[BUKU INCARAN]

Warisan Orang Tionghoa di Indonesia
---Anwar Holid

Peranakan Tionghoa Indonesia: Sebuah Perjalanan Budaya 
Penulis: Gondomono, et al.
Penyunting: Al. Heru Kustara
Penerbit: Intisari Mediatama dan Komunitas Lintas Budaya Indonesia, 2009
Tebal: 352 hal., dengan ilustrasi berwarna dan peta; p. 31 cm. 
ISBN: 979-3590-88-1


Saya pertama kali lihat buku Peranakan Tionghoa Indonesia di perpustakaan Bale 
Pustaka. Begitu lihat-lihat, dalam hati saya bilang, "Wah, bagus amat buku 
ini."  Buku ini berukuran besar, hard cover, tebal, menggunakan art paper, 
penuh ilustrasi bagus, dan disiapkan dengan cukup baik. Di Bale Pustaka buku 
ini masuk ruang referensi, artinya hanya boleh dibaca di tempat dan dilarang 
dibawa ke rumah oleh anggotanya.

Untunglah Rumah Buku segera mengoleksi buku itu. Ternyata akuisisinya terjadi 
dari kebetulan yang malah menyisakan persoalan belum beres. Jadi setiap kali ke 
perpustakaan favorit itu, saya berusaha menyempatkan membaca-baca, 
memperhatikan detail, termasuk memperhatikan ilustrasinya yang kaya. Sampai 
akhirnya saya pinjam dan berusaha tuntas membacanya.

Sesuai anak judul, buku ini berusaha fokus meliput seluruh budaya orang 
Tionghoa di Indonesia. Isinya terdiri dari dua belas bab hasil sumbangan 
delapan penulis keturunan Tionghoa ahli di bidang masing-masing, jadi 
otoritatif dan meyakinkan. Selengkapnya sebagai berikut:
1/ Masyarakat dan Kebudayaan Peranakan Tionghoa (Gondomono)
2/ Menjadi Peranakan Tionghoa (Mona Lohanda)
3/ Unsur Lokal dalam Ritual Peranakan (Mona Lohanda)
4/ Perkembangan Arsitektur Tionghoa di Indonesia (Handinoto)
5/ Sastra Melayu Tionghoa (Myra Sidharta)
6/ Pers Melayu Tionghoa (Myra Sidharta) 
7/ Ragam Pakaian Kaum Peranakan (David Kwa)
8/ Gambang Kromong dan Wayang Cokek (David Kwa)
9/ Aneka Jenis Bahan Perabotan (Musa Jonatan)
10/ Motif Dekorasi, Arti, dan Kisah di Baliknya (Musa Jonatan)
11/ Aneka Rupa Masakan Peranakan (Helen Ishwara)
12/ Sistem Ukuran dan Fungsi Perabot (Rusdi Tjahyadi)

Terbayang betapa isinya cukup komprehensif, belum lagi detail isinya terbilang 
kaya, karena tiap bab merupakan esai panjang yang ditulis menarik dan 
informatif. Ini membuat buku tersebut pantas jadi referensi kajian budaya bagi 
keragaman penduduk Indonesia. Dari detail itulah berbagai informasi tambahan 
lain bermunculan, sekaligus memperlihatkan dengan sangat terang betapa 
Indonesia benar-benar terdiri dari berbagai bangsa dan budaya (multi budaya dan 
ras), lantas secara dinamik maupun eksklusif bercampur di sebuah tempat 
kepulauan bernama Indonesia. Sementara budaya Tionghoa Indonesia juga 
memperlihatkan wajahnya yang sangat kaya, dinamik, sekaligus telah mewariskan 
budaya yang sangat membekas dan tak terasa memberi warna bagi kebiasaan kita 
semua. Dari buku ini juga tecermin betapa hubungan orang Tionghoa di Indonesia 
beserta segala dinamikanya naik-turun, bahkan kerap mengalami pelanggaran HAM 
dan sikap diskriminatif. 

Istilah "peranakan" maupun "Tionghoa" sebenarnya bermasalah, kalau bukan berbau 
prasangka rasialis. Mungkin istilah "etnik Tionghoa" lebih netral, mengingat 
kita bisa menerima istilah "etnik Sunda, etnik Batak" dan sebagainya. Istilah 
bermasalah melahirkan prasangka buruk, stereotipe, maupun stigma (cap buruk 
yang sulit diterima) sampai akhirnya menumbuhkan kecurigaan tanpa sadar. Ini 
lama-lama bisa mengerikan dan tetap menghalangi akulturasi secara alamiah dan 
damai. Sejak zaman Reformasi (1998) sebutan "peranakan Tionghoa" dianggap lebih 
sopan dari istilah "orang Cina" yang terasa mengandung kesan kebencian karena 
ditumbuhkan politik awal Orde Baru yang memusuhi negara Cina (RRC) sebab 
ditengarai membantu Gerakan 30 September (Asvi Warman Adam, 2009). Padahal 
orang Indonesia mengenal istilah "Pecinan" atau "obat Cina", dan tidak ada 
istilah "Pertionghoaan." Apa salahnya istilah "orang Cina", "peranakan 
Tionghoa", bahkan "Cokin" sekalipun, selain
 prasangka buta? Tentu ada kesadaran bawah kolektif yang membuat istilah itu 
jadi berkonotasi buruk.

Meski sejarah membuktikan bahwa bangsa Tionghoa sudah datang dan berinteraksi 
dengan penduduk di kepulauan Indonesia jauh lebih awal dan lama dibandingkan 
orang Arab---apalagi Eropa---kini kesan interaksi itu seakan-akan tinggal jadi 
relik yang sia-sia. Bangsa Tionghoa datang ke Indonesia sebagian akibat dari 
diaspora bangsa Cina yang tinggal di pesisir Laut Cina Selatan. Sungguh 
menarik, Wikipedia Indonesia mencatat betapa istilah "Tionghoa" itu khas 
Indonesia, yakni dari kata "Cung Hwa." Istilah ini tidak dikenal (diucapkan dan 
terdengar) di luar masyarakat Indonesia, misal Malaysia dan Thailand. Mestinya 
bukti ini jadi pelajaran berharga buat kita bahwa penduduk Nusantara telah 
menerima orang Tionghoa sejak awal. Sie Hok Tjwan (1999) menulis: "Sebelum 
kedatangan kaum kolonialis dari Eropa, hubungan orang Tionghoa dengan orang 
pribumi di wilayah Indonesia tidak menunjukkan persoalan ras." Perhatikan juga 
betapa kaum Muslim Indonesia sangat bangga
 kepada Laksamana Cheng Ho yang menurut sejarah menyebarkan ajaran Islam di 
sepanjang pantai Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Namun dengan tabiat prasangka 
buruknya, rezim Orde Baru melarang peredaran buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa 
dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (1968) karya Prof. Slamet 
Muljana sampai sekarang. Menurut Asvi, tesis buku itu patut dikaji ulang karena 
mengungkapkan bukti yang menyatakan bahwa Walisongo---organisasi ulama paling 
berpengaruh dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa---adalah keturunan 
Tionghoa, bertentangan dengan keyakinan umum selama ini yang berpendapat bahwa 
Walisongo ialah keturunan Arab. 

Sebagai bangsa yang datang ke tempat baru karena diaspora dan terbukti bisa 
hidup rukun dengan penduduk setempat atau membuka berbagai tempat baru, 
mestinya kita bisa belajar dari blunder sejarah politik penguasa Indonesia yang 
beberapa kali memperlakukan keturunan Tionghoa dengan buruk, dan itu membuat 
sebagian dari mereka bersikap eksklusif---meski fenomena eksklusivitas hadir di 
setiap etnik. Inilah pentingnya makna buku ini bagi kita. Ia merupakan bentuk 
upaya rekonsiliasi dari bangsa yang sudah lebih dari satu dekade ini berusaha 
menyembuhkan diri dari bencana sosial, gejolak politik, dan krisis ekonomi. 
Irwan Julianto dari Komunitas Lintas Budaya Indonesia yang memprakarsai buku 
ini menulis di kata pengantar: "bangsa yang besar ialah bangsa yang dapat 
berdamai dengan dirinya sendiri." Setelah berbagai peraturan politik yang 
tolol, prasangka sosial, kecemburuan, pengambinghitaman, serta pelanggaran HAM, 
saatnya kini kita bersikap terbuka dan
 berinteraksi lebih baik, meninggalkan perilaku rendahan kaum fanatik cupet 
yang suka mengancam pihak yang berlainan keyakinan dan pandangan. 

Keunggulan utama buku ini jelas tampak dari ilustrasi yang sangat kaya, baik 
berasal dari arsip lama hingga detail yang hebat. Suasana Pecinan lama, budaya 
lama Tionghoa, arsitektur, ragam batik dan baju khasnya, pernik perabot rumah 
tangga, juga kekayaan kuliner muncul secara artistik. Sayang, justru dari 
ilustrasi inilah muncul persoalan pelanggaran hak cipta sebagaimana disinggung 
di awal, persisnya sembilan foto ilustrasi pada bab Gambang Kromong dan Wayang 
Cokek (David Kwa). Foto-foto tersebut berasal dari film Anak Naga Beranak Naga 
(2006) karya Ariani Darmawan, yang dimuat tanpa pemberitahuan dan izin kepada 
pemiliknya lebih dulu.


Dari esai, Gondomono dan David Kwa berbeda pendapat soal makna istilah 
"peranakan." Gondomono menyatakan peranakan berasal dari jabatan Kapitein der 
Parnakkan-Chineezen (hal. 41), yang mengacu pada keturunan Tionghoa Muslim; 
sedangkan David Kwa menyatakan peranakan ialah "mereka yang diperanakkan di 
tanah ini" (hal. 134)---jadi lebih universal dan berlaku bagi semua penduduk 
Indonesia. Ada kesan para penulis sebenarnya agak enggan menggunakan istilah 
"peranakan Tionghoa", lebih suka langsung disebut orang Cina atau Tionghoa 
saja---sama dengan kita tanpa beban bilang sebagai "orang Madura" atau "orang 
Papua." Persoalan seperti ini memang cukup pelik dan beban politiknya berat. 
Kita mesti memberi kesempatan mana istilah yang akan lebih diterima dengan rela 
dan bangga, termasuk kemungkinan kembali menggunakan nama dan bahasa khas Cina. 
Bukankah ini akan memperlihatkan kekayaan budaya Indonesia?

Penyuntingan buku ini boleh dibilang memuaskan, meski tetap ada salah eja atau 
inkonsistensi penulisan terjadi di sejumlah halaman, bahkan di halaman 
copyright. Secara keseluruhan, buku ini memberi lebih dari sekadar memperkaya 
wawasan dan kebangsaan, melainkan juga kepuasan batin dan estetika.[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  
http://halamanganjil.blogspot.com. 

KONTAK: war...@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 
40141.

Situs terkait:
http://www.rukukineruku.com (untuk sewa buku dan info film Anak Naga Beranak 
Naga dan Sugiharti Halim)
http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia
http://www.indonesiamedia.com/rubrik/manca/manca99november-sejarah.htm (artikel 
Sie Hok Tjwan, "Sejarah Keturunan Tionghoa yang Terlupakan")


Anwar Holid: penulis, penyunting, publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: war...@yahoo.com | (022) 2037348 | 085721511193 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.visikata.com
http://www.gramedia.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


      

Kirim email ke