PKS Taliban?

Tulisan I Made Artjana soal nasionalisme Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 
cukup menarik untuk ditanggapi. Dibandingkan dengan partai-partai Islam lain, 
PKS memang paling mendapat sorotan. 

Banyak kalangan memang mencurigai partai yang berasal dari anak muda kampus 
ini mengusung agenda tersembunyi. Yang paling banyak dicurigai partai ini 
merupakan partai trans nasionalis dan mengusung semangat Pan Islamisme. 

Karena itu para politisi lain secara diam-diam menjuluki mereka sebagai 
Taliban, merujuk pada kelompok pelajar di Afghanistan yang mengambilalih 
kekuasaan dan memberlakukan aturan-aturan Islam tradisional secara tegas.

Apakah kecurigaan mereka berdasar atau sekedar kecemburuan? Sebab partai ini 
secara fantastis mampu mengubah dirinya dari partai yang tidak lolos ET pada 
Pemilu 1999, menjadi salah satu pemenang Pemilu 2004?

Dibandingkan dengan partai-partai lain yang mengaku berazas Islam (PPP, PBR) 
atau partai yang berbau Islam (PAN dan PKB), langkah-langkah PKS memang sangat 
mencuri perhatian. Partai ini membawa berbagai perubahan dalam tradisi dan 
praktik politik di Indonesia. 

Pada kampanye Pemilu 2004, massa PKS merebut simpati karena selalu tampil 
tertib dan santun. Mereka juga mempunyai ‘pasukan semut’ yang bertugas 
membersihkan sampah dari lokasi bekas kampanye. Beda dengan sejumlah massa 
partai yang acap tampil beringas dan menakutkan ketika menggelar kampanye.

Kekaguman orang kian berlanjut, ketika sejumlah anggota dewan dari sejumlah 
partai banyak terlibat dalam skandal korupsi dan skandal seks, para anggota PKS 
malah ramai-ramai mengembalikan uang suap. Di sejumlah daerah praktik serupa 
juga terjadi. Belum lama ini, di Kutai Kertanegara, Kaltim yang memiliki 43 
orang anggota DPRD, 40 orang di antaranya diseret ke pengadilan karena korupsi. 
Hanya 3 orang yang tidak terlibat. Mereka adalah anggota Fraksi PKS. 

Berbagai praktik politik ‘yang baik dan benar’ ini barangkali bisa 
menjelaskan mengapa kemudian sejumlah Pilkada dimenangkan oleh calon yang 
diusung PKS. Yang paling fenomenal adalah kemenangan pasangan Ahmad 
Heryawan-Dede Yusuf pada Pilkada Jabar. 

Sebelumnya jago PKS juga sempat mengguncang DKI. Dikeroyok oleh 20 partai, 
pasangan Adang-Dani yang diusung PKS hanya kalah tipis lawan Fauzi 
Bowo-Prijanto. Trend kemenangan itu juga berlanjut di sejumlah daerah. 
Barangkali dalam hal Pilkada, PKS hanya kalah dibanding Golkar dan PDIP. Dengan 
performans semacam itu wajar kalau keberadaan PKS menjadi diwaspadai oleh 
partai 
lainnya.

Kembali ke soal nasionalis atau tidak? Saya setuju dengan parameter yang 
digunakan oleh I Made Artjana terutama pada parameter ketiga yakni performans 
partai. Namun saya tidak hanya membatasi pada wilyah dimana PKS menang Pilkada, 
namun performans secara keseluruhan.

Ketika PKS menang pada Pemilu DKI, banyak yang khawatir akan lahir sejumlah 
Perda Syariah. Tempat hiburan malam ditutup, para pelacur diburu, dan minuman 
keras dilarang. Ternyata sampai saat ini tak ada Perda semacam itu. Yang 
membuat 
Perda Syariah justru Walikota Tangerang Wahyudin Halim yang notabene calon yang 
diusung Golkar. Begitu juga dengan Jawa Barat. Sejauh ini tak terdengar ada 
gerakan yang mengarah pada Islamisasi.

Yang kita bisa amati sekarang, justru terlihat ada kecenderungan PKS mulai 
bergerak ke kanan tengah. Ini misalnya terlihat ketika mereka menyatakan 
sebagai 
partai terbuka dalam Mukernas di Bali. Pilihan Bali sebagai tempat Mukernas pun 
sudah menyiratkan ada yang berubah pada partai ini. Acara-acara besar PKS juga 
tidak lagi didominasi dengan hiburan nasyid. Sejumlah band seperti coklat dan 
Nidji pernah tampil dalam perhelatan PKS. Irama rock malah lebih terasa 
dibandingkan nasyid. 

Apakah mungkin kelompok Taliban yang melarang anak-anak wanita ke sekolah, 
membiarkan pertunjukan semacam itu, apalagi mengundangnya?

Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh PKS itu pasti, bukan tanpa 
kesengajaan. Seolah ingin menepis keraguan tentang nasionalisme mereka, saat 
ini 
kita bisa melihat atribut bendera putih seolah tak terpisahkan dengan mereka. 
Para petinggi partai, termasuk Ketua Dewan Syuro PKS Hilmi Aminudin selalu 
menggunakan simbol merah putih mencolok dibajunya.

Ketika memilih 100 orang pemimpin muda, ternyata PKS juga tidak hanya memilih 
figur yang dikenal dengan latar belakang Islam yang kental. Sejumlah tokoh muda 
dari partai lain, seperti PDI, PPP dan Golkar termasuk dalam deretan 100 nama 
tadi.

Apakah semua langkah tadi merupakan sebuah strategi menghilangkan jejak? Saya 
kira untuk sebuah partai yang mempunyai idiologi kuat seperti PKS tidak mungkin 
melakukan kompromi hanya untuk kepentingan-kepentingan semacam itu. Walaupun 
tidak lepas dari sebuah upaya untuk meraih suara sebanyak mungkin pada Pemilu 
2009, langkah-langkah tersebut patut kita hargai.

Mencurigai kelompok lain atau mengklaim bahwa kita paling nasionalis dan yang 
lain tidak, adalah sikap yang berbahaya.


Billy Duta Adhyasta, [EMAIL PROTECTED]


      
___________________________________________________________________________
Dapatkan nama yang Anda sukai!
Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

Kirim email ke