Re: [GELORA45] RR vs JK: Masalah Radikal Filsafat Ekonomi?

2020-11-13 Terurut Topik kh djie dji...@gmail.com [GELORA45]
Ya, hebatnya Chaebol Korea Selatan tidak jadi cebol dan Keiretsu Jepang
tidak jadi digeret asu...

Op za 14 nov. 2020 om 01:10 schreef Chan CT :

> RR vs JK: Masalah Radikal Filsafat Ekonomi?
> *R53 * *- Friday, November
> 13, 2020 22:00*
>
> https://www.pinterpolitik.com/rr-vs-jk-masalah-radikal-filsafat-ekonomi
> *Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (kiri) dan mantan Menteri Koordinator
> Bidang Kemaritiman Rizal Ramli (kanan) (foto: Republika)*
>
> *8 min read*
> *Baru-baru ini Rizal Ramli (RR) kembali memberikan kritik terhadap Jusuf
> Kalla (JK). Tegasnya, JK telah memanfaatkan posisinya sebagai Wakil
> Presiden untuk meningkatkan drastis kekayaan Kalla Group. Di luar analisis
> terkait persoalan oligarki, tampaknya kasus JK telah mengangkat perdebatan
> dalam filsafat ekonomi. Apakah itu?*
> --
>
> *PinterPolitik.com* 
>
> Peperangan oral antara Rizal Ramli (RR) dan Jusuf Kalla (JK) terus
> berlanjut. Terbaru, disinyalir untuk menanggapi pernyataan JK ketika
> diwawancarai Karni Ilyas, RR menggunakan *istilah*
> 
>  Peng-Peng alias Penguasa-cum-Pengusaha untuk mengkritik JK.
>
> Tegas RR, JK telah menggunakan posisinya sebagai Wakil Presiden (Wapres)
> untuk memperkaya Kalla Group – grup bisnis yang dipimpinnya. Mantan Menko
> Maritim tersebut misalnya mencontohkan kenaikan drastis kekayaan Kalla
> Group setelah JK menjadi Wapres.
>
> Pada 2011 Kalla Group memiliki kekayaan US$ 150 juta, menempati posisi 107
> di Indonesia. Namun pada 2016, atau setelah dua tahun menjadi Wapres,
> kekayaan Kalla Group meningkat drastis menjadi US$ 740 juta dan menempati
> posisi 49 terkaya di Indonesia.
>
> Melihat datanya, kekayaan JK memang melesat jauh setelah menjadi Wapres.
> Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) ketika JK maju
> bersama Joko Widodo (Jokowi) pada 2014, pebisnis asal Makassar ini
> melaporkan kekayaan *sebesar*
> 
>  Rp 314,5 miliar. Pada jumlah kekayaan 2018 yang dilaporkan ke Komisi
> Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Maret 2019, kekayaan JK melesat jauh,
> besarnya *sampai*
> 
>  Rp 900,8 miliar.
>
> Lebih menarik lagi, RR mengungkapkan alasan mengapa Susilo Bambang
> Yudhoyono (SBY) tidak menunjuk kembali JK sebagai pasangannya di Pilpres
> 2009. Menurutnya, Ring 1 SBY kesal dengan JK karena kekayaannya tiba-tiba
> melesat setelah menjadi Wapres. Lagi-lagi, data menunjukkan pembenaran.
> Pada 2004 ketika maju mendampingi SBY, kekayaan JK dilaporkan *sebesar*
> 
>  Rp 122,6 miliar. Kemudian pada 2009 ketika maju sebagai calon presiden,
> kekayaannya meningkat drastis *menjadi*
> 
>  Rp 300 miliar.
>
> Melihat data yang ada, terlihat jelas JK tidak mengalami kenaikan kekayaan
> yang signifikan ketika tidak menjadi Wapres. Pada 2009 sampai 2014,
> kenaikan kekayaannya hanya sekitar Rp 14 miliar. Suka atau tidak, data
> tersebut menjadi pembenaran yang kuat atas pernyataan RR yang menyebut JK
> menggunakan posisinya sebagai RI-2 untuk meraup kekayaan.
>
> Lantas, apa yang dapat dimaknai dari kasus JK ini?
> [image: 圖片]
> *Negara dan Konglomerasi*
>
> Endy M. Bayuni dalam *tulisannya*
> 
>  *When Business and Government Mix Too Well in Indonesia* memberikan
> penjelasan menarik yang mungkin membantu kita untuk lebih memahami kasus
> JK. Menurutnya, alih-alih memperbaiki konglomerasi yang terjadi di bawah
> pemerintahan Soeharto, di era reformasi saat ini, pertalian antara pebisnis
> dan pejabat pemerintahan justru lebih masif terjadi, bahkan menjadi
> realitas yang tidak terbantahkan.
>
> Jika pada Orde Baru Soeharto dengan kewenangannya memperkaya taipan
> tertentu yang dipilihnya, seperti Sudono Salim pendiri dari Salim Group.
> Saat ini, konglomerasi taipan atau pengusaha justru terjadi di mana-mana
> karena pencampuran bisnis dengan politik telah menjadi fakta kehidupan
> dalam demokrasi Indonesia.
>
> Dengan kata lain, reformasi yang terjadi tampaknya tidak mengubah
> konglomerasi yang menjadi salah satu kritik terhadap rezim Soeharto. Mental
> yang ada, yakni menggunakan politik untuk memperkaya diri tetap terjadi.
> Apalagi, dengan tidak adanya sosok kuat seperti Soeharto, tidak terdapat
> kontrol kuat yang mencegah agar setiap pejabat yang tengah berkuasa tidak
> memanfaatkan kekuasaannya untuk 

[GELORA45] RR vs JK: Masalah Radikal Filsafat Ekonomi?

2020-11-13 Terurut Topik 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]
RR vs JK: Masalah Radikal Filsafat Ekonomi?R53 - Friday, November 13, 2020 22:00
https://www.pinterpolitik.com/rr-vs-jk-masalah-radikal-filsafat-ekonomi
 
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (kiri) dan mantan Menteri Koordinator Bidang 
Kemaritiman Rizal Ramli (kanan) (foto: Republika)
8 min read

Baru-baru ini Rizal Ramli (RR) kembali memberikan kritik terhadap Jusuf Kalla 
(JK). Tegasnya, JK telah memanfaatkan posisinya sebagai Wakil Presiden untuk 
meningkatkan drastis kekayaan Kalla Group. Di luar analisis terkait persoalan 
oligarki, tampaknya kasus JK telah mengangkat perdebatan dalam filsafat 
ekonomi. Apakah itu?



PinterPolitik.com

Peperangan oral antara Rizal Ramli (RR) dan Jusuf Kalla (JK) terus berlanjut. 
Terbaru, disinyalir untuk menanggapi pernyataan JK ketika diwawancarai Karni 
Ilyas, RR menggunakan istilah Peng-Peng alias Penguasa-cum-Pengusaha untuk 
mengkritik JK.

Tegas RR, JK telah menggunakan posisinya sebagai Wakil Presiden (Wapres) untuk 
memperkaya Kalla Group – grup bisnis yang dipimpinnya. Mantan Menko Maritim 
tersebut misalnya mencontohkan kenaikan drastis kekayaan Kalla Group setelah JK 
menjadi Wapres.

Pada 2011 Kalla Group memiliki kekayaan US$ 150 juta, menempati posisi 107 di 
Indonesia. Namun pada 2016, atau setelah dua tahun menjadi Wapres, kekayaan 
Kalla Group meningkat drastis menjadi US$ 740 juta dan menempati posisi 49 
terkaya di Indonesia.

Melihat datanya, kekayaan JK memang melesat jauh setelah menjadi Wapres. 
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) ketika JK maju 
bersama Joko Widodo (Jokowi) pada 2014, pebisnis asal Makassar ini melaporkan 
kekayaan sebesar Rp 314,5 miliar. Pada jumlah kekayaan 2018 yang dilaporkan ke 
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Maret 2019, kekayaan JK melesat jauh, 
besarnya sampai Rp 900,8 miliar.

Lebih menarik lagi, RR mengungkapkan alasan mengapa Susilo Bambang Yudhoyono 
(SBY) tidak menunjuk kembali JK sebagai pasangannya di Pilpres 2009. 
Menurutnya, Ring 1 SBY kesal dengan JK karena kekayaannya tiba-tiba melesat 
setelah menjadi Wapres. Lagi-lagi, data menunjukkan pembenaran. Pada 2004 
ketika maju mendampingi SBY, kekayaan JK dilaporkan sebesar Rp 122,6 miliar. 
Kemudian pada 2009 ketika maju sebagai calon presiden, kekayaannya meningkat 
drastis menjadi Rp 300 miliar.

Melihat data yang ada, terlihat jelas JK tidak mengalami kenaikan kekayaan yang 
signifikan ketika tidak menjadi Wapres. Pada 2009 sampai 2014, kenaikan 
kekayaannya hanya sekitar Rp 14 miliar. Suka atau tidak, data tersebut menjadi 
pembenaran yang kuat atas pernyataan RR yang menyebut JK menggunakan posisinya 
sebagai RI-2 untuk meraup kekayaan.

Lantas, apa yang dapat dimaknai dari kasus JK ini?


Negara dan Konglomerasi
Endy M. Bayuni dalam tulisannya When Business and Government Mix Too Well in 
Indonesia memberikan penjelasan menarik yang mungkin membantu kita untuk lebih 
memahami kasus JK. Menurutnya, alih-alih memperbaiki konglomerasi yang terjadi 
di bawah pemerintahan Soeharto, di era reformasi saat ini, pertalian antara 
pebisnis dan pejabat pemerintahan justru lebih masif terjadi, bahkan menjadi 
realitas yang tidak terbantahkan.

Jika pada Orde Baru Soeharto dengan kewenangannya memperkaya taipan tertentu 
yang dipilihnya, seperti Sudono Salim pendiri dari Salim Group. Saat ini, 
konglomerasi taipan atau pengusaha justru terjadi di mana-mana karena 
pencampuran bisnis dengan politik telah menjadi fakta kehidupan dalam demokrasi 
Indonesia.

Dengan kata lain, reformasi yang terjadi tampaknya tidak mengubah konglomerasi 
yang menjadi salah satu kritik terhadap rezim Soeharto. Mental yang ada, yakni 
menggunakan politik untuk memperkaya diri tetap terjadi. Apalagi, dengan tidak 
adanya sosok kuat seperti Soeharto, tidak terdapat kontrol kuat yang mencegah 
agar setiap pejabat yang tengah berkuasa tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk 
memperkaya diri.

Melihat apa yang terjadi di negara lain, seperti Korea Selatan (Korsel), 
strategi konglomerasi yang dilakukan Soeharto sebenarnya memiliki pembenaran. 
Eleanor Albert dalam tulisannya South Korea’s Chaebol Challenge menjelaskan 
sejak tahun 1960-an pemerintah Korsel telah melakukan konglomerasi dengan 
memperbesar family bisnis yang disebut Chaebol.

Dalam rangka membantu mengembangkan Chaebol, pemerintah Korsel memberikan 
berbagai subsidi, pinjaman, hingga insentif pajak karena Chaebol tersebut 
dijadikan pilar pertumbuhan ekonomi negeri Ginseng. Samsung yang didirikan pada 
tahun 1938 adalah salah satu Chaebol paling besar dan menguntungkan saat ini. 
Awalnya, Samsung adalah perusahaan kecil yang melakukan ekspor berbagai barang, 
seperti buah-buahan, ikan, dan mi instan. Namun sekarang, dengan bantuan 
pemerintah, Samsung telah menjadi salah satu ikon Korsel yang paling dikenal 
dunia.

Jika Korsel memiliki Chaebol, maka Jepang memiliki Keiretsu. Brian Twomey dalam 
tulisannya Understanding