Pengertian beragama bagi muslim dan muslim berbeda. Bagi non muslim
agama adalah panggilan pribadi untuk mengikuti cara hidup
seseorang/nabi/Tuhan. JAdi pilihan untuk tidak mengikuti pun ga ada yg
larang. Tapi Islam mewajibakan pencantuman agama meskipun dia tidak
hidup secara Islami. Mau jadi pelacur kek, mau jadi pedofil, semuanya
lebih tinggi nilainya daripada keluar dari ISlam.

JAdi Sebaiknya KTP berkolom agama hanya berlaku bagi yg Islam aja...


--- In zamanku@yahoogroups.com, "Sunny" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Refleksi: Hapus kolom agama di KTP harus disertakan dengan
pemusnahan Departemen Agama [Depag]. Agama berkembang di kepulauan
nusantara tanpa danya departemen yang mengatur. Departemen agama
adalah ciptaan untuk pemboroskan uang kas negara, karena selama ini
tidak dibuktikan kehidupan umat beragama bertambah baik malah 
sebalikn ya toleransi kaum beragama tidak  hidup rukun, aman dan
sejahtera. Jadi kalau kalau untuk kehidupan duniawi  saja tidak bisa
diurus oleh Depag, maka tentu saja tidak ada jaminan Depag bagi umat
beragama untuk bisa masuk surga. Jadi membuang-buang uang negara yang
sepatutnya dipakai untuk mempertinggi mutu pendidikan ilmu berfaedah
untuk mempertinggi kehidupan hidup manusia (umat) dari miskin menjadi
sejahtera, damai dan aman. 
> 
>  Patut diperhatikan bahwa setiap kali ada jemah haji selalu saja ada
problem yang merugikan jemah haji. Depag tercatat sebagai sarang
koruptor, lihat saja pada mantan menteri agama Sadi Agil Husni Al
Munawar sikat uang sebanyak Rp 50.000.000.000.000. Di negeri-negeri
yang tidak ada Depag, pengririman jemah haji tanpa ada problem seperti
apa yang biasa dialami oleh jemah haji dari Indonesia. Sebagai contoh
ialah India, mempunyai jumlah umat beragama Islam hampir sama besarnya
dengan di Indonesia, tetapi tidak mempunyai Depag. Semua urusan diatur
oleh perusahaan touris. 
> 
> Jangan mau dipermainkan oleh para penjahat masyarakat yang memakai
lambang agama dan nama Allah untuk menindas Anda, menjadi lebih miskin
dalam kebudayaan, sirpitual dan material kehidupan sehari-hari.
Bubarkan Departeman Agama! Hapus kolom agama di KTP. Pemusnahan Depag
bukan dosa dengan kemurkaan Alloh, tetapi malah Allah akan gembira
karena manusia beragama berani menghancurkan instansi yang merugikan
kehidupan kaum beragama.
> 
> Amin
> 
> -  - - -
> 
> Suara Merdeka
> 
>       HAPUS KOLOM AGAMA Di KTP
>       Ditulis Oleh Gendhotwukir     
>       27-10-2008, 
>      
> 
>       Di kolom agama tersebut hanya dimungkinkan tertulis: Islam,
Kristen, Hindu, Budha, Katolik dan belakangan ini Konghucu. Padahal
kenyataan di masyarakat tidak sedikit orang yang menganut kepercayaan
lokal, menganut kejawen, Sikh, Sinto dan lain sebagainya. Di beberapa
negara selain Indonesia, identitas diri semacam KTP-nya Indonesia
sudah tidak mencantumkan kolom agama.
> 
>       Kita tentu tahu tokoh kejawen Permadi yang sering disebut
penyambung lidah Bung Karno itu. Pada tahun 2002 dia menjadi korban
diskriminasi soal KTP. Ketika ia hendak menikahkan anak perempuannya
ia dilarang ketua KUA. Permadi dilarang mengawinkan anaknya karena ia
pengikut kejawen. Penulis yakin tidak hanya Permadi seorang yang
mengalami diskriminasi semacam ini, mengingat penganut kepercayaan
lokal, kejawen, Sikh, Sinto dan lainnya cukup banyak.
> 
>       Tapi ya begitulah, di Indonesia agama sudah menjadi ketentuan
atau konvensi yang sudah berakar. Dalam banyak ketentuan dan
undang-undang, teristimewa untuk rekruitmen tenaga kerja pun mesti
disebutkan agamanya apa. Selain itu pelayanan publik lantas juga tidak
maksimal tatkala mentalitas pegawainya yang religion oriented.
Pelayanan untuk pengurusan surat-surat di instansi tertentu lantas
menjadi ribet dan molor karena seseorang beragama tertentu dan berbeda
dengan pegawai yang melayani. Ini memang jaman reformasi, tapi yang
utama direformasi itu seharusnya juga cara pandang dan mentalitas
orangnya.
> 
>       Selain diskriminasi di atas, suatu fakta yang tak dapat
ditutup-tutupi, kolom agama dalam KTP berpotensi menimbulkan konflik
horisontal. Ini telah terjadi tidak hanya di Poso tapi juga di
mana-mana. Orang yang dicurigai diminta menunjukkan KTP. Kalau orang
yang bersangkutan beragama sama kadang bisa aman, tetapi kalau berbeda
bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apalagi dalam situasi konflik
yang berbau SARA.
> 
>       Mentalitas religion oriented ini, entah kenapa telah cukup
berakar di sebagian masyarakat Indonesia. Pergaulan kadang menjadi
berjarak ketika seseorang berbeda agama. Penulis melihat kecenderungan
ini. Entah ketika di dalam negeri maupun di luar negeri, ketika
bertemu orang baru yang notabene berasal dari Indonesia pertanyaan
mengenai agama yang saya anut seperti kok menjadi prioritas pertanyaan.
> 
>       Bukannya penulis tidak bangga dengan agama yang penulis anut,
tetapi penulis melihat mentalitas seseorang yang religion oriented itu
malah acap kali mengesampingkan aspek kemanusiaan. Tidak jarang
penulis bertemu seorang yang beragama lain dengan penulis yang
tiba-tiba menjadi canggung dan menjaga jarak ketika tahu agama yang
saya anut beda dengan dia, padahal sebelumnya akrab.
> 
>       Karena seringnya ketemu seseorang yang lantas ujung-ujungnya
tanya agama, penulis lebih sering menjawab, "this is not your
business". Untuk kelancaran pelayanan publik menyangkut hak sipil
penulis sebagai warga negara, penulis lebih sering kompromi untuk
memberikan identitas lain seperti Surat Ijin Mengemudi (SIM) atau
Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Di SIM dan KTM jelas-jelas tidak terdapat
kolom agama. Lebih gila lagi seorang teman yang lantas mengisi kolom
agama di KTP dengan agama lain agar bisa masuk dan bekerja di instansi
tertentu.
> 
>       Sekali lagi penulis tidak malu dengan agama yang penulis anut.
Penulis bangga dengan agama yang penulis anut. Tapi kalau fakta
kehadiran KTP yang mencantumkan kolom agama itu ternyata menjadi bibit
diskriminasi, konflik horisontal, pelayanan publik kurang maksimal dan
kemanusiaan diabaikan, menurut penulis sudah waktunya kolom agama di
KTP itu dihapus. Alasan administrasi kependudukan juga tak bisa
menghalangi desakan penghapusan kolom agama ini. Soal administrasi
kependudukan, asal orang-orangnya di instansi bersangkutan bekerja
dengan becus, sebenarnya kolom agama di KTP tidak diperlukan lagi.
Jadi, sebaiknya kolom agama di KTP itu dihapuskan saja!
> 
>        
>       Halaman 2 dari 2
>       Di kolom agama tersebut hanya dimungkinkan tertulis: Islam,
Kristen, Hindu, Budha, Katolik dan belakangan ini Konghucu. Padahal
kenyataan di masyarakat tidak sedikit orang yang menganut kepercayaan
lokal, menganut kejawen, Sikh, Sinto dan lain sebagainya. Di beberapa
negara selain Indonesia, identitas diri semacam KTP-nya Indonesia
sudah tidak mencantumkan kolom agama.
> 
>       Kita tentu tahu tokoh kejawen Permadi yang sering disebut
penyambung lidah Bung Karno itu. Pada tahun 2002 dia menjadi korban
diskriminasi soal KTP. Ketika ia hendak menikahkan anak perempuannya
ia dilarang ketua KUA. Permadi dilarang mengawinkan anaknya karena ia
pengikut kejawen. Penulis yakin tidak hanya Permadi seorang yang
mengalami diskriminasi semacam ini, mengingat penganut kepercayaan
lokal, kejawen, Sikh, Sinto dan lainnya cukup banyak.
> 
>       Tapi ya begitulah, di Indonesia agama sudah menjadi ketentuan
atau konvensi yang sudah berakar. Dalam banyak ketentuan dan
undang-undang, teristimewa untuk rekruitmen tenaga kerja pun mesti
disebutkan agamanya apa. Selain itu pelayanan publik lantas juga tidak
maksimal tatkala mentalitas pegawainya yang religion oriented.
Pelayanan untuk pengurusan surat-surat di instansi tertentu lantas
menjadi ribet dan molor karena seseorang beragama tertentu dan berbeda
dengan pegawai yang melayani. Ini memang jaman reformasi, tapi yang
utama direformasi itu seharusnya juga cara pandang dan mentalitas
orangnya.
> 
>       Selain diskriminasi di atas, suatu fakta yang tak dapat
ditutup-tutupi, kolom agama dalam KTP berpotensi menimbulkan konflik
horisontal. Ini telah terjadi tidak hanya di Poso tapi juga di
mana-mana. Orang yang dicurigai diminta menunjukkan KTP. Kalau orang
yang bersangkutan beragama sama kadang bisa aman, tetapi kalau berbeda
bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apalagi dalam situasi konflik
yang berbau SARA.
> 
>       Mentalitas religion oriented ini, entah kenapa telah cukup
berakar di sebagian masyarakat Indonesia. Pergaulan kadang menjadi
berjarak ketika seseorang berbeda agama. Penulis melihat kecenderungan
ini. Entah ketika di dalam negeri maupun di luar negeri, ketika
bertemu orang baru yang notabene berasal dari Indonesia pertanyaan
mengenai agama yang saya anut seperti kok menjadi prioritas pertanyaan.
> 
>       Bukannya penulis tidak bangga dengan agama yang penulis anut,
tetapi penulis melihat mentalitas seseorang yang religion oriented itu
malah acap kali mengesampingkan aspek kemanusiaan. Tidak jarang
penulis bertemu seorang yang beragama lain dengan penulis yang
tiba-tiba menjadi canggung dan menjaga jarak ketika tahu agama yang
saya anut beda dengan dia, padahal sebelumnya akrab.
> 
>       Karena seringnya ketemu seseorang yang lantas ujung-ujungnya
tanya agama, penulis lebih sering menjawab, "this is not your
business". Untuk kelancaran pelayanan publik menyangkut hak sipil
penulis sebagai warga negara, penulis lebih sering kompromi untuk
memberikan identitas lain seperti Surat Ijin Mengemudi (SIM) atau
Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Di SIM dan KTM jelas-jelas tidak terdapat
kolom agama. Lebih gila lagi seorang teman yang lantas mengisi kolom
agama di KTP dengan agama lain agar bisa masuk dan bekerja di instansi
tertentu.
> 
>       Sekali lagi penulis tidak malu dengan agama yang penulis anut.
Penulis bangga dengan agama yang penulis anut. Tapi kalau fakta
kehadiran KTP yang mencantumkan kolom agama itu ternyata menjadi bibit
diskriminasi, konflik horisontal, pelayanan publik kurang maksimal dan
kemanusiaan diabaikan, menurut penulis sudah waktunya kolom agama di
KTP itu dihapus. Alasan administrasi kependudukan juga tak bisa
menghalangi desakan penghapusan kolom agama ini. Soal administrasi
kependudukan, asal orang-orangnya di instansi bersangkutan bekerja
dengan becus, sebenarnya kolom agama di KTP tidak diperlukan lagi.
Jadi, sebaiknya kolom agama di KTP itu dihapuskan saja!
> 
>       * Gendhotwukir, penyair dan jurnalis dari Komunitas Merapi.
Penulis pernah mengenyam pendidikan di Philosophisch-Theologische
Hochschule Sankt Augustin Jerman dan saat ini di Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. 
> 
>       * Gendhotwukir, penyair dan jurnalis dari Komunitas Merapi.
Penulis pernah mengenyam pendidikan di Philosophisch-Theologische
Hochschule Sankt Augustin Jerman dan saat ini di Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
>


Kirim email ke