengan Tawaran Dana Untuk Posisi Cawapres? Simaklah Perbedaan-Perbedaan antara Prabowo dan Jokowi Dugaan Bocornya Materi Debat Capres-Cawapres Harus Diusut Tuntas ! Mahfud MD:Lembaga Cyrus Itu Punya Jokowi sejak Dulu. Wah ! Pengamat Sosial Kemasyarakatan : Prabowo melakukan kesalahan besar, sebab mendukung ide atau gagasan Jokowi Prabowo versus Jokowi, Seperti Belanda vs Spanyol, Menang Prabowo 5-1 Psikolog Politik UI : Prabowo menang mutlak debat Capres kontra Jokowi Search Tentang Kami Fokus Isu I Nasional I Global I Ekbis I Politik I Tokoh I Enterpreunership I Olahraga I Budaya I Fashion I Gastronomi I Entertainment I Khazanah I Teknologi I Ragam I Opini I English I Netizen Copyright © 2015, Konfrontasi Designed by Zymphonies 1.9k Like Like 0 whatsapp 0 googleplus 73 35 416 53 Comments 53 Comments Login to Facebook to Post a Comment Login to Facebook to Post a Comment Prabu Indigo Di indonesia ga sulit utk dpt gelar profesor dan jendral.. di negara2 maju utk mendapatkan gelar tsb sgt… More Feb 13 4 people Arie Putra Professor ikut2 politik?? Apa salah nya?? Cardoso mantan presiden Brazil itu mendapat gelar Prof. dari… More Feb 14 3 people Ongku Hasibuan terkadang banyak orang sekolah
Re: [R@ntau-Net] Rebab Kelu Perjalanan Andrinof Chaniago (oleh Indra J. Piliang)
Sebetulnya di samping p Andrinof Chaniago juga ada tokoh akademisi Minang yg juga besar jasanya mendongkrak popularitas walikota jokowi dengan kepakarannya di bidang psikologi politik Lihat links berikut Hamdi Muluk : Jokowi-JK Pasangan Ideal | Jusuf Kalla jusufkalla.info › archives › 2014/04/25 Mobile-friendly - 25 Apr 2014 - Hamdi Muluk menambahkan bahwa duet ideal bagi Jokowi adalah dengan JK. Menurutnya, JK ... Prof. Hamdi Muluk: 'Epidemi' Jokowi, Modal Sosial 'Clean ... www.kompasiana.com › berthybrahawarin Mobile-friendly - 30 Agt 2013 -Menganalogikan popularitas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dengan 'epidemi' Jokowi, ... On Aug 25, 2015 12:00 PM, Akmal Nasery Basral ak...@rantaunet.org wrote: *Rebab Kelu Perjalanan Andrinof ChaniagoOlehIndra J PiliangPendiri Sang Gerilya Institute* Di angkatan senior saya di UI, tidak banyak yang saya kenal sebagai intelektual, terlebih lagi sebagai intelektual yang berasal dari ranah Minang. Di antara yang sedikit itu, nama Andrinof Chaniago paling menonjol. Saya tentu sedikit menyesal, tidak mengenali Andrinof sejak di bangku kuliah. Walau saya tahu, Andrinof aktif sebagai Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa FISIP UI. Saya lebih dekat dengan Chandra M Hamzah, putra Minang lainnya. Chandra termasuk mentor saya dalam aktivitas kemahasiswaan di UI. Hal yang paling saya ingat adalah Chandra meledek saya, setiap kali saya bicara. “Ndra, mending lu jangan ngomong deh. Apa yang lu omongin kagak jelas!” kata Chandra, sambil tersenyum yang khas dan menyundut rokoknya. Saya memang gagap, waktu semester satu hingga semester dua di UI. Mungkin juga hingga semester berikutnya. Sejak kecil saya penyendiri, jarang tinggal dengan orang tua. Saya dititipkan di banyak tempat, terutama dengan nenek-nenek dan etek-etek saya. Alasannya, saya sekolah, sementara ayah dan ibu saya pindah-pindah, mengingat ayah saya sebagai pegawai memang sering berpindah tempat pekerjaan mengintari Sumbar. Karena itulah, saya tertinggal dalam hal bicara. Saya termasuk jago di bidang matematika, bahasa Inggris, sastra, sejarah dan bahasa Indonesia. Ya, jago dalam artian pandai menulis, tidak pandai bicara. Kebetulan, saya membaca banyak buku, termasuk catatan harian kakek saya yang ditulis indah. Biasanya, kalau menulis surat kepada orangtua saya, saya menulis berlembar-lembar, menumpahkan perasaan. Tak jarang saya coret-coret atau saya ulangi menulisnya. Dalam reuni dengan Angkatan 1991 Jurusan Sejarah yang tidak disengaja pada tanggal 23 Agustus 2015 lalu di Taman Mini Indonesia Indah, Elsye, Musa, Nunung dan teman-teman saya yang lain masih mengingat kegagapan saya. “Gue heran, elu sekarang pandai bicara. Padahal, lu kan gagap,” kata Bodi dan Ewan. “Makanya gua jadi aktivis. Lu nggak tahu, setiap kali demo, gue ambil michrophone, lalu teriak-teriak sendiri di tengah hiruk pikuk massa. Orasi keras-keras, sambil megang catatan. Mana ada yang fokus dengerin orasi gue, karena suasana demo kan rame!” jawab saya. Mereka terkekeh. Benar, saya melatih diri dengan ketat, antara lain dengan ikut aksi mahasiswa, mimbar bebas, hingga masuk ke Teater Sastra UI untuk latihan vokal di dalam air dan di tempat sepi seperti Cibodas, kaki Gunung Gede Pangrango. Pelatih saya adalah I Yudhi Sunarto dan terakhir, Ramdhansyah (pernah jadi Ketua Bawaslu DKI Jakarta). Sebanyak itu saya aktif di organisasi, saya hampir tak mengenali Andrinof. Saya tahu, ada pimpinan mahasiswa dari berbagai fakultas yang berasal dari Ranah Minang. Tapi Andrinof? Jarang bertemu. Saya hanya sesekali membaca tulisannya dalam jurnal yang diterbitkan oleh mahasiswa FISIP UI. Yang paling saya kenal di FISIP UI bukan Andrinof, melainkan Eep Saefullah Fatah, almarhum Syamsul Hadi, Eko Sulistio, Andi Rahman atau Robertus Robert, dan Budi Arie Setiadi. Juga aktivis KSM UI Eka Prasetya yang berasal dari FISIP UI, seperti Sad Dian Utomo dan Sulistio. Belakangan, saya akrab dengan Subuh Prabowo yang sampai sekarang setia mendampingi Fadli Zon. Subuh jadi Sekretaris Umum saya dalam kegiatan Simposium Nasional Angkatan Muda 1990-an: Menjawab Tantangan Abad 21. Saya menjadi Ketua OC, dengan wakil Indra Kusuma dari FHUI. Namun, mayoritas aktivis mahasiswa UI mengenal mentor saya dari FISIP UI, Bagus Hendraning yang kini menjadi diplomat. Di luar itu, sejak aktif sebagai bagian dari ikhwan kampus di UI, saya mengenal ikhwan-ikhwan asal FISIP UI, seperti Komaruddin. *** Nama Andrinof saya kenal lewat tulisan di Harian Republika. Saya menjadi akrab dengannya, ketika saya masuk menjadi peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Waktu itu, Andrinof bekerja di the Habibie Center. Kisah hubungan baik kami terjadi ketika saya diminta untuk “menguliti” buku Gagalnya Pembangunan karangan Andrinof. Heran, dua lembaga yang dianggap berseberangan, yakni the Habibie Center dan CSIS, justru berakrab-akrab di depan kamera. Ya, momentum kedekatan saya dengan
[R@ntau-Net] Rebab Kelu Perjalanan Andrinof Chaniago (oleh Indra J. Piliang)
*Rebab Kelu Perjalanan Andrinof ChaniagoOlehIndra J PiliangPendiri Sang Gerilya Institute* Di angkatan senior saya di UI, tidak banyak yang saya kenal sebagai intelektual, terlebih lagi sebagai intelektual yang berasal dari ranah Minang. Di antara yang sedikit itu, nama Andrinof Chaniago paling menonjol. Saya tentu sedikit menyesal, tidak mengenali Andrinof sejak di bangku kuliah. Walau saya tahu, Andrinof aktif sebagai Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa FISIP UI. Saya lebih dekat dengan Chandra M Hamzah, putra Minang lainnya. Chandra termasuk mentor saya dalam aktivitas kemahasiswaan di UI. Hal yang paling saya ingat adalah Chandra meledek saya, setiap kali saya bicara. “Ndra, mending lu jangan ngomong deh. Apa yang lu omongin kagak jelas!” kata Chandra, sambil tersenyum yang khas dan menyundut rokoknya. Saya memang gagap, waktu semester satu hingga semester dua di UI. Mungkin juga hingga semester berikutnya. Sejak kecil saya penyendiri, jarang tinggal dengan orang tua. Saya dititipkan di banyak tempat, terutama dengan nenek-nenek dan etek-etek saya. Alasannya, saya sekolah, sementara ayah dan ibu saya pindah-pindah, mengingat ayah saya sebagai pegawai memang sering berpindah tempat pekerjaan mengintari Sumbar. Karena itulah, saya tertinggal dalam hal bicara. Saya termasuk jago di bidang matematika, bahasa Inggris, sastra, sejarah dan bahasa Indonesia. Ya, jago dalam artian pandai menulis, tidak pandai bicara. Kebetulan, saya membaca banyak buku, termasuk catatan harian kakek saya yang ditulis indah. Biasanya, kalau menulis surat kepada orangtua saya, saya menulis berlembar-lembar, menumpahkan perasaan. Tak jarang saya coret-coret atau saya ulangi menulisnya. Dalam reuni dengan Angkatan 1991 Jurusan Sejarah yang tidak disengaja pada tanggal 23 Agustus 2015 lalu di Taman Mini Indonesia Indah, Elsye, Musa, Nunung dan teman-teman saya yang lain masih mengingat kegagapan saya. “Gue heran, elu sekarang pandai bicara. Padahal, lu kan gagap,” kata Bodi dan Ewan. “Makanya gua jadi aktivis. Lu nggak tahu, setiap kali demo, gue ambil michrophone, lalu teriak-teriak sendiri di tengah hiruk pikuk massa. Orasi keras-keras, sambil megang catatan. Mana ada yang fokus dengerin orasi gue, karena suasana demo kan rame!” jawab saya. Mereka terkekeh. Benar, saya melatih diri dengan ketat, antara lain dengan ikut aksi mahasiswa, mimbar bebas, hingga masuk ke Teater Sastra UI untuk latihan vokal di dalam air dan di tempat sepi seperti Cibodas, kaki Gunung Gede Pangrango. Pelatih saya adalah I Yudhi Sunarto dan terakhir, Ramdhansyah (pernah jadi Ketua Bawaslu DKI Jakarta). Sebanyak itu saya aktif di organisasi, saya hampir tak mengenali Andrinof. Saya tahu, ada pimpinan mahasiswa dari berbagai fakultas yang berasal dari Ranah Minang. Tapi Andrinof? Jarang bertemu. Saya hanya sesekali membaca tulisannya dalam jurnal yang diterbitkan oleh mahasiswa FISIP UI. Yang paling saya kenal di FISIP UI bukan Andrinof, melainkan Eep Saefullah Fatah, almarhum Syamsul Hadi, Eko Sulistio, Andi Rahman atau Robertus Robert, dan Budi Arie Setiadi. Juga aktivis KSM UI Eka Prasetya yang berasal dari FISIP UI, seperti Sad Dian Utomo dan Sulistio. Belakangan, saya akrab dengan Subuh Prabowo yang sampai sekarang setia mendampingi Fadli Zon. Subuh jadi Sekretaris Umum saya dalam kegiatan Simposium Nasional Angkatan Muda 1990-an: Menjawab Tantangan Abad 21. Saya menjadi Ketua OC, dengan wakil Indra Kusuma dari FHUI. Namun, mayoritas aktivis mahasiswa UI mengenal mentor saya dari FISIP UI, Bagus Hendraning yang kini menjadi diplomat. Di luar itu, sejak aktif sebagai bagian dari ikhwan kampus di UI, saya mengenal ikhwan-ikhwan asal FISIP UI, seperti Komaruddin. *** Nama Andrinof saya kenal lewat tulisan di Harian Republika. Saya menjadi akrab dengannya, ketika saya masuk menjadi peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Waktu itu, Andrinof bekerja di the Habibie Center. Kisah hubungan baik kami terjadi ketika saya diminta untuk “menguliti” buku Gagalnya Pembangunan karangan Andrinof. Heran, dua lembaga yang dianggap berseberangan, yakni the Habibie Center dan CSIS, justru berakrab-akrab di depan kamera. Ya, momentum kedekatan saya dengan Andrinof adalah ketika launching buku Gagalnya Pembangunan itu di Hotel Four Seasons, Jakarta. Andrinof memanggil saya sebagai salah satu dari sedikit orang yang menerima buku di depan para undangan. Sejak itu, saya dan Andrinof menjadi kakak-adik. Buku Andrinof ternyata dibaca banyak pihak. Tak disangka, kami dihubungi oleh ex Dirut PT Timah TBK Erry Riyana Hardjapamengkas untuk menulis soal konflik tambang timah inkonvensional (illegal) di Bangka Belitung. Kami terbang kesana, melakukan penelitian. Walau tanpa dana yang cukup, kami bekerja keras menyelesaikan laporan. Sayang, sampai hari ini, buku hasil penelitian itu tak kunjung terbit. Hubungan baik dengan Erry Riyana itulah yang membawanya hadir dalam resepsi pernikahan saya di sebelah gedung Balai Kartini. Erry membaca sambutan