Refleksi: Kalau tidak ada hal-hal baru atau suara pembicara tidak menarik maka 
sulit untuk menjadi pendengar yang baik.

ttp://www.sinarharapan.co.id/berita/0811/03/opi01.html

Sulitnya Menjadi Pendengar yang Baik 

Oleh
Sahala Tua Saragih



"Hai, jangan ngobrol sendiri! Dengarkan! Jangan berbicara sendiri dong! Coba 
sini, ini masalah penting!" Demikian bunyi teguran keras Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap tiga pembantunya, yakni Kepala Badan Intelijen 
Negara, Syamsir Siregar, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Didi 
Widayadi, dan Kepala Badan Pusat Statistik, Rusman Heriawan beberapa waktu yang 
lalu. Entah apa yang mereka obrolkan waktu itu. Yang pasti, mereka langsung 
terdiam setelah ditegur keras oleh sang atasan. 


Di layar televisi tampak jelas wajah SBY tegang. Maklumlah, sang Kepala Negara 
dan Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK) waktu itu sedang memimpin sidang kabinet 
paripurna, membahas satu masalah genting yakni rencana menegosiasi ulang 
kontrak ekspor gas alam cair (LNG) Tangguh, Papua Barat dengan pemerintah 
Republik Rakyat Cina (RRC). Dalam forum itu SBY-JK membantah tuduhan mantan 
atasan mereka, Megawati Soekarnoputri. Setelah masalah besar ini mencuat ke 
permukaan, Megawati tak mau disalahkan sendiri. Dia mengatakan, dua mantan 
menteri (bawahannya), SBY-JK, juga turut menentukan harga ekspor LNG Tangguh ke 
Fujian, Cina waktu itu. 


Yang ingin dibahas di sini bukan kontroversi harga LNG ke RRC. Juga tidak 
tentang bantahan SBY-JK terhadap tuduhan Megawati. Tetapi tentang perilaku dan 
tata krama mendengarkan orang lain. Masih hijau dalam ingatan kita, pada awal 
April lalu ketika SBY berceramah di depan para Kepala Daerah yang mengikuti 
pelatihan di Lemhanas, seorang Bupati tertangkap basah tidur pulas. Sang 
Presiden waktu itu marah besar. Beberapa tahun lalu SBY juga memarahi para 
mahasiswa yang tertidur ketika dia berceramah di sebuah kampus. Entah mengapa, 
Presiden SBY tak pernah menegur anggota DPR yang asyik mengobrol, ber-hand 
phone ria, atau tertidur nyenyak ketika dia menyampaikan pidato kenegaraannya 
(tiap 16 Agustus). Karena mereka bukan bawahan? 

Mewabah
Harus kita akui, salah satu "penyakit" kronis kita adalah tidak bisa menjadi 
pendengar yang baik. Kita sangat gampang berbicara, termasuk membicarakan 
hal-hal yang tak kita pahami, dan kita ingin sekali didengarkan oleh orang 
lain. Akan tetapi kita sangat sulit untuk mendengarkan dengan sungguh-sungguh 
orang yang sedang berbicara resmi. Lihatlah acara dengar pendapat di DPR atau 
DPRD. Sering sekali para anggota dewan yang langsung kabur setelah melontarkan 
kritik dan pertanyaan kepada pejabat tinggi atau siapapun yang mereka undang 
dalam acara dengar pendapat tersebut. 


Mereka yang menyebut diri wakil rakyat itu (entah rakyat yang mana) sama sekali 
tak mendengarkan jawaban serius dari sang undangan (pembicara resmi). Mereka 
hanya mau didengarkan namun tak mau mendengarkan. Penyakit ini juga diidap oleh 
banyak pejabat tinggi, di pemerintahan pusat dan daerah, serta para direksi 
BUMN. Mereka hanya mau didengarkan oleh rakyat, namun enggan mendengarkan suara 
atau teriakan rakyat yang menjadi korban kebijakan mereka sendiri. Ini jelas 
menunjukkan sikap angkuh dan tak menghormati mitra dialog atau lawan bicara 
mereka. 


Perilaku buruk ini sudah sangat lama mewabah ke semua lapisan dan golongan 
masyarakat. Lihatlah pertemuan para ilmuwan. Ketika para pembicara memaparkan 
pemikiran mereka dengan sangat serius di panggung, banyak peserta pertemuan itu 
yang asyik mengobrol. Seolah-olah berkata, "Ah, kami sudah tahu semua yang 
kalian paparkan itu." Ada lagi, saat seorang ilmuwan memaparkan bahasannya, dua 
pembicara lainnya yang duduk dekat moderator asyik mengobrol. Mungkin mereka 
berpikir, paparan sang ilmuwan hanya penting bagi peserta seminar, sehingga 
merasa tidak perlu menyimak.


Pada rapat-rapat para dosen terjadi hal serupa. Ketika Rektor atau Dekan dan 
para pembantunya memaparkan masalah-masalah akademik yang tentu saja sangat 
serius, banyak dosen (termasuk yang berjabatan guru besar) yang asyik 
mengobrol, ber-cellular, atau tertidur. Ternyata hal yang sama juga terjadi 
pada pertemuan para rohaniwan atau pemimpin umat beragama. Diidap oleh para 
guru di semua jenjang sekolah, menjalar pada siswa dan mahasiswa, berjangkit di 
rumah tangga. Anak asyik menonton TV atau bermain di komputer saat orang tua 
serius menasihati. 

Menatap Lawan Bicara 
Penyakit ini juga diidap oleh wartawan. Tak sedikit wartawan asyik mengobrol, 
ketika sumber berita memaparkan informasi yang penting diketahui khalayak. 
Akibatnya, wartawan salah menulis laporan, sehingga beritanya menyesatkan. 
Paling parah pastilah kalau terjadi di rumah-rumah ibadah (gereja, misalnya). 
Padahal, khotbahnya tak sampai 30 menit. Nah, kalau Tuhan saja yang sedang 
berbicara melalui hamba-Nya dicueki, apalagi manusia (atasan). Maka dapatlah 
dimaklumi, namun sama sekali tak dapat dibenarkan, bila para menteri atau 
pejabat tinggi pemerintahan dan para anggota DPR asyik mengobrol, bertelepon, 
tidur pulas ketika Presiden/Wakil Presiden berbicara serius dalam sebuah forum 
resmi. 


Para ahli komunikasi menegaskan, seorang pemimpin yang baik harus mampu 
berkomunikasi dengan baik. Ada tiga hal pokok dalam berkomunikasi, yakni mampu 
membaca, menulis, dan mendengarkan (menyimak) dengan baik. Selain tekun belajar 
membaca dan menulis, para calon pemimpin juga harus tekun belajar mendengarkan 
dengan baik. Untuk mewujudkan ini, janganlah membiasakan diri menunduk ketika 
mendengarkan orang yang sedang berbicara. Anda harus menatap lawan bicara Anda, 
karena pesan tidak hanya bersifat verbal, tapi juga nonverbal. Sering sekali 
pesan yang "diucapkan" oleh bahasa tubuh sang pembicara jauh lebih bermakna 
ketimbang pesan verbalnya. 


Para calon pemimpin, terutama para calon anggota DPR/DPR, DPD, dan Kepala 
Daerah, sebelum bertarung dalam Pemilu tahun depan atau Pilkada (kapanpun), 
belajarlah jadi komunikator yang baik. Anda jangan hanya mampu berbicara dengan 
baik dan mau didengarkan saja, tapi harus juga sanggup menulis dan mendengarkan 
(menyimak dan memersepsikan) dengan baik suara orang lain atau rakyat. Sebelum 
menjadi pembicara yang baik, Anda haruslah terlebih dahulu menjadi pendengar 
yang baik. Kalau mau dihormati dan dihargai, Anda harus terlebih dahulu 
menghargai dan menghormati lawan bicara dengan mendengarkannya secara tulus dan 
serius. 

Penulis, dosen Jurusan Jurnalistik, Fikom Unpad, Jatinangor, Jabar.

Kirim email ke