Sewaktu menghadiri shalat Jumat, saya sering mendengar khatib berkata:
"*sebagai
umat Islam kita harus menuruti dan menjalankan apa-apa yang diperintahkan
dalam Alquran, dan menjauhi apa-apa yang dilarang di dalam Alquran agar kita
menjadi orang-orang yang bertakwa…*" Ucapan ini memang mudah diucapkan, dan
terkesan mudah pula dilakukan (bagi yang mau melakukan). Ketika kesekian
kalinya saya mendengar ucapan ini, saya menjadi teringat satu problema dalam
ilmu fiqih yang diangkat pertama kali oleh Imam Al-Syafi'i (w. 204 H/820 M)
dalam kitabnya Al-Risalah. Berikut ini adalah kisahnya (biar menarik dibaca,
kisah ini tidak lagi seharfiah redaksi aslinya) :

"Suatu ketika seorang laki-laki berangkat ke pasar. Ia berniat membeli
budak. Ia kemudian membeli budak perempuan. Setelah budak itu menjadi
miliknya, dan tinggal di rumahnya, ia pun berkali-kali melakukan hubungan
seksual dengan budak perempuan itu.

[Karena perbudakan sekarang menjadi sesuatu yang emoh untuk difikirkan, saya
akan menjelaskan sedikit: di dalam fiqih Islam hubungan seksual antara
laki-laki pemilik budak dengan budak perempuan tidak dilarang. Tidak ada
akad nikah, pemberian mas kawin, atau prosesi apa pun sebelum hubungan
seksual itu berlangsung. Jika budak perempuan itu hamil dan melahirkan anak,
maka anak itu statusnya tetap budak, tetapi ibunya naik status sedikit
menjadi ummu walad, tetapi masih tetap budak. ]

Setelah beberapa lama, si laki-laki menjadi tahu bahwa budak yang dibelinya
ini adalah saudara perempuannya. Nah lho... Besar kemungkinan si laki-laki
adalah mantan budak yang kini merdeka dan menjadi berkecukupan, dulu
orangtuanya juga budak, saudara-saudarinya pun budak. Atau bisa jadi, budak
perempuan ini seayah dengannya tapi lain ibu, dan karena berbagai hal yang
tragis, si adik perempuan pun akhirnya menjadi budak dan diperjualbelikan.
Terus jadi gimana masalah ini?
Kita lihat pokok masalahnya .....

Si laki-laki membeli budak perempuan dan kemudian melakukan hubungan seksual
dengan budaknya itu. Keadaan ini dibolehkan oleh Alquran, malah dianggap
baik-baik saja. Hasanah bi dzatiha. Alquran di dalam Surah Al Mukminun ayat
5 membolehkan perilaku seperti ini:

qad aflaha'l mu'minun
alladzina hum fi shalatihim khasyi'un
walladzinahum 'ani'l laghwi mu'ridhun
walladzinahum lizzakati fa'ilun
walladzinahum li furujihim hafizhun
illa 'ala ajwazihim aw ma malakat aymanuhum, fainnahum ghairu malumin
(Alquran Surah Al Mu'minun 1 – 5)

[sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman
yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya
dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang
tidak berguna
dan orang-orang yang menunaikan zakat
dan orang-orang yang menjaga penisnya
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki;
maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela ]

Ketika lama kemudian si laki-laki menjadi tahu bahwa budak perempuan itu
adalah adiknya, maka hubungan ini menjadi incest, dan sangat dilarang.
Qabihah bi dzatiha. Haram tanpa kompromi, karena Alquran dalam Surah An-Nisa
ayat 23 melarangnya:

Hurrimat 'alaikum ummahatukum, wa banatukum, wa akhawatukum, ....
(diharamkan bagi kamu sekalian untuk menikahi ibu-ibumu [maksudnya ibu
kandung terus ke nenek terus ke atasnya nenek], anak-anak perempuanmu [anak
terus ke cucu dan seterusnya], dan saudara-saudara perempuanmu .........
dst.)

Dalam kasus di atas, si perempuan adalah saudarinya dan sekaligus budaknya.
Kebolehan melakukan hubungan seksual dengan budak yang ditetapkan dalam
Surah Al Mu'minun ayat 1-5 menjadi tidak relevan. Surah An-Nisa ayat 23
harus dimenangkan. Kenapa harus dimenangkan? Bisa jadi hati nurani dan akal
sehat si laki-laki yang berkata demikian. Atau bisa juga sebuah fatwa dari
seorang ahli fiqih yang mengangkat dua kaidah fiqih seperti: dar`u'l
mafasidi awla min jalbi'l mashalihi (menghilangkan keburukan lebih utama
dari memperoleh kemaslahatan) dan fa idza ta'aradha mafsadatun wa
mashlahatun quddima daf'ul mafsadati ghaliban (apabila bertemu keburukan dan
kebaikan dalam satu masalah, maka utamakanlah menghilangkan keburukan).

Kaidah-kaidah fikih di atas saya kutip dari kitab berjudul al-Asybah
wa'l-Nazhair karya Ibnu Nujaim (w. 970 H/ 1562 M). Kaidah-kaidah ini adalah
hasil penalaran hukum para fuqaha dari berbagai dalil seperti Alquran, hadis
Nabi Muhammad, fatwa-fatwa para mujtahid besar, dan hal-hal lain. Jika pun
kaidah-kaidah ini dilepaskan dari sumber-sumber religius, sifatnya tetap
rasional, karena dalam banyak kasus, bunyi kaidah-kaidah fiqih menjadi sama
dengan maxim hukum berbahasa Latin yang berasal dari penalaran rasional,
contohnya seperti al-hukmu yaduru ma'a 'ilatihi wujudan wa 'adaman (hukum
itu akan terus berlaku bila reason-nya masih terus ditemukan dan
berlangsung, dan hukum itu menjadi tidak berlaku lagi jika reason-nya tidak
ada lagi) yang sama dengan mutata legis ratione mutatur et lex (the law is
changed if the reason of law is changed).

Saya mengangkat kisah di atas agar kita memikirkan kembali bahwa Alquran dan
hadis sesungguhnya adalah bahan mentah. Seorang ahli fiqih dapat diibaratkan
seorang chef (koki profesional) yang mengolah bahan-bahan mentah tersebut.
Kitab-kitab fiqih klasik yang ditulis oleh para fuqaha di masa lalu dapat
diibaratkan dengan kumpulan resep-resep masakan yang telah mengolah banyak
bahan mentah menjadi masakan yang lezat. Membuang semua resep-resep itu
tidak menjamin hasil kerja koki di zaman sekarang lebih baik dari yang
dihasilkan para koki di masa lalu.

Para fuqaha klasik dan kitab-kitab fiqih yang mereka hasilkan adalah pilar
terakhir rasionalitas di dalam tradisi pemikiran Islam, setelah filsafat dan
ilmu kalam. Tradisi fiqih adalah tradisi rasional, karena peran akal sehat
menjadi sangat menonjol ketika berhadapan dengan dalil-dalil yang
berbenturan dan ambigu. Kini pilar terakhir ini semakin lama semakin lenyap,
perlahan-lahan hilang ditengah menjamurnya para "koki" tanpa resep. Para
"koki" yang pada hakikatnya hanyalah "tukang sayur". Para "tukang sayur" ini
memang mengetahui beragam jenis sayur mayur, ikan, dan bawang, tetapi tidak
pernah belajar menjadi "koki" dan menganggap tidak ada gunanya mempelajari
apa yang ditulis oleh para 'koki". Kini mereka menggusur para "koki", dan
mulai menyajikan bahan-bahan mentah tanpa diolah untuk sarapan hingga makan
malam.

Para "koki" di masa lalu memang menghasilkan banyak perbedaan resep masakan,
dan beberapa "chef" membentuk aliran cara memasak yang menjadi mazhab para
"koki" yang hidup di era selanjutnya. tetapi para "tukang sayur" di masa
kini gerah dengan banyaknya mazhab para koki di masa lalu, mereka lalu
memaksakan makanan yang orisinal, tunggal tanpa perbedaan cara memasak,
sesuatu yang otentik tanpa perubahan, tanpa perlu dimasak.

Para "tukang sayur" ini bisa ditemukan di banyak tempat, dan runyamnya lagi
para "tukang sayur" ini sekarang semakin banyak di Indonesia. Di Saudi
Arabia para "tukang sayur" ini berkumpul di al-Lajnah al-Daimah li'l-Buhuts
al-'Ilmiyyah wa'l ifta' (The Permanent Council for Scientific Research and
Legal Opinions), namanya aja yang wah..

Di Lajnah ini berkumpullah pemuka-pemuka Islam Wahabi, seperti 'Abdul Aziz
bin Abdullah bin Baz (1911-1999), sampai meninggalnya ia adalah mufti agung
Kerajaan Saudi Arabia. Muhammad bin Shalih bin 'Utsaimin (1927 - .... ).
Abdullah bin Jibrin (1930 - .... ); dan Shalih bin Fauzan yang juga memimpin
al-Ma'had al-'Ali li'l Qudah (Supreme Judicial Council).

Sekarang coba kita perhatikan beberapa hasil fatwa kaum Wahabi ini :

*PERTANYAAN 1*
Saya ingin mengirimkan foto saya kepada istri, keluarga, dan teman-teman
saya, karena sekarang saya berada di luar negeri. Apakah hal ini dibolehkan?

JAWABAN (oleh komite ulama Lajnah dalam Fatawa al- Lajnah)
Nabi Muhammad di dalam hadisnya yang sahih telah melarang membuat gambar
setiap makhluk yang bernyawa, baik manusia atau pun hewan. Oleh karena itu
Anda tidak boleh mengirimkan foto diri Anda kepada istri Anda atau siapa
pun.

*PERTANYAAN 2*
Apakah hukumnya jika seorang perempuan mengenakan beha (kutang atau bra) ?

JAWABAN (oleh Abdullah bin Jibrin dalam Fatawa al- Lajnah)
Banyak perempuan yang memakai beha untuk mengangkat payudara mereka supaya
mereka terlihat menarik dan lebih muda seperti seorang gadis. Memakai beha
untuk tujuan ini hukumnya haram. Jika beha dipakai untuk mencegah rusaknya
payudara maka ini dibolehkan, tetapi hanya sesuai kebutuhan saja.

*PERTANYAAN 3*
Apakah hukumnya Saudi Arabia membantu Amerika Serikat dan Inggris untuk
berperang melawan Irak? (ini kasus Perang Teluk pertama sewaktu Bush senior
jadi Presiden Amerika Serikat)

JAWABAN
Hukumnya adalah boleh (mubah). Alasannya karena (1) Saddam Husein telah
menjadi kafir, jadi Saudi Arabia memerangi orang kafir dan bukan seorang
Muslim (2) Mencari bantuan dari Amerika Serikat dan Inggris adalah suatu hal
yang mendesak (dharurah) (3) Tentara Amerika sama statusnya dengan tenaga
kerja yang dibayar. Tentara Amerika bukanlah aliansi kita, tetapi kita
mempekerjakan mereka untuk berada di pihak umat Islam untuk berperang
melawan orang kafir (yaitu Saddam Hussein).

Tampaknya Lajnah ini mengurus banyak hal, dari beha hingga perang teluk.
Yang menyedihkan adalah fatwa-fatwa itu tampak berasal dari kondisi absennya
rasionalitas yang cukup akut. Lenyapnya akal sehat untuk jangka waktu yang
cukup lama. Fatwa-fatwa di atas juga tidak menunjukkan adanya koherensi,
tidak terlihat dipakainya metode penetapan hukum yang dikembangkan para
fuqaha klasik, tidak ada pula pendekatan melalui kaidah-kaidah fikih, dan
tidak ada usul fikih. Yang tersisa hanyalah wacana hukum yang otoritarian.

Pada tahun 1990-an dulu, K.H. Ali Yafie yang benar-benar memahami fikih,
seorang "koki" dengan banyak jam terbang, mengangkat kaidah fikih: idza
ta'aradha mafsadatani ru'iya a'zhamuhuma dhararan bi irtikabi akhaffihima
(apabila bertemu dua keburukan, maka pertimbangkan mana yang paling besar
dampak keburukannya, lalu pilihlah yang dampak keburukannya lebih kecil).

Kaidah fikih di atas ia jadikan justifikasi ketika ia berpendapat bahwa
lokalisasi bagi para pekerja seks komersial (psk) lebih baik daripada
membiarkan mereka mencari pelanggannya di mana-mana. Karena memang belum ada
hukum yang jelas melarang prostitusi, dan prostitusi tampaknya tidak bisa
dihentikan sebelum perekonomian, kesempatan pendidikan, dan kesempatan kerja
menjadi lebih baik. Apa yang terjadi kemudian? K.H. Ali Yafie dengan segera
dihujat dan dikecam oleh banyak "tukang sayur". Ia dituding sebagai kiai
sesat, dan bermacam-macam julukan negatif lainnya. Padahal setahu saya, KH.
Ali Yafie adalah sosok ulama sederhana yang berfikir dan bernalar dari sudut
pandang ilmu fiqih.

Di Jakarta, saya pernah menghadiri ceramah seorang penceramah kondang yang
sudah dianggap ulama oleh yang menganggap (mungkin tidak etis jika saya
menyebut nama "tukang sayur" ini). Di akhir ceramah, ada yang bertanya: "Pak
Ustadz, apakah hukumnya meng-qadha shalat"? (meng-qadha shalat adalah
melakukan shalat fardhu sebagai ganti dari shalat fardhu yang tidak
dilakukan pada suatu waktu). Pak Ustadz ini dengan yakin dan berwibawa
langsung menjawab: "di dalam Islam tidak ada yang namanya qadha shalat."
Jawaban yang luar biasa, karena setahu saya empat mazhab fiqih utama
(Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanbaliyah) membolehkan qadha shalat
kecuali mazhab Zahiriyah yang minoritas. Tapi sebenarnya bagi saya yang
paling menarik adalah kata-kata "di dalam Islam......" Ini adalah jawaban
standar para "tukang sayur". Dalam kitab-kitab fiqih klasik tidak pernah
tertulis jawaban "di dalam Islam....." atau "menurut Islam....", yang ada
hanyalah "di dalam mazhab Syafi'i..." atau "menurut pendapat yang berlaku di
kalangan mazhab Hanafi....". Para fuqaha klasik ini rendah hati, mereka
tidak pernah mengklaim. Tapi para "tukang sayur" ini benar-benar arogan.
Ketika ia menyatakan "di dalam Islam..." atau "menurut Islam..." maka secara
tidak langsung ia telah menggusur setiap narasi atau siapa saja yang tidak
sependapat dengan dia dari ruang lingkup Islam." Menggusur... seperti
Sutiyoso saja. Bayangin aja empat mazhab fikih besar koq digusur sehingga
sekarang berada di luar Islam.


*Penolakan Capres Wanita*

Ketika isu penolakan presiden perempuan menghangat, saya sempat dijadikan
obyek indoktrinasi oleh seorang "tukang sayur". Ia berasal dari perkumpulan
'Jama'ah Tabligh'. (menurut seorang teman, cara dakwah door to door Jama'ah
Tabligh ini mirip dengan 'Saksi Jehova' dalam Kristen Protestan. Saya pikir
asyik juga kalau bisa mempertemukan antara Jama'ah Tabligh dan Saksi Jehova,
biar mereka saling mendakwahi, saling menggembalai. Minimal kalau difilmkan
dengan kamera video digital bisa menang di Festival Film Indie di MTV).

"tukang sayur" dari Jama'ah Tabligh ini dengan segera mencecar saya, berikut
dialognya, huruf kapital menandakan perkataan dari "tukang sayur".

*"ANDA MUSLIM KAN, ANDA SETUJU KALAU PEREMPUAN JADI PRESIDEN?"*

"setuju saja, asal dia mampu, memang kenapa?"

*"LHO, ANDA INI GIMANA, ISLAM MENGHARAMKAN PRESIDEN PEREMPUAN.."*

"kok Anda tahu Islam mengharamkan presiden perempuan?"

*"ADA HADISNYA. NABI MUHAMMAD MELARANG PEMIMPIN PEREMPUAN, KALAU PEREMPUAN
JADI PEMIMPIN MAKA RUSAKLAH NEGARA."*

"Oo.. begitu ya. Jadi menurut Bapak bagaimana cara kita menjalankan hadis
Nabi secara benar?"

*"HARUS APA ADANYA, GIMANA DI DALAM HADIS YA YANG BEGITU ITU KITA JALANKAN,
SAMI'NA WA ATHA'NA. SAYA DENGAR SAYA TAAT. GAK BOLEH DIUBAH-UBAH, JANGAN DI
BOLAK-BALIK MAKNANYA!"*

"oo.. jadi harus apa adanya?"
*
"IYALAH!"*

"Bapak pernah tau gak ada hadis yang sama sahihnya dengan hadis pelarangan
pemimpin perempuan?"
*
"APA TUH?"*

"al-aimmah minal Quraisy, pemimpin itu haruslah berasal dari Suku Quraisy.
Kalau menurut hadis ini hanya orang Arab dari suku Quraisy yang boleh jadi
presiden. Laki-laki pun kalau bukan Suku Quraisy gak boleh jadi presiden di
Indonesia Pak.. Kita harus impor dari Arab."
*
"YAAH, SITUASINYA KAN UDAH BEDA, KITA HARUS LIHAT KEADAANNYA SEKARANG
DONG.."*

"tapi tadi bapak bilang hadis harus dijalankan apa adanya, gak boleh
dibolak-balik pemahamannya?"

"...?!?!"



Tahun 1999, di kampus IPB Bogor, dalam suatu kesempatan saya pernah
iseng-iseng menghadiri tabligh akbar organisasi Hizbut Tahrir. Organisasi
"tukang sayur" internasional yang radikal. Salah seorang penceramah dengan
gagah perkasa mengatakan "nation state, demokrasi, dan hak-hak azasi manusia
bertentangan dengan Islam." Para hadirin yang hampir semuanya adalah
mahasiswa-mahasiswi IPB Bogor serentak merespons dengan teriakan "Allahu
Akbar". Luar biasa, mahasiswa-mahasiswi sebuah institut negeri yang
bergengsi dengan gampang diindoktrinasi dan dicuci otak oleh komplotan
"tukang sayur". Hebatnya lagi "tukang sayur" itu tidak mengangkat dalil apa
pun ketika ia mengatakan nation state, demokrasi, dan hak-hak azasi manusia
bertentangan dengan Islam, ia tidak mengutip Alquran dan hadis seperti
lazimnya "tukang sayur profesional". Tampaknya ada spesies baru "tukang
sayur" di IPB Bogor ini, spesies yang paling memprihatinkan.

Ketika acara di IPB itu selesai, saya keluar dari ruangan itu. Saya
perhatikan mahasiswa IPB yang rata-rata berjenggot, memakai celana gantung
(di atas mata kaki), yang mahasiswi terbungkus jilbab rapat, ada juga yang
bercadar. Sebagian mereka memegang buku-buku. Saya melirik melihat judulnya,
ada Statistik, Ekonomi Pertanian, Teori Ekonomi Mikro, Ekonomi Pembangunan,
Ilmu Kimia, dan banyak lagi. Semuanya ilmu-ilmu yang dibangun di atas
rasionalitas dan dipahami secara rasional. Tetapi dimana mereka menitipkan
rasionalitas ketika menghadiri indoktrinasi para "tukang sayur" di ruangan
tadi?

Para "tukang sayur" dengan kemampuan retorika yang luar biasa akhirnya
memang meraih banyak pendengar dan pengikut, lambat laun para "tukang sayur"
ini tampaknya akan menang perang dalam menggusur para "koki".

Saya jadi teringat sebuah hadis Nabi Muhammad yang pernah saya dengar di
pesantren dulu (tapi sayangnya saya lupa redaksinya dan sampai sekarang
belum ketemu perawinya), kurang lebih hadis itu artinya begini: "akan datang
suatu zaman bagi umatku dimana pada masa itu banyak sekali pendakwah, dan
sedikit ulama."

Hadis di atas itu sekarang saya pahami menjadi "*akan datang suatu zaman
bagi umatku dimana pada masa itu banyak sekali 'tukang sayur', dan sedikit
sekali 'koki'*."


wallahu a'lam bi'l shawab.
Wednesday, March 16, 2005
Diposting oleh *Sayed Mahdi* di 3/16/2005 03:34:00 PM 9

Kirim email ke