8<--  
Temu akbar HANATA 2004, 3-4 Januari 2004 di Ciater      
Pendaftaran di Milis Anggota, atau SMS ke 0815-9500-697   
-->8 
  
   --- Syafril Hermansyah <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Budaya Jepang berbeda dg budaya kita, mrk lbh individual sementara
> kita
> komunal. 
Dalam kacamata kita mereka terlihat seperti individual tetapi
kenyataanya mereka adalah orang yang sangat koperatif sesama mereka,
dan ini sudah diakui, bahwa kerja kelompok orang jepang sangat
efektif. Kekuatan kelompok itu dibangun dari SD, contohnya saat
berangkat sekolah atau pulang sekolah harus bersama-sama, kalau ada
yang tertinggal harus ditunggu, kalau terlambat dihukum semua
termasuk orang yang dituakan diantara mereka, ya seperti latihan
menwa (kebetulan rumah saya dekat SD). 
Selain itu tingkat persaingan antar individu ditekan, misalnya teman
yang pintar harus membantu teman yang bodoh, kemudian maju bersama2,
tidak boleh ada yang tinggal kelas dalam satu kelas, dan tidak ada
siswa teladan atau siswa juara, pemberian penghargaan ditujukan untuk
karya, sehingga orientasi dan paradigma masyarakat tidak dibangun
atas nilai tetapi atas karya, karena hanya mereka yang bisa berkarya
dan berbuat banyak untuk masyarakat yang dapat eksis dan layak
dihargai. 
Orang bodoh yang rajin lebih dihargai ketimbang orang pintar yag
malas. Tempo hari anak seorang teman yang sudah kelas 5 di Indoensia
karena umurnya masih 10 tahun maka dia harus duduk dikelas 4 di
jepang. Tidak ada siswa teladan apalagi penghargaan seperti cum-laude
dan sebangsanya.
Justru pola pendidikan individual sangat ketara di Indonesia, bahkan
anak2 yang pintar bisa loncat kelas, bisa menyandang gelar hebat
tanpa dituntut karyanya, begitupun anak2 yang kaya bisa memlih
sekolah dengan tingkat prestise seperti apapun. Anak-anak yang bodoh
dan miskin hanyalah sampah, justru mereka yang harusnya dikasihani.
Kita jangan membikin negara yang membedakan manusia dengan
milai-nilai semcam ini, yang hanya akan mucul adalah kecemburuan,
kekecewaan, permusuhan dan akhirnya antitesa...revolusi.
Selain itu masyarakat jepang sangat homogen semntara kita sangat
heterogen. Komunitas yang dibangun dengan tingat heterogen yang
tinggi memerlukan energi extra yang mungkin lebih besar dari energi
internal.  

>Di banyak keluarga, asalkan milik keluarga maka sering
> dianggap
> dan diperlakukan sebagai milik sendiri :-))) 
> Preferensi itu sering terbawa-bawa ke masyarakat, terlihat dg
> perlakukan
> banyak orang terhadap barang-2x/asset milik publik
> (pemerintah/negara).
> Lihat saja soal pemakaian fasilitas umum (taman, telepon umum dst),
> penyerobotan tanah, bantaran kali/kereta yg digunakan utk hunian.
> Ada ide cara memberikan penyadaran yg pas kepada mereka ?

Ini mungkin masalah hukum dimana sejak awal hukum tidak diterapkan
dengan sungguh2 dan sering dilanggar. Kalau hukum tidak bisa
mengatasi ini pasti ada sesatu yang tidak beres dengan hukumnya atau
pelaksananya. 
Selain itu tingkat pendidikan rata2 yang masih rendah,... misalnya
ada kabupaten di pulau jawa yang lebih dari separuh pendudukanya
tidak tamat SD, nah kalau orang2 yang tidak tamat SD ini ke jakarta
apa yang akan terjadi?
Kalau dikatakan mereka melanggar hukum, mereka hanya akan melongo.
Apa itu hukum?
Kalau pembangunan sektor pendidikan di Indonesia masih seperti ini,
ya tetap aja repot.

> BTW. Bagaimana dg trend bunuh diri anak-2x SD/SMP/SMA di Jepang,
> apakah
> ada penurunan ? IMHO itu salah satu dampak individualism (mungkin
> yg
> ekstrim atau salah arah).

Banyak yang mepengaruhi angka bunuh diri dijepang:
1. Tidak beragama, kalau gagal atau kecewa maka yang paling mudah
adalah bunuh diri, dan nggak perlu takut masuk neraka, orang mereka
nggak percaya neraka. Di Indoensia banyak yang pengen bunuh diri
tetapi taku masuk neraka. 
2. Budaya, bunuh diri merupakan simbol keberania dan bertanggung
jawab. Sebenarnya anka bunuh diri itu cukup besar tetapi masih kecil
jika dibandingkan degan angka bunuh diri saat perang dulu, atau
zaman2 sebelum perang dunia, dimana pelakunya adalah para tentara dan
samurai. Kalau main di benteng Himeji, sebuah tempat peninggalan dari
ratusan tahun lalu, terdapat ruang khusus untuk melakukan harakiri.
Selain itu ada riwayat cerita lama yang mengisahkan pembuangan orang
tua (jompo) yang sudah tidak produktif kegunung2 atau ketempat2
tertentu. Jadi seolah-olah hidup hanya memperpanjang penderitaan.
3. Untuk anak2 SD dan SMP terkadang PR yang banyak dari sekolah bisa
menjadi malapetaka. Saya sendiri kadang kasihan kalau lihat anak
teman saya mengerjakan PR sampai larut malam, umumnya hal sepele yang
dikerjakan, misalnya menulis kanji. Ada ribuan kanji yang harus
dihapal beserta kombinasinya dan ini memrlukan energi yang luar biasa
besarnya (bandingkan dengan anak kita yang cukup mengusaia 26 hurup
udah bisa baca koran). Jadi jangan heran kalau tamat SMP disini belum
bisa baca koran jepang. Untuk anak SMA umumnya masalah koibito
(pacar) bisa pemicu bunuh diri. 
4. Fantasi film-film kartun,komik dan game yang gila-gilaan, bisa
juga menjadi pemicu bunuh diri, mungkin ini sering dibahas
dimedia-media indoensia, sehingga ada peringatan untuk mewaspadai
mainan dari jepang.

> Saya dirumah punya buku yg judulnya "Toto Chan, gadis kecil di
> jendela",
> disitu ada diceritakan soal cara pengajaran yg lain dari yg berlaku
> umum
> di Jepang. (buku yg menarik, saya sampai mengulang membacanya).

Sejak sepuluh tahun belakangan ini banyak kritik ditujukan pada
sistem pendidikan jepang juga sistem masyarakatnya, memang terjadi
bebrapa perubahan tetapi itu nggak banyak, misalnya mengurangi sistem
senioritas di berebagai institusi.

Rifki Muhida 


__________________________________
Do you Yahoo!?
New Yahoo! Photos - easier uploading and sharing.
http://photos.yahoo.com/

--[YONSATU - ITB]----------------------------------------------------------   
Arsip           : http://yonsatu.mahawarman.net  
News Groups     : gmane.org.region.indonesia.mahawarman  
News Arsip      : http://news.gmane.org/gmane.org.region.indonesia.mahawarman  

Kirim email ke