Refleksi: Hapus kolom agama di KTP harus disertakan dengan pemusnahan 
Departemen Agama [Depag]. Agama berkembang di kepulauan nusantara tanpa danya 
departemen yang mengatur. Departemen agama adalah ciptaan untuk pemboroskan 
uang kas negara, karena selama ini tidak dibuktikan kehidupan umat beragama 
bertambah baik malah  sebalikn ya toleransi kaum beragama tidak  hidup rukun, 
aman dan sejahtera. Jadi kalau kalau untuk kehidupan duniawi  saja tidak bisa 
diurus oleh Depag, maka tentu saja tidak ada jaminan Depag bagi umat beragama 
untuk bisa masuk surga. Jadi membuang-buang uang negara yang sepatutnya dipakai 
untuk mempertinggi mutu pendidikan ilmu berfaedah untuk mempertinggi kehidupan 
hidup manusia (umat) dari miskin menjadi sejahtera, damai dan aman. 

 Patut diperhatikan bahwa setiap kali ada jemah haji selalu saja ada problem 
yang merugikan jemah haji. Depag tercatat sebagai sarang koruptor, lihat saja 
pada mantan menteri agama Sadi Agil Husni Al Munawar sikat uang sebanyak Rp 
50.000.000.000.000. Di negeri-negeri yang tidak ada Depag, pengririman jemah 
haji tanpa ada problem seperti apa yang biasa dialami oleh jemah haji dari 
Indonesia. Sebagai contoh ialah India, mempunyai jumlah umat beragama Islam 
hampir sama besarnya dengan di Indonesia, tetapi tidak mempunyai Depag. Semua 
urusan diatur oleh perusahaan touris. 

Jangan mau dipermainkan oleh para penjahat masyarakat yang memakai lambang 
agama dan nama Allah untuk menindas Anda, menjadi lebih miskin dalam 
kebudayaan, sirpitual dan material kehidupan sehari-hari. Bubarkan Departeman 
Agama! Hapus kolom agama di KTP. Pemusnahan Depag bukan dosa dengan kemurkaan 
Alloh, tetapi malah Allah akan gembira karena manusia beragama berani 
menghancurkan instansi yang merugikan kehidupan kaum beragama.

Amin

-  - - -

Suara Merdeka

      HAPUS KOLOM AGAMA Di KTP
      Ditulis Oleh Gendhotwukir     
      27-10-2008, 
     

      Di kolom agama tersebut hanya dimungkinkan tertulis: Islam, Kristen, 
Hindu, Budha, Katolik dan belakangan ini Konghucu. Padahal kenyataan di 
masyarakat tidak sedikit orang yang menganut kepercayaan lokal, menganut 
kejawen, Sikh, Sinto dan lain sebagainya. Di beberapa negara selain Indonesia, 
identitas diri semacam KTP-nya Indonesia sudah tidak mencantumkan kolom agama.

      Kita tentu tahu tokoh kejawen Permadi yang sering disebut penyambung 
lidah Bung Karno itu. Pada tahun 2002 dia menjadi korban diskriminasi soal KTP. 
Ketika ia hendak menikahkan anak perempuannya ia dilarang ketua KUA. Permadi 
dilarang mengawinkan anaknya karena ia pengikut kejawen. Penulis yakin tidak 
hanya Permadi seorang yang mengalami diskriminasi semacam ini, mengingat 
penganut kepercayaan lokal, kejawen, Sikh, Sinto dan lainnya cukup banyak.

      Tapi ya begitulah, di Indonesia agama sudah menjadi ketentuan atau 
konvensi yang sudah berakar. Dalam banyak ketentuan dan undang-undang, 
teristimewa untuk rekruitmen tenaga kerja pun mesti disebutkan agamanya apa. 
Selain itu pelayanan publik lantas juga tidak maksimal tatkala mentalitas 
pegawainya yang religion oriented. Pelayanan untuk pengurusan surat-surat di 
instansi tertentu lantas menjadi ribet dan molor karena seseorang beragama 
tertentu dan berbeda dengan pegawai yang melayani. Ini memang jaman reformasi, 
tapi yang utama direformasi itu seharusnya juga cara pandang dan mentalitas 
orangnya.

      Selain diskriminasi di atas, suatu fakta yang tak dapat ditutup-tutupi, 
kolom agama dalam KTP berpotensi menimbulkan konflik horisontal. Ini telah 
terjadi tidak hanya di Poso tapi juga di mana-mana. Orang yang dicurigai 
diminta menunjukkan KTP. Kalau orang yang bersangkutan beragama sama kadang 
bisa aman, tetapi kalau berbeda bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apalagi 
dalam situasi konflik yang berbau SARA.

      Mentalitas religion oriented ini, entah kenapa telah cukup berakar di 
sebagian masyarakat Indonesia. Pergaulan kadang menjadi berjarak ketika 
seseorang berbeda agama. Penulis melihat kecenderungan ini. Entah ketika di 
dalam negeri maupun di luar negeri, ketika bertemu orang baru yang notabene 
berasal dari Indonesia pertanyaan mengenai agama yang saya anut seperti kok 
menjadi prioritas pertanyaan.

      Bukannya penulis tidak bangga dengan agama yang penulis anut, tetapi 
penulis melihat mentalitas seseorang yang religion oriented itu malah acap kali 
mengesampingkan aspek kemanusiaan. Tidak jarang penulis bertemu seorang yang 
beragama lain dengan penulis yang tiba-tiba menjadi canggung dan menjaga jarak 
ketika tahu agama yang saya anut beda dengan dia, padahal sebelumnya akrab.

      Karena seringnya ketemu seseorang yang lantas ujung-ujungnya tanya agama, 
penulis lebih sering menjawab, "this is not your business". Untuk kelancaran 
pelayanan publik menyangkut hak sipil penulis sebagai warga negara, penulis 
lebih sering kompromi untuk memberikan identitas lain seperti Surat Ijin 
Mengemudi (SIM) atau Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Di SIM dan KTM jelas-jelas 
tidak terdapat kolom agama. Lebih gila lagi seorang teman yang lantas mengisi 
kolom agama di KTP dengan agama lain agar bisa masuk dan bekerja di instansi 
tertentu.

      Sekali lagi penulis tidak malu dengan agama yang penulis anut. Penulis 
bangga dengan agama yang penulis anut. Tapi kalau fakta kehadiran KTP yang 
mencantumkan kolom agama itu ternyata menjadi bibit diskriminasi, konflik 
horisontal, pelayanan publik kurang maksimal dan kemanusiaan diabaikan, menurut 
penulis sudah waktunya kolom agama di KTP itu dihapus. Alasan administrasi 
kependudukan juga tak bisa menghalangi desakan penghapusan kolom agama ini. 
Soal administrasi kependudukan, asal orang-orangnya di instansi bersangkutan 
bekerja dengan becus, sebenarnya kolom agama di KTP tidak diperlukan lagi. 
Jadi, sebaiknya kolom agama di KTP itu dihapuskan saja!

       
      Halaman 2 dari 2
      Di kolom agama tersebut hanya dimungkinkan tertulis: Islam, Kristen, 
Hindu, Budha, Katolik dan belakangan ini Konghucu. Padahal kenyataan di 
masyarakat tidak sedikit orang yang menganut kepercayaan lokal, menganut 
kejawen, Sikh, Sinto dan lain sebagainya. Di beberapa negara selain Indonesia, 
identitas diri semacam KTP-nya Indonesia sudah tidak mencantumkan kolom agama.

      Kita tentu tahu tokoh kejawen Permadi yang sering disebut penyambung 
lidah Bung Karno itu. Pada tahun 2002 dia menjadi korban diskriminasi soal KTP. 
Ketika ia hendak menikahkan anak perempuannya ia dilarang ketua KUA. Permadi 
dilarang mengawinkan anaknya karena ia pengikut kejawen. Penulis yakin tidak 
hanya Permadi seorang yang mengalami diskriminasi semacam ini, mengingat 
penganut kepercayaan lokal, kejawen, Sikh, Sinto dan lainnya cukup banyak.

      Tapi ya begitulah, di Indonesia agama sudah menjadi ketentuan atau 
konvensi yang sudah berakar. Dalam banyak ketentuan dan undang-undang, 
teristimewa untuk rekruitmen tenaga kerja pun mesti disebutkan agamanya apa. 
Selain itu pelayanan publik lantas juga tidak maksimal tatkala mentalitas 
pegawainya yang religion oriented. Pelayanan untuk pengurusan surat-surat di 
instansi tertentu lantas menjadi ribet dan molor karena seseorang beragama 
tertentu dan berbeda dengan pegawai yang melayani. Ini memang jaman reformasi, 
tapi yang utama direformasi itu seharusnya juga cara pandang dan mentalitas 
orangnya.

      Selain diskriminasi di atas, suatu fakta yang tak dapat ditutup-tutupi, 
kolom agama dalam KTP berpotensi menimbulkan konflik horisontal. Ini telah 
terjadi tidak hanya di Poso tapi juga di mana-mana. Orang yang dicurigai 
diminta menunjukkan KTP. Kalau orang yang bersangkutan beragama sama kadang 
bisa aman, tetapi kalau berbeda bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apalagi 
dalam situasi konflik yang berbau SARA.

      Mentalitas religion oriented ini, entah kenapa telah cukup berakar di 
sebagian masyarakat Indonesia. Pergaulan kadang menjadi berjarak ketika 
seseorang berbeda agama. Penulis melihat kecenderungan ini. Entah ketika di 
dalam negeri maupun di luar negeri, ketika bertemu orang baru yang notabene 
berasal dari Indonesia pertanyaan mengenai agama yang saya anut seperti kok 
menjadi prioritas pertanyaan.

      Bukannya penulis tidak bangga dengan agama yang penulis anut, tetapi 
penulis melihat mentalitas seseorang yang religion oriented itu malah acap kali 
mengesampingkan aspek kemanusiaan. Tidak jarang penulis bertemu seorang yang 
beragama lain dengan penulis yang tiba-tiba menjadi canggung dan menjaga jarak 
ketika tahu agama yang saya anut beda dengan dia, padahal sebelumnya akrab.

      Karena seringnya ketemu seseorang yang lantas ujung-ujungnya tanya agama, 
penulis lebih sering menjawab, "this is not your business". Untuk kelancaran 
pelayanan publik menyangkut hak sipil penulis sebagai warga negara, penulis 
lebih sering kompromi untuk memberikan identitas lain seperti Surat Ijin 
Mengemudi (SIM) atau Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Di SIM dan KTM jelas-jelas 
tidak terdapat kolom agama. Lebih gila lagi seorang teman yang lantas mengisi 
kolom agama di KTP dengan agama lain agar bisa masuk dan bekerja di instansi 
tertentu.

      Sekali lagi penulis tidak malu dengan agama yang penulis anut. Penulis 
bangga dengan agama yang penulis anut. Tapi kalau fakta kehadiran KTP yang 
mencantumkan kolom agama itu ternyata menjadi bibit diskriminasi, konflik 
horisontal, pelayanan publik kurang maksimal dan kemanusiaan diabaikan, menurut 
penulis sudah waktunya kolom agama di KTP itu dihapus. Alasan administrasi 
kependudukan juga tak bisa menghalangi desakan penghapusan kolom agama ini. 
Soal administrasi kependudukan, asal orang-orangnya di instansi bersangkutan 
bekerja dengan becus, sebenarnya kolom agama di KTP tidak diperlukan lagi. 
Jadi, sebaiknya kolom agama di KTP itu dihapuskan saja!

      * Gendhotwukir, penyair dan jurnalis dari Komunitas Merapi. Penulis 
pernah mengenyam pendidikan di Philosophisch-Theologische Hochschule Sankt 
Augustin Jerman dan saat ini di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 

      * Gendhotwukir, penyair dan jurnalis dari Komunitas Merapi. Penulis 
pernah mengenyam pendidikan di Philosophisch-Theologische Hochschule Sankt 
Augustin Jerman dan saat ini di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 

Kirim email ke