"Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan." (1Kor 3:18-23; Luk 5:1-11) “Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia supaya menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu. Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan." Simon menjawab: "Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga." Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam. Ketika Simon Petrus melihat hal itu ia pun tersungkur di depan Yesus dan berkata: "Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa." Sebab ia dan semua orang yang bersama-sama dengan dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap; demikian juga Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon. Kata Yesus kepada Simon: "Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia." Dan sesudah mereka menghela perahu-perahunya ke darat, mereka pun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus.”(Luk 5:3-11), demikian kutipan Warta Gembira hari ini. Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut: · “Pa, saya lebih baik keluar dari sekolah di sini (di Indonesia), dan kembali sekolah di Amerika saja. Saya akan bodoh sekolah di sini karena hanya menghafal melulu..”, demikian keluh kesah seorang anak klas IV SD kepada ayahnya. Maklum anak tersebut dibesarkan di Amerika mengikuti ayahnya/keluarga yang memperoleh tugas belajar di Amerika. Memang proses pembelajaran atau pendidikan yang hanya menghafal melulu berarti membodohi anak atau peserta didik, menjadikan anak atau peserta didik sebagai obyek bukan subyek dalam proses pendidikan atau pembelajaran. “Bertolaklah ke tempat yang dalam” (‘Duc in altum’), demikian perintah Yesus kepada Simon, kepada kita semua. Perintah ini dalam proses pembelajaran, pendidikan, pendampingan, pelayanan dst.. kiranya dapat kita dengan memberi kesempatan dan kemungkinan kepada para peserta didik, anak, binaan dst.. seoptimal mungkin, sehingga mereka diberi kesempatan untuk bereksplorasi dan dengan demikian akan terampil dalam belajar. Semangat dan terampil belajar sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan terus menerus, untuk terus ‘bertolak ke tempat yang dalam’. “Tehnik yang digunakannya adalah membiarkan monyet melakukan berulang-ulang sampai mereka mengembangkan pengalaman, dan belajar bagaimana berkomunikasi, mempelajari bahasa, perintah dan tugas kewajiban” (Rung Kaewdang Ph.D: Suatu Cara Reformasi Pembelajaran yang mangkus, BELAJAR DARI MONYET, Grasindo – Jakarta 2002, hal 62). Marilah cara atau tehnik mendampingi, membina dan mendidik monyet ini kita kenakan atau hayati juga dalam mendampingi, membina dan mendidik anak-anak, peserta didik, bawahan, anggota, dst.. “Ing madyo ambangun karso” (=pemberdayaan), demikian salah satu motto bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro. · “Janganlah ada orang yang menipu dirinya sendiri. Jika ada di antara kamu yang menyangka dirinya berhikmat menurut dunia ini, biarlah ia menjadi bodoh, supaya ia berhikmat. Karena hikmat dunia ini adalah kebodohan bagi Allah”(1Kor 3:18-19a), demikian nasihat Paulus kepada umat di Korintus, kepada kita semua orang beriman. Bahwa hikmat dunia ini adalah kebodohan bagi Allah rasanya bukan khayalan belaka melainkan sungguh nyata. Bukankah kemajuan teknologi dalam aneka macam sarana-prasarana maupun makanan dan minuman sebagai buah hikmat atau kecerdasan manusia telah menjadi senjata makan tuan? Sebagai contoh adalah aneka makanan dan minuman dalam kemasan atau instant, apalagi yang murahan sebagaimana dijajakan atau dijual di desa-desa atau di pinggir jalan. Gara-gara selalu hanya menikmati jenis makanan dan minuman tersebut maka muncullah aneka macam penyakit yang merusak organ tubuh maupun mengancam hidup manusia. Dengan kata lain hikmat dunia yang tak terbendung tumbuh dan perkembangannya tersebut berubah menjadi budaya kematian atau perusakan, bukan budaya kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan sebagai hikmat atau karya Allah. Aneka macam sarana-prasarana seperti HP, TV dst.. rasanya sadar atau tidak sadar jika difungsikan seenaknya, tak terkendali, maka membuat orang yang bersangkutan menjadi tidak sabar, tidak rendah hati, egois, mudah marah, dst.. Maka kami berharap kepada mereka yang ‘berhikmat menurut dunia ini’ untuk waspada dan diusahakan tetap rendah hati agar tidak menghancurkan diri sendiri maupun sesamanya. � (Mzm 24:1-4b) Jakarta, 4 September 2008