Basa ninggali TV. Jorojoy hayang apal naon radio kai teh.
Ti dinya, kuring bet jadi nulis kieu.

Salam
Tantan


Radio Kayu; sebuah kritik

Melihat tayangan “Kick Andy” minggu ini, saya sangat tertarik dengan
salah satu temuan Singgih S Kartono,  yakni Radio Kayu. Bahkan jika
melihat penciptanya, Radio Kayu ini mencerminkan banyak hal: Spirit,
Keindahan, Pengabdian, dan (tentu saja) ekonomi.
Saya pun mencoba mencari artikel tentang Radio Kayu ini di internet.
Salah satu artikel yang saya baca adalah kompas.  Laman yang saya
temukan adalah:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/14/01031393/singgih.radio.kayu.dan.kehidupan.
Saya pun menelusuri helai-helai kalimat yang disajikan oleh Kompas.
Artikel ini sangat inspiratif. Berikut kutipannya:
“Singgih adalah sosok yang mewakili berkembangnya kesadaran bahwa
batas negara dan daya tarik kota besar makin tak relevan sebagai
determinan berkembangnya industri kerajinan. Internet memungkinkan
Singgih memasuki pasar dunia.”
Akan tetapi ketika memasuki paragraf bawahnya, terdapat kalimat berikut:
“Radio kayu buatan Singgih bermerek Magno lebih banyak diekspor ke
Jepang, Jerman, dan AS. ”Saya kirim 300-400 unit radio ke Jepang
setahun. Pasar di Jerman baru kami tembus. Harga per unit 49-56 dollar
AS, tapi di Jepang dijual 17.500 yen dan di Jerman 160-240 euro. Di
dalam negeri saya jual Rp 1,1 juta-Rp 1,3 juta per unit. Agak mahal,
karena ini benda koleksi yang personal, bukan komoditas,” katanya.”
Ada yang membuat saya tergelitik dari artikel ini, yang kemudian
menghancurkan seluruh kekaguman saya kepada Singgih sang pencipta
Radio Kayu. Mari kita lihat perjelas kata-kata berikut:
Pertama, Singgih menjual Radio Kayu di luar negeri jauh lebih murah
daripada di dalam negeri. Saya tidak mengerti motivasi di baliknya.
Mari kita hitung: Harga Radio Kayu di luar negeri hanya berkisar
antara Rp. 539.000 sampai dengan Rp. 616.000 saja (dengan asumsi
dollar Rp.11.000). Sedang di dalam negeri ia menjualnya 1,1 juta
sampai 1,3 juta per unit. Jadi Singgih menjual barangnya itu setengah
dari harga di pasar lokal.
Kedua, dilihat dari sisi alasan, Singgih mengatakan: “karena ini benda
koleksi personal, bukan komoditas” pada kalimat di atas menandakan
bahwa Singgih tidak atau sangat kurang cinta Indonesia. Bahkan dengan
kalimat itu dan praktik yang dilakukannya, menandaskan bahwa Singgih
tidak termotivasi menjadikan produknya agar dicintai bangsa ini. Sebab
dengan disparitas yang luar biasa ini, Singgih tengah menjebakkan kita
pada suatu kubangan logika lama bahwa jika ingin membeli produk bagus
nan murah, belilah di luar negeri!—seperti yang selama ini sering
dibuktikan para pelancong ke luar negeri.
Ketiga, sejatinya, Singgih sah-sah saja mengkapitalisasi hasil produk
dia guna kepentingan ekonomi bangsa ini. Terlebih lagi produknya
sangat kompetitif. Namun dengan praktiknya seperti ini, Singgih justru
tengah....entah apa sebutannya, ketika ia justru lebih besar
mengkapitalisasi dari bangsa sendiri, di mana pohon-pohon yang
dipergunakan untuk radionya itu tumbuh.
***
Tadinya, saya berniat memiliki koleksi Radio Kayu yang sangat
‘nasionalis’ ini.  Mendengar harga di luar, saya sudah menyiapkan
harga kira-kira sama dengan harga dollar tersebut. Sayang begitu
menemukan data di dalam negeri yang sangat ‘ajaib’ ini, niat saya jadi
saya urungkan kembali. Jangan-jangan, harga itu belum termasuk biaya
kirim ke rumah. Sedang untuk orang luar negeri, harga itu sudah sampai
di kamar. Biarlah, saya beli produk lokal yang lain, meski bukan dari
kayu.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk melakukan pendiskreditan. Saudara
Singgih bisa dan sah beralasan bahwa masalah ini sudah menjadi wilayah
bisnis, atau apa saja. Tapi bagi saya, kelakukan seperti itu jelas
tidak bisa saya terima.


Berikut tulisan lengkap dari kompas.
Singgih, Radio Kayu dan Kehidupan
NUGROHO F YUDHO
Singgih S Kartono, pembuat radio kayu dan kerajinan tangan, menganggap
produknya sebagai bagian dari kehidupan berkelanjutan. Dengan konsep
itulah, pembuat radio kayu di Kandangan, desa kecil di Temanggung,
Jawa Tengah, ini mendapat pesanan 10.000 unit radio kayu senilai Rp
4,9 miliar dari rekanannya di Amerika Serikat.
Singgih adalah sosok yang mewakili berkembangnya kesadaran bahwa batas
negara dan daya tarik kota besar makin tak relevan sebagai determinan
berkembangnya industri kerajinan. Internet memungkinkan Singgih
memasuki pasar dunia.
”Sayang, kapasitas produksi saya belum sebesar itu. Apalagi saya juga
melayani permintaan dari Jepang yang sudah rutin sejak tiga tahun
lalu. Saya minta waktu setahun untuk memenuhi pesanan itu (dari AS).
Bagaimanapun saya senang, konsep saya diterima dan mendapat
kepercayaan,” ujarnya, saat ditemui di ”pabrik”-nya, Piranti Works, di
Desa Kandangan, Temanggung.
Ia menunjukkan tiga model radio dari kayu serta peralatan kantor dari
kayu, seperti pembuka surat, penjepit kertas, stapler, dan kompas
berlapis kayu.
”Radio kayu memang karya akhir saya ketika kuliah di seni rupa ITB.
Saya hanya membuat rangka dan kemasan. Peralatan elektronik di
dalamnya saya pakai dari Panasonic, yang memenuhi syarat ketat ramah
lingkungan untuk pasar ekspor,” ujarnya.
Radio kayu yang diberi merek Magno itu, Rabu (8/10), diumumkan menjadi
pemenang Good Design Award 2008 di Jepang untuk kategori
Innovation/Pioneering & Experimental Design. Magno juga masuk nominasi
untuk Grand Awards untuk Desain for Asia Award yang digelar di
Hongkong.
Awalnya Singgih membeli radio Panasonic di toko, lalu dipreteli dan
dimasukkan dalam radio kayu. ”Saya sering memborong radio di
Temanggung, sampai bertemu Pak Rachmat Gobel (Preskom Panasonic
Indonesia) pada pameran produksi ekspor. Sejak itu saya membeli
langsung peralatan elektronik dari Panasonic, tidak lagi membeli radio
di toko,” katanya.
Radio kayu buatan Singgih bermerek Magno lebih banyak diekspor ke
Jepang, Jerman, dan AS. ”Saya kirim 300-400 unit radio ke Jepang
setahun. Pasar di Jerman baru kami tembus. Harga per unit 49-56 dollar
AS, tapi di Jepang dijual 17.500 yen dan di Jerman 160-240 euro. Di
dalam negeri saya jual Rp 1,1 juta-Rp 1,3 juta per unit. Agak mahal,
karena ini benda koleksi yang personal, bukan komoditas,” katanya.
Radio buatan Singgih itu bisa dilihat di berbagai media gadget atau
website. Setelah pameran demi pameran dan berbagai lomba desain
diikuti, pemasaran lewat internet ia lakukan dan contoh produk dikirim
ke berbagai pihak selama setahun.
”Saya menang lomba desain di Seattle, AS, tahun 1997, lalu seorang
desainer Jepang tertarik dan memasarkan produk ini sejak 2004. Sejak
itulah produk Magno makin populer.”
Tanam pohon
Lalu apa urusan radio kayu dengan filosofi kehidupan berkelanjutan?
”Saya lahir dan dibesarkan di desa. Hutan dan kayu adalah lingkungan
saya. Di desa, kayu dipakai untuk bahan bakar, bikin rumah, mainan,
dan banyak hal dalam hidup. Setelah lulus kuliah, saya kembali ke
desa, menghidupi desa dengan kayu dan menghidupkan kayu dari desa,”
ujarnya.
Kerajinan kayu memberi nilai tambah signifikan bagi kayu. ”Sebatang
kayu sengon sebagai kayu bakar hanya ekuivalen dengan 0,8 dollar AS.
Tapi, sebagai produk kerajinan tangan, kayu yang sama bisa
menghasilkan 1.000 dollar AS. Kita harus lebih cerdas memanfaatkan
kayu,” ujarnya.
Ia mengalokasikan 10 persen dari hasil penjualan produk untuk
dikembalikan kepada alam, lewat pembibitan dan penanaman pohon. Itulah
mengapa dari 2.200 meter persegi tanah di pabriknya yang justru
menghabiskan lahan adalah pembibitan ribuan sengon, mahoni,
sonokeling, dan pinus.
”Bersama aktivis lingkungan, Mukidi, saya merintis penanaman pohon di
kaki Gunung Sumbing yang gundul. Kami menanam 1.500-an pohon. Ada juga
bantuan dari Panasonic,” ujarnya.
Ia juga bekerja sama dengan SMP Negeri 3 Bulu, Desa Wonotirto, di kaki
Gunung Sumbing, menyebar kesadaran pelestarian alam dengan menanam
pohon. ”Kami melibatkan murid menanam pohon di sekitar sekolah, di
kaki gunung, di rumah-rumah. Anak-anak sadar akan pentingnya
menyelamatkan hutan. Penggundulan hutan menyebabkan kelangkaan sumber
air di kawasan ini,” ujar Wiyono, Kepala Sekolah SMP 3 Bulu.
Penggundulan hutan di Gunung Sumbing kian parah karena penanaman
tembakau. ”Para petani percaya, tembakau akan berkualitas baik jika
mendapat sinar matahari langsung. Jadi, semua pohon di kaki gunung ini
ditebangi. Hutan menjadi gundul, rawan longsor, dan banyak mata air
mengering.”
”Warga Desa Wonotirto harus mengambil air bersih dari sumber air yang
jaraknya 6 kilometer. Itu sebabnya, kami membuat saluran air dari mata
air dan membuat bak penampungan dekat sekolah. Tanpa bak itu, di
sekolah ini tak ada setetes pun air bersih,” ujar Singgih.
Kerusakan lingkungan di Temanggung bisa diatasi jika ketergantungan
warga pada penghidupan yang mengeksploitasi tanah dikurangi. ”Itu juga
alasan saya mengembangkan kerajinan yang tak cuma efisien dalam
penggunaan kayu sebagai bahan baku, tapi juga memanfaatkan sebanyak
mungkin tenaga kerja,” ujarnya.
Dengan konsep itu, setiap orang tanpa keterampilan apa pun bisa
ditampung sebagai tenaga kerja. ”Sejak hari pertama masuk kerja, ia
harus bisa mengerjakan satu bagian proses produksi. Dalam seminggu ia
sudah terampil dan dalam 3-4 bulan ia terampil mengerjakan semua
proses produksi. Dalam setahun, kalau mau dan punya modal, ia bisa
bikin pabrik sendiri. Kalau bisa mendapat order 2.500 dollar AS sampai
3.000 dollar AS sebulan, ia bisa mempekerjakan 10 tenaga kerja,”
katanya.
Singgih dibantu 30 karyawan dengan kapasitas produksi 400-an unit
radio per bulan. ”Saya ingin bisa menampung 1.000 warga Kandangan atau
25 persen populasi desa. Dalam 15-20 tahun ke depan, kami punya hutan
yang rimbun lagi, sumber air melimpah, dan lingkungan hidup yang
baik,” ujarnya optimistis.
Singgih mengawali usahanya pada tahun 2003. Ia bekerja di ruang tamu
rumahnya dengan peralatan rakitan sendiri. Ia berkeliling pabrik kayu,
membeli sisa kayu potongan untuk bahan baku. Dibantu istri dan empat
pekerja, ia mulai membuat radio kayu. Kini, ia punya pabrik berukuran
15 meter x 18 meter yang dibangun dengan biaya Rp 100 juta.
Konsep hidup dan kerja inilah yang dijual. Orang tak hanya membeli
radio kayu, tetapi mendukung konsep kehidupan berkelanjutan di
Temanggung.


------------------------------------

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:urangsunda-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:urangsunda-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    urangsunda-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke