=======
Medinah
=======
oleh Aidir Amin Daud

SETIAP berada di tempat ini, saya selalu merasa kesempurnaan hanya milik Allah 
swt. Memasuki Medinah di malam hari di musim panas yang menyengat ini -sekitar 
47 derajat Celcius- saya merasa memang masih begitu banyak "dosa" yang harus 
dibakar. Dan diiringi doa agar tak ada lagi tempat bagi "dosa" apapun.

****

Di depan makam manusia yang mulia dan agung Muhammad saw -sang Rasul yang 
dikasihi Allah, saya merenungkan semua keteladanan beliau yang setiap saat 
dikisahkan para peng-khotbah. Begitu miskinnya kita semua dalam keteladanan 
sebagai pemimpin di semua lini. Di sudut Raudah yang diyakini sebagai tempat 
yang baik untuk berdoa dan memohon; tak banyak yang saya minta kepadaNya 
kecuali dihindarkan menjadi pemimpin yang zalim dan tak amanah.

Raudah adalah sebuah tempat di antara mimbar dan makam Rasulullah. Dinyatakan 
dalam banyak riwayat, tempat yang selalu digunakan rasulullah salat ini adalah 
bagian dari taman-taman surga. Malahan ada yang meriwayatkan, di depan mimbar 
itu ada di Atas cadero telaganya. Petunjuk inilah membuat semua orang
ramai-ramai ke sana untuk beribadah dan berdoa.

Medinah al-Munawarrah dengan cahayanya yang gemerlap di malam hari, di 
pelataran masjid yang amat luas, saya menyadari bagian dari "pikiran yang 
sempit" yang selalu bernapsu menguasai bidang yang lebih luas. Di dalam, ruang 
masjid yang tak nampak ujungnya, saya melihat mereka-mereka yang sedang khyusuk 
beribadah sunat, sedang melantunkan ayat suci Alquran, sementara yang lainnya 
sedang tertidur pula di sebagian karpet; alangkah damainya keberagaman ini, 
ketika ego kepentingan menghajar ruang kehidupan kita
sehari-hari.

Di sebuah kota bernama Medinah ini, saya berkesempatan merefleksikan keletihan 
rohani saya menghadapi terpaan materialisme yang tak punya akhir. Menikmati 
alunan azan khas Medinah yang sejak tengah malam sudah menembus dinding kamar 
hotel. Di antara rasa kantuk yang amat sangat ada kewajiban
yang tak punya toleransi waktu.

Di Kota Medinah yang penuh berkah ini, saya tak bisa melepaskan diri dari 
hura-hura Afrika Selatan menyaksikan tontonan para superstar bola dunia 
berlarian ke sana ke mari membawa dan mengejar si Jabulani. Namun saya juga 
kembali melihat bagaimana tv dari puluhan negara kawasan Arab hadir tanpa 
berita huru-hara, perkelahian kampus, penggusuran serta aksi kekerasan
lainnya sebagaimana setiap saat disuguhkan jaringan televisi kita. Tak ada 
kemarahan apapun di sana. Saya juga berdoa agar "ruang publik" tidak lagi 
digunakan semena-mena untuk mengganggu psikologi pertumbuhan anak atau siapapun.

Di pagi, seusai subuh, saya mencicipi tujuh buah kurma nabi, sebagaimana 
anjuran yang saya dengarkan sejak pertama kali berhaji. Meneguk teh Arab yang 
masih hangat dan membayangkan kesederhanaan hidup sang manusia agung. Betapa
berlebihnya kehidupan kita selama ini. Saya teringat Prof Baharuddin Lopa yang 
selalu menjadi contoh pejabat yang bersih karena ia memiliki modal dasar; hidup 
sederhana tidak sekadar pintar dan berani.

*****

Di Medinah, saya membasuh wajah dan meminum seteguk air zam-zam yang 
didatangkan dari Mekah. Menatap langit Medinah yang begitu bersih dan cerah. 
Dengan hati, mata hati yang mungkin masih kusut dan mungkin masih "kotor". Maha 
Besar dan Suci Allah yang maha pengampun.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke