“Negative thinking”  dan
kebiasaan ngrumpi atau ‘ngrasani’ rasanya cukup marak dalam kehidupan kita masa
kini. Ngrumpi atau ‘ngrasani’ pada umum membicarakan kekurangan, kejahatan atau
kelemahan orang lain dan orang lain tersebut tidak ada dihadapan  mereka alias 
mendengarkan apa yang sedang
dibicarakan tentang dirinya. Sebagai contoh: (1) bus, kereta api atau pesawat
terbang terlambat berangkat atau kedatangan kemudian membicarakan berbagai
kekurangan dan kelemahan dari pengelola transportasi atau pemerintah, (2)
merasa dikecewakan oleh saudara-saudarinya, rekan kerja dst.. kemudian dengan
leluasa menjelek-jelekan orang yang bersangkutan, (3) makanan atau minuman
tidak enak kemudian ngrasani yang memasak atau yang menyediakan, dst… Mereka
yang suka ngrasani atau ngrumpi hemat kami berarti orang yang tidak pernah
bahagia di dalam hidupnya, memboroskan pikiran dan tenaga yang tiada guna.
Ngrasani atau ngrumpi juga melecehkan harta martabat orang lain alias melanggar
hak azasi manusia. Orang yang memiliki hobby ngrasani atau ngrumpi juga tidak
ksatria. Maka marilah kita renungkan dan refleksikan sabda-sabda atau warta
gembira hari ini.

 

"Apabila
saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata” (Mat
18:15a)   

 

Sabda Yesus di atas inilah
kiranya yang menjiwai St.Ignatius Loyola, sebagaimana ia nasihatkan bagi
siapapun yang menghendaki tumbuh berkembang sebagai orang beriman, cerdas
spiritual: “Setiap orang kristiani yang
baik tentu lebih bersedia membenarkan pernyataan sesamanya daripada
mempersalahkanya. Jika tak dimengerti, yang menyatakan hendaklah ditanya apakah
yang dimaksudkan; dan jika dia salah hendaklah dibetulkan dengan cintakasih;
dan jika itu belum cukup hendaklah digunakan segala upaya yang sesuai, supaya
sampai pada pemahaman yang benar, dan dengan demikian dijauhkan dari kesalahan”
 (St.Ignatius Loyola, LR no 22). .
Jika kita berani mawas diri dengan benar dan cermat, kiranya masing-masing dari
kita telah memiliki pengalaman ini, yaitu ketika kita masih anak-anak diberi
nasihat oleh orangtua senantiasa membenarkan dan melaksanakan nasihat tersebut,
ketika kita sedang belajar di sekolah (TK, SD, SMP, dst..) senantiasa 
membenarkan
dan menerima apa yang diajarkan atau dikatakan oleh guru atau dosen kita.
Dengan kata lain masing-masing dari kita memiliki modal atau kekuatan untuk
menghayati sabda Yesus di atas.

 

“Menegor saudara kita yang
bersalah di bawah empat mata”  berarti
ketika kita melihat saudara kita bersalah maka kita ajak saudara tersebut
berduaan atau curhat. Didalam menyampaikan tegoran hendaknya dengan rendah hati
dan lemah lembut: mohon kejelasan atas apa yang kita lihat sebagai yang salah,
tanpa menuduh atau mengadilinya. Baiklah perjumpaan atau curhat tersebut
diawali dengan doa bersama, agar pembicaraan atau  curhat ada di dalam Tuhan. 
Dengan kata lain
pembicaraan berdua menjadi pembicaraan rohani, atau ‘bimbingan rohani’, dimana
masing-masing pihak membuka diri atas bisikan dan sentuhan Roh Kudus dan Roh
Kuduslah yang akan menunjukkan atau memperlihatkan kebenaran-kebenaran serta
apa yang harus kita katakan atau bicarakan berdua/bersama. Jika dengan cara
demikian gagal maka baiklah baru melangkah ke cara berikutnya, yaitu “bawalah 
seorang atau dua orang lagi, supaya
atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan “
(Mat 18:16), dan jika masih gagal
baru melangkah cara terakhir, yang kiranya tidak kita kehendaki atau harapkan,
yaitu: “Jika ia tidak mau mendengarkan
mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga
mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah
atau seorang pemungut cukai.”(Mat 18:17)



Cara lain menegor mereka yang
berbuat salah antara lain mendoakannya, sebagaimana pernah saya dengar sharing
dari seorang bapak. Bapak tersebut membiasakan adanya doa bersama di dalam
keluarga, serta melatih anak-anaknya untuk berdoa dan memimpin doa bersama.
Bapak tersebut setiap hari berangkat ke kantor/tempat kerja dengan mengendarai
sepeda motor: pada awal ia setia mengenakan helm tetapi kemudian, entah karena
apa ia enggan lagi mengenakan helm ketika mengendarai sepeda motor. Di dalam
doa bersama, salah seorang anaknya berdoa bagi sang bapak demikian: “Ya Tuhan 
kami berterima kasih atas bapak-ibu
yang baik, lebih-lebih bapak yang bekerja keras untuk kami. Semoga bapak
senantiasa mengenakan helm dalam mengendarai sepeda motor agar selamat di
perjalanan. Amin”. Sang bapak tersebut memang pernah berkata kepada
anak-anaknya perihal pemakaian helm demi keselamatan, maka ketika mendengar doa
anaknya ia melelehkan air mata, merasa ditegor dengan keras oleh anaknya. Ia
bertobat dan kemudian tidak lupa mengenakan helm ketika mengendarai sepeda 
motor.
Silahkan berdoa bagi siapapun yang kita nilai bersalah atau telah menyakiti
kita.

 

“Janganlah
kamu berhutang apa-apa kepada siapa pun juga, tetapi hendaklah kamu saling
mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi
hukum Taurat. Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri,
jangan mengingini dan firman lain mana pun juga, sudah tersimpul dalam firman
ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! Kasih tidak
berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum
Taurat “(Rm 13:8-10)   

 

“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!”, demikian
peringatan atau nasihat Paulus kepada umat di Roma, kepada kita semua orang
beriman. “Mengasihi diri sendiri” antara lain berarti senantiasa menjaga atau
merawat diri agar tetap sehat wal’afiat lahir dan batin, cerdas spiritual:
hati, jiwa, akal budi dan tubuh senantiasa segar bugar. Yang paling mudah,
dalam arti kelihatan, namun belum tentu dilakukan oleh semua orang, adalah
menjaga kesehatan tubuh: makan dengan berpedoman ‘empat sehat lima
sempurna’, tidur/istirahat cukup, sering berolahraga, misalnya erobik(jalan
kaki, lari atau berenang), dst… Kesehatan dan kesegar-bugaran tubuh akan
mendukung kesehatan jiwa, hati dan akal budi. Jika diri kita sehat wal’afiat
maka kiranya kita dengan mudah untuk mengasihi sesama dan saudara-saudari kita.
Sehat bugar antara lain memang ‘tidak
berzinah, tidak membunuh atau melecehkan yang lain, tidak mencuri’.

 

“Mengasihi sesama manusia”
berarti mengajak, mendampingi atau mengingatkan sesama manusia untuk menjaga
dan merawat dirinya agar tetap dalam keadaan segar bugar jiwa, hati, akal budi
dan tubuh. Marilah kita renungkan dan hayati firman Tuhan yang disampaikan
melalui nabi Yeheskiel ini: “Jikalau
engkau memperingatkan orang jahat itu supaya ia bertobat dari hidupnya, tetapi
ia tidak mau bertobat, ia akan mati dalam kesalahannya, tetapi engkau telah
menyelamatkan nyawamu” (Yeh 33:9). Firman ini baik menjadi permenungan bagi
yang memperingatkan maupun yang diingatkan. Hendaknya baik yang memperingatkan
maupun yang mengingatkan senantiasa bersikap rendah hati. Bagi ‘yang
memperingatkan’ rendah hati berarti menyapa ‘yang diingatkan’  dengan lembut 
dan sabar, sedangkan bagi ‘yang
diingatkan’ rendah hati berarti membuka hati, jiwa, akal budi dan tubuh alias
siap sedia untuk ‘disakiti’ hati, jiwa, akal budi maupun tubuhnya. Untuk
bertobat, tumbuh dan berkembang atau memperbaharui diri hemat saya harus siap
sedia untuk ‘sakit’, dan menderita.


Jakarta, 7 September 2008




Kirim email ke