[zamanku] Konser Diam-diam Efek Rumah Kaca

2009-07-20 Terurut Topik Anwar Holid

Konser Diam-diam Efek Rumah Kaca 
---Anwar Holid


Band Efek Rumah Kaca (ERK) manggung tanpa disertai publisitas di Rumah Buku, 
Bandung. Main secara akustik, membawakan lagu-lagu dari dua album mereka, 
diselingi kejutan menyanyikan beberapa cover version, dalam konser yang 
berlangsung intim dan dirancang bagus.

BANDUNG - Masih dalam suasana agak murung karena kemarin Shanti panas demam dan 
kondisi finansial masih melarat, aku sekeluarga datang ke Rumah Buku untuk 
nonton band Efek Rumah Kaca pada Sabtu, 6 Juni 2009. Seminggu lalu tersiar 
kabar dari mulut ke mulut bahwa band indie yang lagi hip ini akan manggung di 
tempat yang asri ini. Tapi jangan bilang-bilang orang lain ya, soalnya mereka 
ingin bikin kejutan kayak konser rahasia, gitu, kata orang waktu aku terakhir 
ke sana untuk pinjam buku The Book of Disquiet (Fernando Pessoa).

Tubuh Shanti sudah normal sejak pagi tadi, dan keceriaannya juga pulih. Itu 
membuat kami berani membawanya. Rumah Buku sudah lebih ramai dari biasanya 
waktu kami datang. Teras belakang mereka sedang disetting menjadi ruang 
keluarga untuk persiapan main Efek Rumah Kaca. Fenfen dan Ilalang 
kangen-kangenan dengan menyapa orang-orang yang mereka kenal. Rani dan Budi 
dari Rumah Buku menyambut dengan ramah dan lucu-lucuan. Dalam suasana seperti 
itu, kesenangan menghampiri dan aku merasa mudah penuh terisi oleh kelegaan.

Maaf ya, mulai mainnya jadi jam setengah lima. Soalnya kita ingin dapat 
suasana sore yang bagus, entah kata Rani atau Budi yang bilang waktu jam sudah 
menunjukkan pukul 15.30, jadwal mereka manggung. Wah, makin malam kami pulang, 
makin kuatir kami pada kondisi Shanti. Orang demam bisa balik panas lagi kalau 
belum-belum pulih. Bandung hari itu panas, meski sempat turun gerimis sebentar. 
Menjelang konser cuaca cerah sekali.

Yang datang ternyata cukup banyak juga ya. Tadinya kami khawatir nggak akan 
ada yang datang karena sok-sok bikin konser diam-diam, gitu, kata Cholil 
menyapa penonton yang pada duduk memenuhi taman beralaskan koran dan berbekal 
losion antinyamuk. Konser tanpa pemberitahuan ini mengingatkan aku pada Heima, 
film karya grup Sigur Ros tentang mudik mereka di Islandia setelah sekitar 
setahunan tur keliling dunia. Film kebanyakan berisi scene alam terbuka dan 
suasana lingkungan yang dramatik.

Aku baru pertama kali ini lihat Efek Rumah Kaca. Sound gaya unplugged mereka 
menurutku keren. Cholil memainkan gitar akustik yang setting suaranya 
mengeluarkan bunyi begitu kuat dan penuh, hingga melodi-melodi yang tinggi dan 
nyaring dari album mereka tersalin dengan sempurna. Adrian main bass dengan 
kalem, mengiringi sebagai backing vokal. Akbar menurutku tampak sangat santai 
dan paling enak dilihat. Gerakan tubuhnya di tengah set drum terlihat ritmik, 
sambil tangan dan kakinya bekerja. Hentakan drumnya asyik; tidak terdengar 
sebagai pukulan drum nada pop, tetapi malah seperti dalam band jazz atau 
progresif rock. 

Pilihan nada mereka mengingatkan aku pada grup seperti Pink Floyd dan Coldplay. 
Secara musikalitas, gaya akustik ini terdengar mirip dengan pilihan Damien 
Rice. Gitar dan bass dibuat seakan-akan bergema, iringan pukulan drum atraktik, 
jadi meskipun mereka trio, musiknya penuh. Tak ada ruang kosong yang terdengar 
karena mereka sedikitan. Lagu-lagu mereka yang kurang akrab bagi telinga yang 
tiap hari mendengar nada pop juga menguatkan mitos pada grup ini. 

Efek Rumah Kaca bilang bahwa mereka grup pop, tapi pilihan nada, aksi, juga 
pernyataan mereka justru bertentangan sebagai band pop yang haus publisitas 
atau menciptakan lagu yang mudah didengar. Mungkin mereka mau memudahkan. 
Mereka tidak menyiratkan sebagai band pop. Langkah mereka tidak populer; aku 
pernah lihat foto mereka bertiga mengenakan t-shirt bertuliskan: Pasar Bisa 
Diciptakan. Menurutku mereka grup alternatif atau postrock. Banyak orang bilang 
grup ini politis, seperti terbukti dari beberapa lagunya. Mereka juga justru 
mengkritik budaya pop dan konsumerisme. Mau mengubah dari dalam? 

Mungkin itu yang membuat lagu-lagu mereka agak susah dihafal. Aku beberapa 
bulan ini dengar album ke dua mereka, Kamar Gelap, dengan hanya mudah ingat 
Mosi Tidak Percaya (lagu yang sangat politis), Kenakalan Remaja di Era 
Informatika (singel dari album ini), dan Laki-laki Pemalu. Dari album pertama, 
yang teringat mudah ialah Cinta Melulu, Terus Belanja Sampai Mati, dan tentu 
saja lagu yang membuat mereka bisa memikat banyak orang: Di Udara---sebuah lagu 
yang konon tentang Munir, karena memang didedikasikan buat dia.

Sore itu Efek Rumah Kaca main dua sesi. Sesi pertama berlangsung sampai 
menjelang magrib. Aku ikut berdendang tapi terkadang lupa judulnya. Sesi kedua 
Cholil main dengan mengenakan sweater, mungkin kedinginan oleh hawa yang mulai 
dingin. Dia mula-mula menyanyikan dua cover sendirian, lantas memanggil Adrian 
dan Akbar untuk memainkan Hallelujah dari versi Jeff Buckley. Ini mungkin 
kejutan buat para pengunjung. Adrian juga nyanyi Laki-laki 

[zamanku] Pancasila - Dongeng mengharukan

2009-07-20 Terurut Topik Reporter Milist
*Pancasila - Dongeng mengharukan*

Selasa, 2 Juni 2009

Sering kita lupa bahwa tanggal 1 Juni adalah hari lahir Pancasila dasar
Negara kita yang saat ini menapaki usia ke – 64 th, – apalagi saat ini kita
tengah berada di pusaran hiruk pikuknya – aneka kepentingan, kampanye
kekuatan menuju kekuasaan – maka keberadaan nilai luhur Pancasila menjadi
nomor ke sekian, alias nomor buncit… bahkan terlupakan – itu bagi yang tua,
saya tidak tahu bagaimana untuk para pemuda, remaja dan generasi muda
Indonesia di berbagai pelosok penjuru tanah air.

Maka saat ini kita bangga ada beberapa bahkan tidak sedikit anak-anak bangsa
yang merasa terpanggil untuk memenuhi tugas pengabdian bagi kelangsungan dan
kelestarian bangsa Indonesia. Maka nilai-nilai dasar Negara menjadi penting
untuk di gelorakan dan di *eksplore*/digali lebih mendalam lagi.

Seperti disampaikan oleh *Yurnaldi *di harian Kompas, seusai menonton
tampilnya para *seniman sadar kebangsaan* – atau *para seniman
negarawan*sebagai berikut:

*“…/Tanah kami tanah kaya/*

*laut kami laut kaya/*

*Kami tidur di atas emas/*

*Berenang di atas minyak/*

*Tetapi bukan kami punya”*

(Nyayian “Suara dari kemiskinan” ciptaan Franky Sahilatua)

Nyanyian Franky itu mengantar Garin Nugroho “Mendongeng untuk Bangsa” di
Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Senin 1/6 malam. “sebuah dongeng gabungan
atara visi, pengalaman, emosi, empati, dan cara berpihak terhadap masalah
masyarakat” ujar Garin.

Dongeng tentang kemiskinan yang dikisahkan oleh Garin membuat bulu kuduk
berdiri. Sebelumnya Garin sempat bercerita bahwa di tengah hingar bingar
politik saat ini, kita justru kehilangan *civic forum* dan cara menyampaikan
nilai bangsa, yaitu Pancasila.

Maka, dongeng Pancasila sebagai sebagai salah satu seri Dongeng Bangsa
adalah cara menumbuhkan nilai *civic forum*, justru ketika masyarakat
politik terkikis oleh politik uang, citra, konsumerisme dan kekuasaan itu
sendiri. Masyarakat yang tak cukup respek pada nilai dasar seperti Pancasila
karena hanya dianggap dongeng.

*Mengharukan*

Kolabirasi Garin dan Franky menyampaikan dongeng tidak saja mengharukan,
tetapi juga “mencubit” siapa saja dengan pedih dan dalam.

Franky dengan syair-syair lagunya yang sarat dengan tema sosial
kemasyarakatan, yang saat ini kerap dimainkan di panggung-oanggung musik
nonkomersial, dipadu dongeng-dongeng lokal dan global Garin yang sarat
kritik pedas setelah berkaca pada realitas negeri ini.

Saat menggambarkan masyarakat Papua, diceritakan peristiwa 15 tahun lalu
ketika masyarakat Papua dengan mudah memanfaatkan alam. Ada seorang pemuda
yang setiap Senin mengambil biji kemiri. Selasa menangkap ikan di sungai.
Rabu, kamis, dan hari-hari selanjutnya diisi dengan aktifitas yang berbeda.

Kini, aktivistas tersebut tak bisa dilaksanakan lagi seiring dengan
hancurnya alam Papua. Sumber daya alam Papua di eksploitasi dan tidak
membawa manfaat apa-apa buat masyarakat Papua. Namun, masyarakat Papua yang
tidak ikut merusak alam malah dipinggirkan dan dianggap tidak bisa mengikuti
perkembangan zaman…

Begitu juga ketika Garin berkisah soal Nusa Tenggara. Franky membawakan lagu
“Ika No’o Nio”, cerita soal ikan dan kelapa. Garin bercerita soal upacara
adat untuk berterima kasih kepada orangtuanya. Di hadapan masyarakat, anak
yang sudah jauh merantau dan berhasil mengucapkan terima kasih kepada kedua
orang tuanya.

Garin menceritakan, ada empat anak yang telah berhasil meraih gelar sarjana
di perguruan tinggi terkemuka di Pulau Jawa berkat perjuangan dan kerja
keras orangtuanya. Ibu bapaknya mengutang beras, pinjam garam, dan pinjam
uang untuk biaya sekolah anak-anaknya.

Ketika sudah berhasil dan kembali ke desa untuk mengikuti upacara adat
terima kasih, banyak anak yang sangat bangga pada perjuangan orangtuanya.
Mereka bersyukur dan berterima kasih akan jerih payah orangtuanya. Namun,
tradisi berterima kasih ini tidak dilakukan para elite politik…

Seusai dongeng dari timur, Garin juga mendongeng soal pertumbuhan ekonomi;
sepotong buah apel dari Malang. Kisah betapa produk impor membanjiri negeri
ini. “Kita adalah makelar-makelar dari perampok kehidupan untuk diri kita.
Kita budak dari Paman Sam,” ujarnya.

*Mengalahkan Amerika*

Setelah sesi pertama, pengamat politik Sukardi Rinakit menyampaikan cerita
global, tentang cita-cita anak China dan India. Sejak kecil mereka sudah
disosialisasikan, bukan indoktrinasi, bagaimana tahun 2020 mengalahkan
Amerika Serikat.

“Ketika anak kelas VI SD di China ditanya apa cita-citanya, mereka menjawab
mengalahkan Amerika. Menguasai* hardware *mengalahkan Amerika,” ujarnya.

Sementara budayawan Radhar Panca dahana berkisah bagaimana bangsa ini diisi
keragaman 460 suku dan 750 bahasa. “Bisa bersatu karena kemampuan berbagai,”
 ungkapnya.

Menurut Radhar bangsa ini harus menemukan diri lewat dongeng. Dongeng
Pancasila.

Setelah sesi Sukardi dan Radhar, Garin kembali mendongeng. Ketika lagu “40”
mengalun, Garin mendongeng tentang Mussolini.

“Kita hidup di negeri penuh tapi… Tak memiliki 

[zamanku] Masih Relevankah Ajaran SSJ - Achmad Chodjim-Seri 1/4

2009-07-20 Terurut Topik Verri DJ

Assalamualaikum WW,
Salam sejahtera kami ucapkan kepada sahabat semua, rekan seperjalanan...

Sahabat arif billah,

Berikut ini akan saya kirimkan hasil Silaturahim Persaudaraaan Universal , 
yang juga dihadiri rekan-rekan dari Spiritual Indonesia, Gantharwa dan 
Berkas Cahaya Kesadaran (BCK), dan beberapa praktisi spiritual dari 
masyarakat setempat, yang diadakan di kediaman Ustadz Achmad Chodjim (21/5) 
kemarin...


Tulisan yang saya hidangkan sebagai santapan rohani ini sudah mendapat 
persetujuan sang penulis untuk saya kirimkan kepada sahabat semua. Semoga 
berkenan, dan tulisannya menjadikan sebagai amal untuk pencerahan kita bersama.


Salam,
Ferry Djajaprana


MASIH RELEVANKAH AJARAN
SYEKH SITI JENAR DEWASA INI?
Oleh: Ir. Achmad Chodjim, MM*
Seri 1 dari 4


Tema seminar/sarasehan budaya hari ini adalah agama ageming aji, yaitu 
agama sebagai nilai-nilai luhur yang menjadi landasan hidup bangsa 
Indonesia, sesuai dengan sila pertama pada Pancasila, Ketuhanan Yang Maha 
Esa. Agama dalam bingkai ageming aji bukanlah agama dalam arti golongan 
atau agama sebagai organisasi (organized religion), tetapi agama sebagai 
basis moralitas dan perilaku manusia. Agama dalam arti ini pernah menjadi 
polemik dan perang wacana di Kepulauan Nusantara –karena Indonesia belum 
lahir– dan tepatnya di P. Jawa pada pertengahan abad ke-15 hingga 
pertengahan abad ke-16.
Tokoh sentral dalam polemik dan perang wacana pada masa itu adalah Syekh 
Siti Jenar atau dikenal dengan nama Syekh Lemah Abang. Dia seorang guru dan 
pelaku spiritual yang mengajarkan agama sebagai jalan hidup dan bukan 
sebagai kepercayaan. Meskipun Syekh seorang muslim, tetapi ajarannya 
menarik berbagai pemeluk agama dan kepercayaan yang ada waktu itu. Mereka 
yang belajar dan menjadi murid Syekh berasal dari berbagai kalangan, baik 
kalangan elite –yaitu para adipati– maupun rakyat biasa. Mereka berasal 
dari pemeluk Hindu, Biddha, Syiwa-Buddha, Islam, dan pemeluk kepercayaan 
yang berkembang di Jawa waktu itu.
Apa yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar sehingga daya tarik ajarannya luar 
biasa dan menyebabkan penguasa Kesultanan Demak Bintara kegerahan waktu 
itu? Yang diajarkan sebenarnya bukanlah hal yang asing bagi mereka yang 
hidup di Kep. Nusantara waktu itu. Yang diajarkan adalah paham MKG 
(Manunggaling Kawula Gusti), yaitu satunya hamba dengan Tuhan. Paham ini 
sudah ada di agama Hindu dan Buddha yang sebelum berdirinya Kesultanan 
Demak, dipeluk oleh mayoritas penduduk Nusantara. Paham ini diikuti oleh 
kalangan sufi dalam agama Islam. Bahkan, mereka yang dikenal sebagai 
anggota Walisanga juga berpaham MKG. Padahal, berdasarkan sejarah Walisanga 
yang bergelar sunan itu adalah pendukung dan penasehat Sultan Demak di 
zaman itu.
Meskipun Walisanga dan Syekh Siti Jenar sepaham, tetapi pada tataran 
implementasinya dalam kehidupan berbeda. Bagi Siti Jenar, MKG merupakan 
landasan, jalan dan alat untuk menjadikan manusia merdeka sejati. MKG 
menggerakkan manusia untuk menjadi dirinya sendiri, menjadikan manusia yang 
memiliki kepribadian. Inilah inti dari MKG yang diajarkan oleh Syekh Siti 
Jenar. Tentu pikiran semacam ini melompat terlalu jauh ke depan pada 
zamannya. Jangankan pada masa 500 tahun yang lalu, dewasa ini saja sebagian 
besar orang tidak hidup sebagai pribadi, tetapi hidup berdasarkan pikiran 
orang lain.i Sedangkan MKG yang diajarkan oleh Walisanga lebih bersifat 
teoritis, dan tidak memberikan implikasi nyata dalam kehidupan masyarakat.
Ajaran MKG Siti Jenar mendobrak feodalisme yang tumbuh subur pada masa itu, 
sedangkan Walisanga justru melanggengkan sistem feodalisme. Syekh 
membangkitkan kesetaraan antara kawula (rakyat) dengan rajanya (Gusti). 
Walisanga melestarkan sistem rakyat menyembah raja. Syekh membebaskan orang 
dari belenggu ketakhayulan dan pikiran picik, sedangkan Walisanga malah 
menjadikan agama dan kepercayaan sebagai alat kekuasaan.
Puncak pertarungan paham berakhir ketika Sultan Patah memerintahkan 
Walisanga untuk menghentikan kegiatan mengajar Syekh dan pengikutnya 
dihancurkan. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, kata 
peribahasa. Ajaran Syekh Siti Jenar dipadamkan –meski demikian, ajaran SSJ 
tetap berjalan dan disampaikan secara sembunyi-sembunyi. Rakyat patuh 
kepada raja secara pasif, sedangkan kalangan elite berebut kekuasaan. 
Akibatnya, umur kerajaan tak ada yang panjang, Demak jatuh disusul dengan 
berdirinya Pajang, dan dalam satu generasi saja Pajang hilang dan muncul 
Mataram.
Karena rakyat bodoh dan elite kerajaan berebut kekuasaan, maka Mataram 
hanya dalam kurun waktu 50 tahun berdiri sudah goyah karena adanya 
infiltrasi VOC, yang akhirnya Mataram menjadi negara taklukan VOC. Hal ini 
saya sampaikan dalam seminar/sarasehan ini agar dapat menjadi pelajaran 
bagi bangsa Indonesia. Dengan memperhatikan kembali ajaran Syekh Siti Jenar 
kita akan dididik untuk menjadi manusia merdeka, sehingga siap untuk 
menahan gangguan dan ancaman asing agar bangsa 

[zamanku] The Age: The hunt for 'God's particle'

2009-07-20 Terurut Topik Jusfiq Hadjar
 
  Print this article |   Close this window 
The hunt for 'God's particle'
James Randerson, Guardian 
June 2, 2008 
Advertisement
A huge atom-smasher is set to unlock the secret of the origin of the universe.
IT IS one of the most puzzling pieces in physicists' understanding of the 
universe - the Higgs bosun, the so-called missing piece. But the scientist 
behind the so-called God particle believes the confirmation of his prediction 
is imminent.
Peter Higgs, emeritus professor of physics at the University of Edinburgh, says 
he is 90% confident that an atom-smashing machine nearing completion in 
Switzerland will prove that the particle exists.
The professor is hoping this will happen before his 80th birthday in May next 
year. If that mass prediction is right, it will be in the data very quickly, 
he says. But there's a lot of analysis of the data to be done before you 
announce it, and that's what takes the time.
Many physicists believe the confirmation could win Higgs a Nobel prize, along 
with two other physicists who have made significant advances in the same field.
The big hope for finding the Higgs boson - the particle that confers mass on 
the rest of matter - is the Large Hadron Collider (LHC) at CERN in Switzerland, 
a particle physics laboratory.
By crunching together particles at high speed and energy, the machine is 
designed to recreate conditions that have not existed since just after the Big 
Bang. This is a Genesis machine, theoretical physicist Professor Michio Kaku 
of City University in New York, says. This machine will help us to unlock the 
secret of the origin of the universe.
Finding the Higgs boson would add significantly to physicists' understanding of 
how matter is put together, the so-called standard model. But Higgs says the 
LHC is about much more than just the God particle (not his phrase, and one 
which he says embarrasses him). The Higgs boson discovery is only one part of 
the program. There is vastly more for the machine to do.
The collider consists of two concentric underground rings, 27kilometres in 
circumference spanning the border between France and Switzerland. Using 
powerful superconducting magnets, it will accelerate packets of particles to 
within a whisker of the speed of light. When these collide head-on they 
generate enough energy to rip matter apart. By collecting the subatomic 
shrapnel, the physicists can infer what that matter was composed of.
Engineers will seal off the particle accelerator and cool it to -271.3degrees - 
the low temperature is required for the powerful magnets to work. They hope to 
switch on the first beam in a few weeks and the first collisions should happen 
by the end of the year. It will probably be 12 months before the LHC is at full 
power.
That subatomic fireball will actually reproduce the conditions that would have 
existed about a millionth of a second after the Big Bang, says Dr David Evans, 
of the University of Birmingham, England, who is working on one of the 
experiments.
GUARDIAN
This story was found at: 
http://www.theage.com.au/articles/2008/05/30/1211654321623.html
 ---
Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo


Allah yang disembah orang Islam tipikal dan yang digambarkan oleh al-Mushaf itu 
dungu, buas, kejam, keji, ganas, zalim lagi biadab hanyalah Allah fiktif.



  

[zamanku] Tuhan dan Berhala

2009-07-20 Terurut Topik Made Bali
Anda masih ingat barangkali pepatah Tong Kosong Nyaring Bunyinya.
Tong yang kosong setelah diisi air bunyinya tidak nyaring lagi ketika dipukul.
Kita dapat bandingkan, tong yang kosong itu berhala sedangkan tong yang berisi 
itu Tuhan.
Para penyembah berhala sibuk membunyikan tong kosong, ributnya setengah mati, 
pagi-pagi mereka sudah berteriak-teriak Awloh hu akbar. Siang sedikit dia tanya 
kepada anaknya, Kamu sudah sholat belum, sore dia tanya kepada temannya, Eh 
kamu tahu tidak Tuhan itu seperti apa. Dijawab oleh temannya, Tuhan itu. 
Dengan angkuh dibantahnya, Salah, goblok, Tuhan itu Dzat, dan kalau mau lihat 
Tuhan hadapkan mukamu ke Kabah di Arab. 
Mereka sibuk membicarakan Tuhan ke sana ke sini, seperti tong kosong yang 
nyaring bunyinya karena yang mereka sembah hanyalah berhala. Di kepala mereka, 
manusia yang tidak sempurna (pemimpin perang, melakukan pelecehan 
seksual)disempurnakan dalam batok kepala mereka menjadi orang paling sempurna 
seperti Tuhan, dari rongsokan disulap dalam batok kepala mereka menjadi Tuhan, 
itulah berhala.
Tapi orang yang mengerti Tuhan tidak pernah menanyakan kepada sesamanya, 
Apakah kamu sudah sembahyang? Karena dia tahu Mbak bahwa Tuhan tidak minta 
disembah. Mereka tidak pernah menanyakan Tuhan seperti apa, karena mereka tahu 
Tuhan itu Maha Besar sehingga tidak bisa diuraikan dengan kata-kata. Namun 
untuk memudahkannya memahami Tuhan, dari yang sempurna mereka buat yang 
sederhana,
dari yang Maha Besar mereka buat replika kecilnya. Mereka sadar betul yang 
replika bukan pengganti yang besar. Mereka buat patung lalu diisi dengan 
pemahaman bahwa patung itu bukan pengganti yang sempurna, mereka berkomunikasi 
dengan Tuhan bukan dengan patungnya. Mereka tidak menanyakan kepada sesamanya 
Tuhan itu seperti apa, tetapi mereka melihat apa yang dikerjakan sesamanya. Bos 
yang lagi memimpin rapat untuk kepentingan kesejahteraan seluruh karyawan,
mereka bilang, Bos sedang mewujudkan kehendak Tuhan. Melihat tukang sapu di 
jalan yang melakukan tugasnya dengan baik, mereka bilang orang kecil itu ikut 
menyempurnakan karya Tuhah. Tuhan hadir di dalam diri mereka sehingga mereka 
tidak pernah bertanya kepada sesamanya apa itu Tuhan.
Salam Damai