Bung Ary,

Kalau mau bagi2 duit kepada yang ngga punya ktp dan kartu keluarga tetap bisa.
Orang2 ahli bencana ada tekniknya.

Masalahnya ada ditempat lain. Yaitu untuk apa bagi2 duit untuk orang yang belum 
sepenuhnya masuk budaya duit.
Jadi memang seharusnya resep itu harus ada variasi.
Untuk mereka harusnya ada kompensasi bentuk lain. Tetapi justru disini 
diperlukan birokrasi yang trampil dan bersemangat yang justru tidak kita miliki.

Salam

Hok An


Ari Condro schrieb:

> Kesimpulan chatib basri ini agak flawles.
>
> Jelas lebih mudah memaksa mobil pribadi hanya boleh beli pertamax dan 
> pertamax plus, dibandingkan melakukan kontrol pembagian bltm. Bagi bagi duit 
> gitu lho, rawan penyimpangan administrasi.
>
> Belum lagi urban poor kita banyak yg gak punya ktp dan kartu keluarga.
>
> Sent from my BlackBerry® wireless device from XL GPRS network
>
> -----Original Message-----
> From: "anton ms wardhana" <[EMAIL PROTECTED]>
>
> Date: Thu, 15 May 2008 13:08:15
> To:ahlikeuangan-indonesia@yahoogroups.com
> Subject: [Keuangan] [pro-con] Tepatkah Keputusan Pemerintah Menaikkan Harga 
> BBM Demi Selamatkan APBN ?
>
> berikut dua buah tulisan pro dan kontra mengenai keputusan pemerintah
> menaikkan harga BBM
>
> salam, *ari.ams*
>
> http://www.qbheadlines.com/debateroom1.php
>
> *TEPATKAH KEPUTUSAN PEMERINTAH MENAIKKAN HARGA BBM DEMI SELAMATKAN APBN?*
> * Dilema Kebijakan Ekonomi **  Oleh : Muhammad Chatib Basri, Direktur LPEM
> FEUI
>
> Pagi ini mungkin baik kita mengingat kalimat kuno dari mantan Presiden
> Perancis Charles De Gaulle,* to govern is always to choose among
> disadvantages *(memerintah berarti memilih di antara pilihan yang tak
> menyenangkan). Pilihan kebijakan memang jadi semakin sulit.
>
> Kenaikan konsumsi energi telah mendorong peralihan produksi dari makanan
> kepada biofuel. Perubahan iklim juga telah mengakibatkan produksi pangan
> dunia menurun. Dapat diduga, harga komoditi melonjak seiring dengan naiknya
> harga energi. Untuk menjamin pasokan dan harga domestik, beberapa negara
> lalu memutuskan melarang ekspor. Tak salah memang. Namun, bila sebagian
> besar negara memilih langkah ini, ketersediaan pangan di pasar dunia akan
> semakin terbatas, akibatnya harga akan semakin melangit. Situasi eksternal
> yang tak bersahabat ini tampaknya masih akan bersama kita kedepan.
> Indonesia, juga berada dalam yang amat dilematis. Tekanan harga minyak dan
> komoditi membuat beban subsidi pemerintah melonjak dan stabilitas makro
> dipertanyakan. Kita punya dua soal, pertama, bagaimana menjaga daya beli
> kelompok miskin akibat tekanan kenaikan harga pangan? Kedua, bagaimana
> menjaga stabilitas ekonomi makro?
>
> Pertama, perhitungan dari data SUSENAS menunjukkan bahwa porsi pengeluaran
> untuk makanan di kelompok yang paling miskin (decile 1) adalah sebesar 29.5%
> dari total pengeluaran mereka. Sedangkan di kelas menengah keatas hanya
> sebesar 16.1%. Artinya kenaikan harga makanan akan sangat memukul mereka
> yang miskin. Itu sebabnya bantuan atau subsidi kepada penduduk miskin harus
> dilakukan. Sayangnya, anggaran terbatas. Kalau begitu, mengapa pemerintah
> tidak mengurangi sedikit subsidi premium dan mengalihkannya kepada makanan?
> Porsi konsumsi premium jelas lebih kecil dibanding porsi konsumsi makanan di
> dalam keranjang konsumsi penduduk miskin. Mekanismenya, bisa melalui program
> *cash for work*, dimana pemerintah menyediakan lapangan kerja, dalam periode
> waktu tertentu, bagi penduduk miskin melalui program pembangunan
> infrastruktur desa seperti irigasi dalam skala kecil, konservasi tanah,
> pembangunan jalan desa atau program* reforestation*, Bantuan Langsung Tunai,
> subsidi pangan seperti raskin.
>
> Kedua, dalam kaitan stabilitas ekonomi makro, harga minyak yang tinggi telah
> menimbulkan* inflation overhang*. Pelaku ekonomi menganggap: dengan harga
> minyak dan komoditi yang tinggi, inflasi akan meningkat. Selain itu akan ada
> tekanan yang kuat pada anggaran kita, sehingga dibutuhkan pembiayaan yang
> lebih besar pula. Padahal kita tahu, dalam situasi pasar keuangan dunia yang
> bergejolak seperti ini, pembiayaan dari pasar tak mudah dan biayanya relatif
> lebih mahal. Ekspektasi inflasi yang tinggi akan mendorong depresiasi.
> Akibatnya rupiah akan melemah. Pelemahan rupiah yang tajam dapat menganggu
> stabilitas makro, inflasi naik dan pertumbuhan ekonomi menurun.
>
> Diskusi di Asian Economic Panel di Seoul juga mengingatkan, dalam situasi
> ketidakpastian akibat krisis *sub-prime,* ketidakstabilan makro dapat
> mendorong terjadinya arus modal keluar secara tiba-tiba. Ini jelas berisiko.
> Karena itu pemerintah harus berupaya mengurangi subsidi BBM. Ada dua cara,
> melalui pembatasan kuantitas seperti program *smart card *dan subsidi
> terbatas kepada kendaraan angkutan umum atau melalui mekanisme harga.
>
> Pemerintah sendiri menyatakan kenaikan BBM adalah pilihan terakhir dan lebih
> memilih pembatasan kuantitas. Sayangnya, kita tahu pembatasan kuantitas
> membutuhkan administrasi dan pengawasan yang tinggi –sesuatu yang kerap kali
> pemerintah lemah. Pilihan *smart card* misalnya, menuntut dilakukannya
> pendaftaran jutaan kendaraan. Bisa dibayangkan betapa rumit proses
> administrasinya. Pilihan pemberian BBM bersubsidi hanya kepada kendaraan
> angkutan umum juga tak kurang rumitnya: kendaraan yang bukan angkutan umum
> harus membeli Pertamax yang harganya nyaris dua kali lipat Premium. Artinya
> beban kenaikan harga yang harus ditanggung masyarakat tinggi sekali.
> Bukankah ini jauh lebih memberatkan? Selain itu apakah semua SPBU dapat
> menyediakan Pertamax dalam waktu singkat? Di sini terlihat bahwa pembatasan
> kuantitas amat sulit dilakukan dan lebih membebani masyarakat. Pilihan
> rasional yang tersisa adalah melalui mekanisme harga. Secara admnistrasi
> lebih mudah dan transparan. Dengan kebijakan ini ada beberapa hal yang dapat
> diperoleh. Pertama, setiap kenaikan Premium sebesar Rp 500 akan meningkatkan
> penerimaan pemerintah sebesar Rp 9 trilyun yang dapat digunakan untuk
> membantu meningkatkan daya beli penduduk miskin. Kedua, kenaikan harga akan
> menurunkan insentif untuk penyelundupan. Selain itu -walau terbatas-
> kenaikan harga juga akan mengurangi konsumsi BBM. Menurunnya penyelundupan
> dan konsumsi akan membuat impor BBM menurun. Akibatnya rupiah akan menguat.
> Penguatan rupiah akan membuat inflasi dapat dikendalikan.
>
> Dari perspektif ekonomi makro, pilihan ini akan mengatasi problema inflation
> overhang. dan mengembalikan stabilitas ekonomi makro. Tentu pilihan ini ada
> dampaknya. Kenaikan harga Premium dan solar sebesar 10% misalnya akan
> meningkatkan inflasi sekitar 1%. Jika kenaikan tidak terlalu besar, dampak
> pada inflasi terbatas. Kenaikan harga juga harus dikompensasi dengan program
> untuk penduduk miskin, sehingga dampak negatif dapat diatasi dan daya beli
> penduduk miskin yang terpukul karena harga pangan, dapat di kompensasi.
>
> Saya tahu, ini bukan pilihan mudah. Tetapi di hari-hari ketika situasi
> eksternal tak bersahabat, kita memang dihadapkan pada pilihan sulit. Pilihan
> ini mungkin terkesan tak populer, sebuah pilihan yang sepi, tak ramai
> dijejaki orang. Mirip bait akhir puisi Rober Frost, The Road Not Taken:
>
> * "I took the one less travelled by  And that has made all the difference"*.
>
> * Tulisan ini dimuat di Analisis Ekonomi Kompas, Senin 28 April 2008.
>
> foto: perspektif.net
>
> * Rizal Ramli Tantang SBY Debat Terbuka Soal BBM*  Oleh : Rizal Ramli, Ketua
> Umum Komite Bangkit Indonesia
>
> Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia Dr. Rizal Ramli menantang Presiden SBY
> untuk melakukan debat terbuka berkaitan dengan rencana pemerintah menaikkan
> harga bahan bakar minyak (BBM). Presiden diminta tidak menghindar dari
> tantangan tersebut.
>
> "Kalau perlu SBY menyertakan semua menteri ekonominya dalam debat terbuka
> tersebut. Waktu dan tempatnya silakan SBY yang tentukan, asal jangan terlalu
> lama sejak tantangan ini," kata Rizal Ramli yang juga dijuluki Sang
> Lokomotif Perubahan dalam siaran persnya.
> Dr. Rizal Ramli, Sang Lokomotif Perubahan
>
> "Kehidupan rakyat sudah sangat berat. Kondisi sekarang sangat berbeda dengan
> tahun 2005. Rakyat kini sudah babak belur dihantam kenaikan harga pangan dan
> merosotnya pendapatan. Sementara omset UMKM anjlok hingga 30-40%. Semua ini
> terjadi karena pemerintah tidak mampu menstabilisasikan harga. Saya tidak
> habis mengerti, bagaimana mungkin pemerintah mengabaikan kenyataan ini. Ini
> kok malah mau menaikkan harga BBM lagi," tukas Rizal yang juga mantan Menko
> Perekonomian dan Menteri Keuangan.
>
> Fakta menunjukkan, dampak dua kali kenaikan BBM pada 2005 sampai sekarang
> belum hilang. Jumlah orang miskin melonjak dari 31,1 juta jiwa (2005)
> menjadi 39,3 juta jiwa (2006). Demikian pula inflasi naik tajam 17,75%
> (2006). Jumlah penganggur naik dari 9,9% (2004) menjadi 10,3% (2005) dan
> naik lagi jadi 10,4% (2006). Di sisi industri, kenaikan harga BBM telah
> mendorong percepatan deindustrialisasi. Pada 2004 sektor manufaktur masih
> tumbuh 7,2%, namun tahun 2007 hanya tumbuh 5,1%. Ini terjadi karena industri
> ditekan dari dua sisi, yakni peningkatan biaya produksi dan merosotnya
> permintaan akibat anjloknya daya beli masyarakat.
>
> *Banyak Solusi Lain*
>
> Rizal Ramli mengaku sangat prihatin dengan pembentukan opini yang dilakukan
> pemerintah dan berbagai lembaga penganut Jerat Washington (Washington
> Consensus), bahwa seolah-olah kenaikan harga BBM adalah langkah terakhir.
> Kalau saja pemerintah kreatif, mau dan berani, sejatinya banyak alternatif
> lain untuk menyelamatkan APBN tanpa harus menaikkan BBM. Beberapa langkah
> itu antara lain, mereformasi tata niaga migas dan menghapuskan mafia impor
> migas.
>
> "Telah menjadi rahasia umum, proses pengadaan dan distribusi BBM oleh
> Pertamina sarat dengan KKN dan ketidakefisienan. SBY harus berani menyikat
> mafia yang mengutip minimal US$2/barel dari impor minyak. Kenapa ini tidak
> dilakukan?" katanya.
>
> Masih seputar migas, cara lainnya dengan merevisi formula perhitungan
> alokasi dana bagi hasil migas, meningkatkan mobilisasi dana alternatif
> dengan melakukan berbagai langkah kebijakan burden sharing kepada semua
> stakeholders baik pemerintah pusat, Pemda, kreditor kalangan bisnis maupun
> masyarakat luas. Pemerintah juga diminta mengefektifkan program anti
> kemiskinan, dan menyusun strategi diversifikasi energi.
>
> Rizal Ramli juga menilai program Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai
> kompensasi bagi rakyat miskin untuk mengurangi dampak kenaikan BBM, tidak
> akan efektif. Pemerintah mestinya belajar dari kegagalan BLT pada 2005.
> Banyak kelemahan dari pelaksanaan program kompensasi. Antara lain besaran
> BLT tidak memadai untuk mengurangi beban orang miskin. Kendati BPS telah
> melakukan pendataan, tapi BLT juga banyak yang salah sasaran. Diprediksi ada
> sekitar 15-20% keluarga miskin yang tidak terjaring karena berbagai alasan.
>
> "Tahun 2008, pemerintah SBY tanpa persiapan matang akan mengulang program
> tersebut. Padahal koreksi terhadap data, program, dan mekanisme belum
> dilakukan. Demikian juga data yang akan dijadikan acuan adalah data yang
> telah out of date karena akan menggunakan data penerima BLT tahun 2005.
> Dengan gambaran ini dapat dipastikan tingkat efektivitas dari program BLT
> akan sangat rendah. Apalagi sejak 2006 muncul keluarga miskin baru yang
> belum terdata akibat berbagai kebijakan ekonomi pemerintah SBY yang tidak
> berpihak kepada kelompok masyarakat bawah," paparnya.
>
> Dari kenaikan harga BBM, pemerintah berharap bisa menghemat subsidi sekitar
> Rp 25 triliun-Rp 30 triliun. Jumlah ini sangat tidak berarti dibandingkan
> dampak ekonomi dan sosial yang pasti akan dirasakan masyarakat. Di sisi
> lain, ada pos pembayaran bunga obligasi rekap perbankan puluhan triliun dan
> utang luar negeri yang jumlahnya ratusan triliun. Ditambah dengan efisiensi
> di Pertamina dan PLN, akan banyak dana yang bisa dialokasikan untuk
> peningkatan kesejahteraan rakyat.
>
> Rizal Ramli menilai SBY tidak berani melakukan renegosiasi dengan kreditor
> untuk memperoleh penundaan pembayaran utang, tidak berani mengurangi subsidi
> bank rekap, tidak berani memberantas mafia impor BBM, dan tidak mampu
> mengurangi inefisiensi di Pertamina dan PLN.
>
> "Jangan hanya beraninya kepada rakyat," tukas Rizal Ramli.
>
> foto: kabarindonesia.com
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
> ------------------------------------
>
> =========================
> Join Facebook AKI dimana Anda bisa ber social interactive sambil bermain 
> games atau just have fun together. Compulsory bagi new members start 1 Jan 
> 2008. http://www.facebook.com/group.php?gid=6247303045
> =========================
> Perhatian: Diskusi yg baik adalah bila saling menghormati pendapat yang ada. 
> Anggota yang melanggar tata tertib millis akan dikenakan sanksi tegas.
> =========================
> Arsip Milis AKI online, demi kenyamanan Anda semua
> http://www.mail-archive.com/ahlikeuangan-indonesia@yahoogroups.com
> -------------------------
> Untuk kenyamanan bersama, dalam hal me-reply posting, potong/edit ekor 
> posting sebelumnyaYahoo! Groups Links
>
> ------------------------------------
>
> =========================
> Join Facebook AKI dimana Anda bisa ber social interactive sambil bermain 
> games atau just have fun together. Compulsory bagi new members start 1 Jan 
> 2008. http://www.facebook.com/group.php?gid=6247303045
> =========================
> Perhatian: Diskusi yg baik adalah bila saling menghormati pendapat yang ada. 
> Anggota yang melanggar tata tertib millis akan dikenakan sanksi tegas.
> =========================
> Arsip Milis AKI online, demi kenyamanan Anda semua
> http://www.mail-archive.com/ahlikeuangan-indonesia@yahoogroups.com
> -------------------------
> Untuk kenyamanan bersama, dalam hal me-reply posting, potong/edit ekor 
> posting sebelumnyaYahoo! Groups Links
>
>
>

Kirim email ke