http://www.radartimika.com/index.php?mod=article&cat=Opini&article=19615
Selasa, 02/06/2009 | 10:39 (GMT+9) Ketika Unas Jadi Taruhan Para Elite Oleh: Muhibuddin KABAR tak sedap kembali membonceng penyelenggaraan ujian nasional (unas). Tahun ini, dikabarkan terdapat 19 SMA di Indonesia yang 100 persen siswanya tidak lulus unas. Diduga, ketidaklulusan tersebut disebabkan para siswa menyontek kunci jawaban yang ternyata palsu ketika mengerjakan unas. Kunci jawaban palsu itu mereka peroleh dari sekolah. Peristiwa memalukan dan memilukan dunia pendidikan tersebut, di antaranya, melanda SMA Negeri 2 Ngawi, Jawa Timur. Sebanyak 315 siswa sekolah favorit itu tidak lulus. Meski, sudah ada sebagian di antara mereka yang diterima masuk PTN favorit lewat jalur PMDK (penelusuran minat dan kemampuan). Nasib serupa menimpa siswa SMA Negeri Wungu, Kabupaten Madiun. Sebanyak 140 siswa harus mengikuti ujian ulang lantaran tidak lulus unas (Jawa Pos, 31/5/2009). Ketidaklulusan siswa sampai 100 persen di satu sekolah jelas sangat menyentak. Namun, yang lebih menyentak tentu terkait dengan penyebab ketidaklulusan yang bisa dibilang sangat konyol: terkecoh kunci jawaban palsu. Bocoran kunci jawaban itu awalnya tentu diyakini bisa mendongkrak kelulusan. Tapi, kenyataan yang terjadi sebaliknya. Beredarnya kunci jawaban palsu justru menjerumuskan siswa sehingga tidak lulus unas. Setolol itukah peserta didik hingga menelan mentah-mentah kunci jawaban palsu tanpa ada reserve sedikit pun? Atau peserta didik memang meyakini kunci jawaban tersebut karena sebelumnya dikondisikan bahwa sekolah telah membentuk guru yang menjadi "tim sukses" unas? Entah! Yang jelas, dalam pertemuan wali murid di SMA Negeri 2 Ngawi yang dihadiri Kepala Dinas Pendidikan Ngawi Abimanyu dan Bupati Ngawi Harsono, diungkap penyebab ketidaklulusan 100 persen siswa itu. Yakni, semua siswa menggunakan bocoran kunci jawaban untuk mengerjakan soal unas. Sakral dan Menyeramkan Fair saja, di kalangan peserta didik, unas merupakan "hantu" menakutkan karena penyelenggaraan yang di-setting terlalu sakral. Buntut kesakralan itu justru menjadikan unas menyeramkan. Menyeramkan? Ya, lihat saja POS (prosedur operasional standar) yang mengatur sistem pengawasan unas. Dalam satu ruang ujian yang hanya diisi 20 peserta disiapkan dua personel pengawas. Itu pun harus ditentukan dengan sistem silang murni antarsekolah atau madrasah. Di luar itu, pengawasan unas masih melibatkan TPI (tim pemantau independen) dari perguruan tinggi maupun personel kepolisian yang diterjunkan ke sekolah-sekolah penyelenggara.Pengamanan naskah unas juga dibikin ekstraketat. Sebelum didistribusikan, naskah soal disimpan dalam gudang dengan gembok ganda. Satu kunci gembok dipegang aparat keamanan, satu lagi di tangan aparat dinas pendidikan. Pendistribusian naskah itu ke sekolah-sekolah pun masih harus melibatkan pengawalan superketat aparat kepolisian. Pengumpulan lembar jawaban juga harus ditempel ketat aparat kepolisian. Itu semua dilakukan agar kredibilitas penyelenggaraan unas bisa steril dari aneka rekayasa dan akal bulus. Sulit dibayangkan beban psikologis peserta didik ketika menghadapi suasana ujian yang dikemas seseram dan sesakral itu. Salah-salah, peserta didik yang menjalani unas justru nervous, bahkan konsentrasinya terpecah saat mengerjakan soal-soal ujian yang bakal menjadi penentu nasib. Sebab, mereka seakan diposisikan sebagai TO (target operasi). Setiap gerak-geriknya harus dicurigai dan diawasi secara ekstraketat. Di sisi lain, secara psikologis peserta unas sudah terbebani passing grade nilai kelulusan minimal yang dipatok BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). Bagaimanapun, nilai minimal batas kelulusan yang angkanya dari tahun ke tahun terus dinaikkan juga menjadi beban psikologis tersendiri bagi peserta didik. Karena itu, ketika muncul dewa penolong semisal beredarnya kunci jawaban palsu, tak mengherankan peserta unas melahapnya begitu saja tanpa rasa curiga macam-macam. Dalam konteks unas yang sakral dan menyeramkan, sebuah pertanyaan layak dilontarkan. Logiskah sebuah kegiatan evaluasi yang sebenarnya masih menjadi bagian integral rangkaian pembelajaran dikemas dalam desain menyeramkan? Adilkah evaluasi sebuah rangkaian pembelajaran harus menggunakan pendekatan keamanan maupun melibatkan tim pengawas independen yang sejatinya termasuk "pihak luar" dari komponen pembelajaran? Jika pertimbangannya mensterilkan kredibilitas dan objektifitas unas, tentu tidak salah. Tetapi, kalau unas masih diyakini sebagai bagian pembelajaran, format ujian yang dikemas sakral dan menyeramkan sebagaimana tercermin dalam unas jelas sebuah ironi. Bahkan, hal tersebut justru bisa dikatakan sebagai sebuah kecelakaan pendidikan. Coba tengok fakta yang kini digulirkan menjadi tren pembelajaran di sekolah-sekolah. Saat ini, dalam manajemen pembelajaran, komponen-komponen yang terlibat di dalamnya dituntut untuk menerapkan model pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (paikem). Dengan demikian, peserta didik bisa enjoy dalam menjalani setiap pembelajaran. Di sisi lain, penilaian pembelajaran tak cukup hanya mengandalkan hasil paper and pencil test. Evaluasi pembelajaran juga menuntut digunakannya model assessment authentic. Melihat pembelajaran yang demikian, tentu amat ironi kalau model evaluasi justru dikemas sakral dan menyeramkan. Toh demikian, unas dengan format menyeramkan agaknya masih saja terus dilanggengkan hingga tanpa terkontrol dan justru menjadi sebuah tradisi pendidikan. Bukan Jaminan Kasus 19 SMA di Indonesia yang 100 persen siswanya tidak lulus dalam unas tahun ini cukup menguatkan argumen bahwa model unas yang di-setting sakral dan menyeramkan bukan jaminan sehingga penyelenggaraan unas bisa berlangsung fair dan steril dari aneka rekayasa. Apalagi, kasus memalukan yang menampar dunia pendidikan semacam itu hampir tiap tahun senantiasa mewarnai perhelatan unas di negeri ini. Nyatanya, unas yang menyedot anggaran negara lumayan besar tersebut tidak membikin dunia pendidikan tersenyum. Sebaliknya, unas justru lebih membuat banyak kalangan mengelus dada. Yang harus dipahami para pemegang kebijakan, kini unas tak hanya disikapi sebagai ajang pertaruhan kelulusan peserta didik. Lebih dari itu, guru, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, bupati/wali kota, gubernur, hingga menteri pendidikan ikut "bertaruh" dalam perhelatan unas. Asumsinya, jika hasil unas cemerlang, otomatis citra mereka dipastikan moncer. Sebaliknya, jika unas jeblok, pencitraan mereka juga tercoreng. Itulah sebabnya aneka upaya untuk mengakali unas dengan berbagai modus operandi bisa dimunculkan dalam setiap penyelenggaraan ujian berskala nasional tersebut. (*) *). Muhibuddin, pemerhati pendidikan, tinggal di Tulungagung, Jawa Timur. [Non-text portions of this message have been removed]