Re: [R@ntau-Net] Rebab Kelu Perjalanan Andrinof Chaniago (oleh Indra J. Piliang)

2015-08-25 Terurut Topik Fashridjal M. Noor
Dari www.konfrontasi.com
11 Februari 2015

JAKARTA- Dikecam publik, pujian pakar psikologi yang mendadak jadi pengamat
dari Universitas Indonesia (UI), Prof Hamdi Muluk, terhadap Jokowi di masa
lalu, karena dianggap menjerumuskan bangsa jadi rusak dan tak menentu
begini. Hamdi adalah penganut Jokowisme, serba pro-Jokowi, dan menyatakan
Jokowi calon presiden yang baik. Padahal Jokowi lembek,lelet dan tak
kredibel serta mengalami krisis legitimasi dan otak/nalar tidak nyandak.

Hamdi Muluk menganggap ada empat kelebihan Joko Widodo alias Jokowi yang
membuatnya menjadi figur terpopuler sebagai calon presiden. Kelebihan
Jokowi, yang pertama adalah karena memiliki jiwa kepemimpinan dan
integritas. Hal itu dapat dilihat selama memimpin Jakarta, Jokowi memiliki
citra baik karena dinilai jujur, amanah, dan memiliki empati sosial.

Kedua, Jokowi memiliki political branding yang kuat, misalnya blusukan,
baju kotak-kotak, dan lainnya. Faktor ketiga adalah Jokowi mampu menggoda
publik sehingga menjadi kasmaran kepadanya. Atas dasar itu, Hamdi yakin
kejelekan Jokowi yang diembuskan oleh lawan politiknya tak akan mampu
menjatuhkan kepercayaan publik padanya, dan lagi rakyat makin teredukasi
dan punya nurani. Ketiga, ada teori epidemi sosial. “Ini seperti wabah yang
tidak bisa distop. Wabah ini baru akan berhenti ketika orang sudah nyoblos
Jokowi.” Keempat kelebihan itu menjadi modal besar karena tidak dimiliki
secara utuh oleh figur lain dan membuat keinginan publik pada pencapresan
Jokowi tak terbantahkan.

Saat ini, menurut Hamdi ada semacam fenomena atau fakta sosial yang
menggambarkan keinginan publik agar Jokowi menjadi presiden berikutnya.
Sejumlah hasil survei dianggapnya ikut menguatkan analisis tersebut karena
figur yang mencuat sebagai calon presiden terus mengerucut. “Jokowi
angkanya naik terus, tidak terbantahkan. Artinya, keinginan publik makin
mengerucut inginkan Jokowi jadi presiden.” Itulah puja puji Hamdi Muluk
untuk Jokowi sebelum coblosan Pilpres 2014. Kredibilitas Hamdi, juga
Sukardi Rinakit dari SSS, Prof Ikrar Nusa Bhakti dari LIPI dan sebagainya
yang memuja muji Jokowi dengan argumentasi akademisnya, jelas menyesatnya
publik. Para pakar itu telah menyesatkan rakyat ke jurang ketidakpastian,
dan kondisi sosial ekoomi rakyat makin jeblok di era Jokowi. Kini apa
hasilnya Jokowi?

Hamdi Muluk kini harus menjilat ludahnya sendiri, sebab pujiannya bagi
Jokowi itu lebay, basi, ngawur dan dia tak bertanggung jawab pula. Itulah
ilmuwan kelas teri dari UI yang asal njeplak juga demi Jokowi sebelum dan
selama pilpres.. Inilah kritik dan koreksi publik bagi Hamdi Muluk yang
diduga punya ''kepentingan bercokol'' ketika memuji-muji Jokowi, diduga
demi imbalan dari Jokowi-JK. Bobrok sudah reputasi Hamdi Muluk kini, karena
Jokowi terbukti membwa NKRI ke titik nadir, ke tubir jurang. Banyak kritik
dan kecaman kepada Hamdi Muluk-Hamdi Muluk lainnya di media sosial dan di
kalangan kaum terpelajar karena Hamdi lebay dan, sori, kelihatan tak suka
pada lawan kompetisi Jokowi di pilpres 2014. Jokowisme-nya kini menuai
krisis kepercayaan. Kini nasi sudah jadi bubur, dan Hamdi Muluk
kredibilitasnya hancur. Quo vadis psikologi UI kalau kualitas profesornya
buruk kayak gini? (Subandi, jurnalis warga).

Dibaca 21742 kali BaBe - Baca Berita Indonesia GRATIS (91.437) BaBe
Tampilan Baru Kategori tetap bervariasi. Fitur makin canggih. Tambah keren!

Unduh

Berita Terkini

Baim Wong Selektif Pilih Pasangan

Suara Buruh Terpecah Dalam Pilkada Kota Semarang

Asean Tingkatkan Kemitraan Dengan China, Jepang dan Korea Selatan

Skandal Suap Hakim PTUN Medan: Gatot Pujo kembali Diperiksa KPK

Sengketa PSSI vs Supporter: PP Minta MA Hormati 

Berita Terkait

Pengamat Nilai Pencitraan Ala Jokowi Bodohi Rakyat Jokowi-PDIP Silau Dengan
Tawaran Dana Untuk Posisi Cawapres? Simaklah Perbedaan-Perbedaan antara
Prabowo dan Jokowi Dugaan Bocornya Materi Debat Capres-Cawapres Harus
Diusut Tuntas ! Mahfud MD:Lembaga Cyrus Itu Punya Jokowi sejak Dulu. Wah !
Pengamat Sosial Kemasyarakatan : Prabowo melakukan kesalahan besar, sebab
mendukung ide atau gagasan Jokowi Prabowo versus Jokowi, Seperti Belanda vs
Spanyol, Menang Prabowo 5-1 Psikolog Politik UI : Prabowo menang mutlak
debat Capres kontra Jokowi

   

Search

Tentang Kami

Fokus Isu I Nasional I Global I Ekbis I Politik I Tokoh I Enterpreunership
I Olahraga I Budaya I Fashion I Gastronomi I Entertainment I Khazanah I
Teknologi I Ragam I Opini I English I Netizen

Copyright © 2015, Konfrontasi

Designed by Zymphonies

1.9k

Like Like

0

whatsapp

0

googleplus

73

35 416

53 Comments 53 Comments

Login to Facebook to Post a Comment Login to Facebook to Post a Comment

Prabu Indigo Di indonesia ga sulit utk dpt gelar profesor dan jendral.. di
negara2 maju utk mendapatkan gelar tsb sgt… More Feb 13

4 people

Arie Putra Professor ikut2 politik?? Apa salah nya?? Cardoso mantan
presiden Brazil itu mendapat gelar Prof. dari… More Feb 14

3 people

Ongku Hasibuan terkadang banyak orang sekolah 

Re: [R@ntau-Net] Rebab Kelu Perjalanan Andrinof Chaniago (oleh Indra J. Piliang)

2015-08-25 Terurut Topik Fashridjal M. Noor
Sebetulnya di samping p Andrinof Chaniago juga ada tokoh akademisi Minang
yg juga besar jasanya mendongkrak popularitas walikota jokowi dengan
kepakarannya di bidang psikologi politik

Lihat links berikut

Hamdi Muluk : Jokowi-JK Pasangan Ideal | Jusuf Kalla jusufkalla.info ›
archives › 2014/04/25 Mobile-friendly - 25 Apr 2014 - Hamdi Muluk
menambahkan bahwa duet ideal bagi Jokowi adalah dengan JK. Menurutnya, JK
...

Prof. Hamdi Muluk: 'Epidemi' Jokowi, Modal Sosial 'Clean ...
www.kompasiana.com › berthybrahawarin Mobile-friendly - 30 Agt 2013
-Menganalogikan popularitas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi)
dengan 'epidemi' Jokowi, ...
On Aug 25, 2015 12:00 PM, Akmal Nasery Basral ak...@rantaunet.org wrote:




 *Rebab Kelu Perjalanan Andrinof ChaniagoOlehIndra J PiliangPendiri Sang
 Gerilya Institute*

 Di angkatan senior saya di UI, tidak banyak yang saya kenal sebagai
 intelektual, terlebih lagi sebagai intelektual yang berasal dari ranah
 Minang. Di antara yang sedikit itu, nama Andrinof Chaniago paling menonjol.
 Saya tentu sedikit menyesal, tidak mengenali Andrinof sejak di bangku
 kuliah. Walau saya tahu, Andrinof aktif sebagai Ketua Badan Perwakilan
 Mahasiswa FISIP UI. Saya lebih dekat dengan Chandra M Hamzah, putra Minang
 lainnya. Chandra termasuk mentor saya dalam aktivitas kemahasiswaan di UI.
 Hal yang paling saya ingat adalah Chandra meledek saya, setiap kali saya
 bicara.

 “Ndra, mending lu jangan ngomong deh. Apa yang lu omongin kagak jelas!”
 kata Chandra, sambil tersenyum yang khas dan menyundut rokoknya.

 Saya memang gagap, waktu semester satu hingga semester dua di UI. Mungkin
 juga hingga semester berikutnya. Sejak kecil saya penyendiri, jarang
 tinggal dengan orang tua. Saya dititipkan di banyak tempat, terutama dengan
 nenek-nenek dan etek-etek saya. Alasannya, saya sekolah, sementara ayah dan
 ibu  saya pindah-pindah, mengingat ayah saya sebagai pegawai memang sering
 berpindah tempat pekerjaan mengintari Sumbar. Karena itulah, saya
 tertinggal dalam hal bicara.

 Saya termasuk jago di bidang matematika, bahasa Inggris, sastra, sejarah
 dan bahasa Indonesia. Ya, jago dalam artian pandai menulis, tidak pandai
 bicara. Kebetulan, saya membaca banyak buku,  termasuk catatan harian kakek
 saya yang ditulis indah. Biasanya, kalau menulis surat kepada orangtua
 saya, saya menulis berlembar-lembar, menumpahkan perasaan. Tak jarang saya
 coret-coret atau saya ulangi menulisnya.

 Dalam reuni dengan Angkatan 1991 Jurusan Sejarah yang tidak disengaja pada
 tanggal 23 Agustus 2015 lalu di Taman Mini Indonesia Indah, Elsye, Musa,
 Nunung dan teman-teman saya yang lain masih mengingat kegagapan saya.

 “Gue heran, elu sekarang pandai bicara. Padahal, lu kan gagap,” kata Bodi
 dan Ewan.

 “Makanya gua jadi aktivis. Lu nggak tahu, setiap kali demo, gue ambil
 michrophone, lalu teriak-teriak sendiri di tengah hiruk pikuk massa. Orasi
 keras-keras, sambil megang catatan. Mana ada yang fokus dengerin orasi gue,
 karena suasana demo kan rame!” jawab saya.

 Mereka terkekeh. Benar, saya melatih diri dengan ketat, antara lain dengan
 ikut aksi mahasiswa, mimbar bebas, hingga masuk ke Teater Sastra UI untuk
 latihan vokal di dalam air dan di tempat sepi seperti Cibodas, kaki Gunung
 Gede Pangrango. Pelatih saya adalah I Yudhi Sunarto dan terakhir,
 Ramdhansyah (pernah jadi Ketua Bawaslu DKI Jakarta).

 Sebanyak itu saya aktif di organisasi, saya hampir tak mengenali Andrinof.
 Saya tahu, ada pimpinan mahasiswa dari berbagai fakultas yang berasal dari
 Ranah Minang. Tapi Andrinof? Jarang bertemu. Saya hanya sesekali membaca
 tulisannya dalam jurnal yang diterbitkan oleh mahasiswa FISIP UI.

 Yang paling saya kenal di FISIP UI bukan Andrinof, melainkan Eep Saefullah
 Fatah, almarhum Syamsul Hadi, Eko Sulistio, Andi Rahman atau Robertus
 Robert, dan Budi Arie Setiadi. Juga aktivis KSM UI Eka Prasetya yang
 berasal dari FISIP UI, seperti Sad Dian Utomo dan Sulistio. Belakangan,
 saya akrab dengan Subuh Prabowo yang sampai sekarang setia mendampingi
 Fadli Zon. Subuh jadi Sekretaris Umum saya dalam kegiatan Simposium
 Nasional Angkatan Muda 1990-an: Menjawab Tantangan Abad 21. Saya menjadi
 Ketua OC, dengan wakil Indra Kusuma dari FHUI.

 Namun, mayoritas aktivis mahasiswa UI mengenal mentor saya dari FISIP UI,
 Bagus Hendraning yang kini menjadi diplomat. Di luar itu, sejak aktif
 sebagai bagian dari ikhwan kampus di UI, saya mengenal ikhwan-ikhwan asal
 FISIP UI, seperti Komaruddin.

 ***

 Nama Andrinof saya kenal lewat tulisan di Harian Republika. Saya menjadi
 akrab dengannya, ketika saya masuk menjadi peneliti Centre for Strategic
 and International Studies (CSIS). Waktu itu, Andrinof bekerja di the
 Habibie Center. Kisah hubungan baik kami terjadi ketika saya diminta untuk
 “menguliti” buku Gagalnya Pembangunan karangan Andrinof. Heran, dua lembaga
 yang dianggap berseberangan, yakni the Habibie Center dan CSIS, justru
 berakrab-akrab di depan kamera.

 Ya, momentum kedekatan saya dengan 

[R@ntau-Net] Rebab Kelu Perjalanan Andrinof Chaniago (oleh Indra J. Piliang)

2015-08-24 Terurut Topik Akmal Nasery Basral
*Rebab Kelu Perjalanan Andrinof ChaniagoOlehIndra J PiliangPendiri Sang
Gerilya Institute*

Di angkatan senior saya di UI, tidak banyak yang saya kenal sebagai
intelektual, terlebih lagi sebagai intelektual yang berasal dari ranah
Minang. Di antara yang sedikit itu, nama Andrinof Chaniago paling menonjol.
Saya tentu sedikit menyesal, tidak mengenali Andrinof sejak di bangku
kuliah. Walau saya tahu, Andrinof aktif sebagai Ketua Badan Perwakilan
Mahasiswa FISIP UI. Saya lebih dekat dengan Chandra M Hamzah, putra Minang
lainnya. Chandra termasuk mentor saya dalam aktivitas kemahasiswaan di UI.
Hal yang paling saya ingat adalah Chandra meledek saya, setiap kali saya
bicara.

“Ndra, mending lu jangan ngomong deh. Apa yang lu omongin kagak jelas!”
kata Chandra, sambil tersenyum yang khas dan menyundut rokoknya.

Saya memang gagap, waktu semester satu hingga semester dua di UI. Mungkin
juga hingga semester berikutnya. Sejak kecil saya penyendiri, jarang
tinggal dengan orang tua. Saya dititipkan di banyak tempat, terutama dengan
nenek-nenek dan etek-etek saya. Alasannya, saya sekolah, sementara ayah dan
ibu  saya pindah-pindah, mengingat ayah saya sebagai pegawai memang sering
berpindah tempat pekerjaan mengintari Sumbar. Karena itulah, saya
tertinggal dalam hal bicara.

Saya termasuk jago di bidang matematika, bahasa Inggris, sastra, sejarah
dan bahasa Indonesia. Ya, jago dalam artian pandai menulis, tidak pandai
bicara. Kebetulan, saya membaca banyak buku,  termasuk catatan harian kakek
saya yang ditulis indah. Biasanya, kalau menulis surat kepada orangtua
saya, saya menulis berlembar-lembar, menumpahkan perasaan. Tak jarang saya
coret-coret atau saya ulangi menulisnya.

Dalam reuni dengan Angkatan 1991 Jurusan Sejarah yang tidak disengaja pada
tanggal 23 Agustus 2015 lalu di Taman Mini Indonesia Indah, Elsye, Musa,
Nunung dan teman-teman saya yang lain masih mengingat kegagapan saya.

“Gue heran, elu sekarang pandai bicara. Padahal, lu kan gagap,” kata Bodi
dan Ewan.

“Makanya gua jadi aktivis. Lu nggak tahu, setiap kali demo, gue ambil
michrophone, lalu teriak-teriak sendiri di tengah hiruk pikuk massa. Orasi
keras-keras, sambil megang catatan. Mana ada yang fokus dengerin orasi gue,
karena suasana demo kan rame!” jawab saya.

Mereka terkekeh. Benar, saya melatih diri dengan ketat, antara lain dengan
ikut aksi mahasiswa, mimbar bebas, hingga masuk ke Teater Sastra UI untuk
latihan vokal di dalam air dan di tempat sepi seperti Cibodas, kaki Gunung
Gede Pangrango. Pelatih saya adalah I Yudhi Sunarto dan terakhir,
Ramdhansyah (pernah jadi Ketua Bawaslu DKI Jakarta).

Sebanyak itu saya aktif di organisasi, saya hampir tak mengenali Andrinof.
Saya tahu, ada pimpinan mahasiswa dari berbagai fakultas yang berasal dari
Ranah Minang. Tapi Andrinof? Jarang bertemu. Saya hanya sesekali membaca
tulisannya dalam jurnal yang diterbitkan oleh mahasiswa FISIP UI.

Yang paling saya kenal di FISIP UI bukan Andrinof, melainkan Eep Saefullah
Fatah, almarhum Syamsul Hadi, Eko Sulistio, Andi Rahman atau Robertus
Robert, dan Budi Arie Setiadi. Juga aktivis KSM UI Eka Prasetya yang
berasal dari FISIP UI, seperti Sad Dian Utomo dan Sulistio. Belakangan,
saya akrab dengan Subuh Prabowo yang sampai sekarang setia mendampingi
Fadli Zon. Subuh jadi Sekretaris Umum saya dalam kegiatan Simposium
Nasional Angkatan Muda 1990-an: Menjawab Tantangan Abad 21. Saya menjadi
Ketua OC, dengan wakil Indra Kusuma dari FHUI.

Namun, mayoritas aktivis mahasiswa UI mengenal mentor saya dari FISIP UI,
Bagus Hendraning yang kini menjadi diplomat. Di luar itu, sejak aktif
sebagai bagian dari ikhwan kampus di UI, saya mengenal ikhwan-ikhwan asal
FISIP UI, seperti Komaruddin.

***

Nama Andrinof saya kenal lewat tulisan di Harian Republika. Saya menjadi
akrab dengannya, ketika saya masuk menjadi peneliti Centre for Strategic
and International Studies (CSIS). Waktu itu, Andrinof bekerja di the
Habibie Center. Kisah hubungan baik kami terjadi ketika saya diminta untuk
“menguliti” buku Gagalnya Pembangunan karangan Andrinof. Heran, dua lembaga
yang dianggap berseberangan, yakni the Habibie Center dan CSIS, justru
berakrab-akrab di depan kamera.

Ya, momentum kedekatan saya dengan Andrinof adalah ketika launching buku
Gagalnya Pembangunan itu di Hotel Four Seasons, Jakarta. Andrinof memanggil
saya sebagai salah satu dari sedikit orang yang menerima buku di depan para
undangan. Sejak itu, saya dan Andrinof menjadi kakak-adik.

Buku Andrinof ternyata dibaca banyak pihak. Tak disangka, kami dihubungi
oleh ex Dirut PT Timah TBK Erry Riyana Hardjapamengkas untuk menulis soal
konflik tambang timah inkonvensional (illegal) di Bangka Belitung. Kami
terbang kesana, melakukan penelitian. Walau tanpa dana yang cukup, kami
bekerja keras menyelesaikan laporan. Sayang, sampai hari ini, buku hasil
penelitian itu tak kunjung terbit.

Hubungan baik dengan Erry Riyana itulah yang membawanya hadir dalam resepsi
pernikahan saya di sebelah gedung Balai Kartini. Erry membaca sambutan