Precedence: bulk


Denpasar, Indonesia
24 Desember 1998

TOMMY SOEHARTO VERSUS WARGA PECATU (1)
Warga Dijebak Menandatangani Tanah Turun Temurun sebagai Milik Pemerintah

Oleh Rofiqi Hasan
Reporter Crash Program

DENPASAR --- Wayan Rengku sejak enam bulan terakhir ini terkapar tak berdaya
di pembaringan. Ia tak bisa lagi diajak bicara. Yang keluar dari mulutnya
hanyalah rintihan-rintihan kesakitan. "Saya tak bisa membawanya berobat.
Kami hanya tinggal menunggu mati," kata Ni Longger, istrinya.

Nasib rupanya belum berpihak pada pasangan suami-istri akibat penggusuran
yang dilakukan PT Bali Pecatu Graha (BPG), sebuah PT yang 99 persen sahamnya
dimiliki Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto. Penggusuran itu sendiri
dilakukan di desa Pecatu, akhir 1996. Berkat keberanian mereka
mempertaruhkan nyawa dengan menghadang buldoser, sampai kini rumah mereka –
yang diklaim berdiri di atas tanah milik PT Bali Pecatu – belum dirobohkan.

Badai krisis serta angin reformasi membuat tekanan perusahaan itu yang
dilakukan lewat petugas keamanannya maupun aparat yang diperalat, menurun
drastis. "Kami tak pernah lagi dibujuk atau diancam untuk pindah. Mungkin
karena mereka tak lagi punya uang," kata Ni Longger.

Penyerobotan tanah garapan pada akhir 1996 benar-benar telah mematikan
sumber penghidupan pasangan renta ini. Turun temurun, seperti puluhan
pasangan yang pernah hidup diatas tanah itu, mereka adalah petani kebun yang
menggantungkan diri pada hasil tanaman kapuk, jeruk, kopi, dan palawija
ketika musim penghujan tiba, atau dari hasil ternak yang mereka pelihara.
Lalu, ketika tanah itu hilang, mereka pun terkatung-katung tercerai berai
tanpa sumber kehidupan yang pasti.

Bagi mereka, tanah yang dinyatakan sebagai tanah dana bukti oleh Pemda Bali
itu merupakan tanah warisan yang dirawat secara turun temurun. Tak seperti
dinyatakan oleh Pemda dalam persetujuan tukar menukar dengan BPG yang
menyebut tanah di kawasan itu sebagai tanah kurang produktif, tanah itu
sebenarnya telah menjadi ladang hijau, antara lain terbukti oleh
keberhasilan I Ketut Karma dan sejumlah warga memperoleh penghargaan
Kalpataru.

Karena kekurangpahaman para petani, mereka waktu itu langsung saja
menandatanganinya ketika di awal 1990 Pemda menyodorkan surat-surat yang
menyebut bahwa mereka hanyalah petani penggarap tanah Pemda atau tanah dana
bukti itu. Dalam surat persetujuan, "hak garap" antara Pemda dengan petani
itulah terdapat klausul bahwa bila Pemda membutuhkan, sewaktu-waktu para
petani harus bersedia melepaskan tanpa menuntut ganti rugi apa pun.

Celah inilah rupanya yang membuat Pemda dan Bali Pecatu menganggap para
petani tak punya hak apa-apa. Bahkan munculnya Bali Pecatu seolah-olah
menjadi malaikat yang mengulurkan tangan mencuatkan niat memberi hadiah
tanah seluas 200 meter persegi, uang Rp5 juta, dan sawah seluas 1,5 kali
tanah yang pernah digarap yang tersebar di Jembrana, Tabanan, Klungkung,
Karangasem, dan Buleleng. Belakangan, status tanah penukar itu ternyata
belum jelas.

Tapi, ya itu tadi, 34 kepala keluarga menolak menyerahkan tanah mereka.
Teror dan bujukan perusahaan ini pun gagal menggoyahkan tekad mereka untuk
bertahan. Bahkan ketika buldoser mulai menderu-deru membelah bukit dan
mengaduk-aduk tanah Pecatu, mereka justru meminta bantuan hukum kepada
pengacara I Wayan Sudhirta dan kawan-kawan.

Teror paling mengerikan terjadi pada Juni 1996, ketika buldoser mulai
mendekati petak-petak tanah garapan milik para petani yang menolak itu.
Semua yang berdiri di atas tanah diratakan, termasuk sejumlah rumah
penduduk. Atas ancaman itu, mereka sempat membuat pagar-pagar untuk
melindungi lahan garapannya. Tapi, mereka justru dilaporkan ke Kepolisian
Daerah (Polda) Bali dengan tuduhan melakukan perbuatan yang kurang
menyenangkan.

Tak berapa lama laporan itu segera diproses, padahal tujuh laporan dari
pengacara para petani kepada Polda berkaitan dengan teror dan kekerasan
terhadap penduduk sama sekali tak diproses. Begitulah, dua petani pecatu,
yaitu I Made Dana dan I Wayan Rebho, diajukan ke Pengadilan Negeri Denpasar.
Melalui sidang selama sembilan bulan yang dipenuhi teror terhadap tim
pengacara, pada 7 Oktober 1996 diputuskan keduanya bersalah dan sempat
mendekam selama sembilan bulan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan,
Denpasar. "Sampai saat ini saya tak tahu apa kesalahan saya," kata Rebho
yang ditemui, yang kini berprofesi sebagai pengantar turis.

Usai persidangan kasus Pecatu seperti mengendap. Bisa jadi, karena Sudhirta
kemudian harus bersembunyi di luar Bali, setelah menolak panggilan Polda
berkaitan dengan kasus pencemaran nama baik panitera PN Denpasar yang diduga
merupakan bagian dari teror terhadap pengacara Pecatu. Pihak Pecatu pun
dengan leluasa mengolah ratusan hektare tanah yang telah dikuasainya.

Belakangan, 19 November 1998, sekitar 200 petani Pecatu – termasuk yang
telah bersedia pindah – kembali menyuarakan nasibnya. Mereka mengancam akan
merebut kembali tanahnya yang dikuasai Bali Pecatu. Jika perlu dengan
melakukan pendudukan kembali disertai unjuk rasa besar-besaran ke Pemda,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan instansi-instansi terkait
lainnya. Tujuh orang di antaranya bahkan telah memberikan kuasa hukum kepada
pengacara Sudhirta.

Selain karena Soeharto telah lengser, keberanian mereka dipicu pula oleh
kehidupan yang yang teramat sulit. "200 KK di Cenggiling kini terancam
kekurangan pangan," kata I Wayan Sudjana, salah seorang petani. Kini mereka
hidup dalam sebuah penampungan di Banjar Cenggiling tanpa kejelasan status
tanah dan rumah yang kini mereka tempati. Mereka juga tidak pernah mendapat
lahan pertanian yang dijanjikan oleh Bali Pecatu.

(Rofiqi Hasan adalah wartawan NusaTenggara dan peserta Program Beasiswa
untuk Wartawan LP3Y-LPDS-ISAI)

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke