SOSOK Ir. H. DJUANDA KARTAWIJAYA:
PERDANA MENTERI DAN PEJUANG LAUT YANG TANGGUH
(Peringatan Deklarasi Djuanda, 13 Desember 2007)

Nggak banyak generasi masa kini yang mengenal sosok Ir. H. Djuanda 
Kartawidjaja, meski namanya sudah sangat banyak diabadikan ke dalam nama jalan, 
nama bendungan, nama stasiun kereta api (di Jakarta) dan bahkan nama bandar 
udara di kota Surabaya. Banyak tokoh-tokoh yang hidup semasanya juga berpikir 
yang sama bahwa dalam dua puluh tahun terakhir ini namanya tidak menjadi buah 
bibir generasi muda, padahal Ir. H. Djuanda Kartawidjaja telah ditetapkan 
sebagai Pahlawan Nasiona RI. Walah, jangan-jangan banyak para elit Republik ini 
mengalami sindrom yang sama, yaitu sama sekali tidak mengenalnya. Ironis...

Tentunya hal ini menjadi kepedulian kita bersama. Perlu diketahui, bahwa sejak 
masa awal kemerdekaan (1946) sampai meninggalnya 6 Nopember 1963 dalam usia 52 
tahun, Ir. H. Djuanda K. selalu mendapat kepercayaan menjadi menteri dalam 
berbagai kabinet, bahkan ketika meninggal masih menjabat sebagai Menteri 
Pertama antara tahun 1959-1963, dan sebelumnya adalah Perdana Menteri dan 
Menteri Pertahanan selama tahun 1957-1959.

Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911, merupakan anak 
pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru 
pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan 
di HIS dan kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere 
School (ELS), tamat tahun 1924. Selanjutnya oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah 
menengah khusus orang Eropa yaitu Hogere Burger School (HBS) di Bandung, dan 
lulus tahun 1929. Pada tahun yang sama dia masuk ke sekolah Tinggi Teknik 
(Technische Hooge School) di Bandung, mengambil jurusan teknik sipil dan lulus 
tahun 1933. Semasa mudanya Djuanda hanya aktif dalam organisasi non politik 
yaitu Paguyuban Pasundan dan anggota Muhamadiyah, dan pernah menjadi pimpinan 
sekolah Muhamadiyah. Karir selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen 
Pekerjaan Umum propinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939.

Ir. Djuanda oleh kalangan pers dijuluki ‘menteri marathon’ karena sejak awal 
kemerdekaan (1946) sudah menjabat sebagai menteri muda perhubungan sampai 
menjadi Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (1957-1959) sampai menjadi 
Menteri Pertama pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1963). Sehingga dari tahun 
1946 sampai meninggalnya tahun 1963, beliau menjabat sekali sebagai menteri 
muda, 14 kali sebagai menteri, dan sekali menjabat Perdana Menteri.

Pada saat diangkat oleh presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet 
Karya, Ir. Djuanda bukanlah orang partai, sehingga ‘Kabinet Karya’ ini 
beranggotakan para menteri yang dipilih berdasarkan keahliannya bukan 
berdasarkan asal partainya. Pada saat menjabat sebagai perdana menteri inilah, 
Ir. Djuanda harus menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan bangsa yang 
berat dan rumit. Beberpa diantarannya adalah masalah ketegangan hubungan antara 
presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta yang mengundurkan diri tahun 
1956. Selain itu pergolakan di daerah semakin memanas dengan ketidakpuasan elit 
politik dan militer di daerah seperti di Sumatera barat, Sumatera Utara, 
Sulawesi Utara. Selain itu pemerintahan Djuanda juga harus mengatasi 
pemberontakan Darul Islam (DI/TII) di Jawa barat, Aceh dan Sulawesi Selatan dan 
Tenggara, Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon dan Seram, dan juga masalah 
provinsi Irian Barat yang masih diduduki oleh Belanda.

Sebagai perdana menteri, Djuanda memprakarsai kegiatan yang berusaha untuk 
menormalisasi keadaan dan menegakkan keutuhan Negara Republik Indonesia. Untuk 
itulah diadakan Musyawarah Nasional yang mengundang para penguasa sipil dan 
militer di daerah, tokoh-tokoh Indonesia yang dianggap mampu memberikan 
masukan-masukan yang positif sesuai dengan tujuan Munas. Acara diadakan di 
Gedung Proklamasi Jl. Pegangsaan Timur no. 56. Presiden Soekarno dan mantan 
Wakil Presiden Moh. Hatta juga bersedia hadir dalam acara tersebut. Kehadiran 
tokoh ‘dwi tunggal’ diharapkan dapat mempengaruhi para elit lokal untuk mau 
duduk dan bermusyawarah memecahkan berbagai masalah kebangsaan yang tengah 
mengancam keutuhan Negara RI. Acara Munas dimulai tanggal 10 September 1957 dan 
berlangsung sampai 14 September 1957.

Dalam pembukaan Munas, Ir. Djuanda menekankan pentingnya segala komponen bangsa 
untuk memikirkan pemecahan masalah yang membuat Negara RI berjalan tidak 
normal. Dengan membawa kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan 
golongan atau partai. Sementara itu Bung karno dan Bung Hatta mengingatkan 
kembali agar segenap komponen bangsa mengambil teladan dari proklamasi 
kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai jiwa yang membawa persatuan dan kesatuan 
bangsa Indonesia, mengingat munas ini juga diselenggarakan di gedung Proklamasi 
Jl. Pegangsaan No 56.

unas ini secara umum cukup berhasil meredam ketegangan antara pusat dan daerah 
untuk sementara waktu. Memburuknya hubungan RI dan Belanda menimbulkan gejolak 
di Indonesia, sehingga terjadi kekacauan dalam pengambilalihan asset-asset 
milik Belanda dan ditambah lagi terjadinya ‘Peristiwa Cikini’ pada tanggal 30 
Nopember 1957 yaitu peledakan granat di sekolah Cikini ketika Soekarno 
berkunjung ke sekolah anaknya tersebut, Soekarno selamat tetapi banyak yang 
tewas akibat ledakan granat tersebut. Peristiwa ini berkembang dan meningkatkan 
suhu politik di dalam negeri, termasuk penangkapan-penangkapan yang dilakukan 
oleh aparat keamanan. Keadaan menjadi tidak stabil ketika komandan-komandan 
militer dibeberapa daerah meminta agar Kabinet Djuanda dibubarkan atau 
mengundurkan diri. Sehingga memasuki 1958 situasi pergolakan mulai memuncak dan 
meletus di Sumatera Barat (PRRI) dan Sulawesi Utara (Permesta).

Namun dari semua kesulitan yang dihadapi oleh Kabinet Djuanda dan juga bangsa 
Indonesia umumnya. Perdana menteri Djuanda ternyata mampu melakukan terobosan 
besar dalam upanya mengintegrasikan seluruh wilayah kepulauan dan laut yang 
menjadi wilayah territorial Indonesia dengan mencanangkan Deklarasi Djuanda  
pada tanggal 13 Desember 1957, yang berbunyi:

”segala perairan disekililing dan diantara pulau-pulau di Indonesia merupakan 
bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaulatan 
Indonesia”.

Pernyataan ini dibacakan dalam siding Kabinet oleh Perdana menteri Djuanda 
sebagai landasan hukum bagi penyusunan Rancangan Undang Undang yang nantinya 
dipergunakan untuk menggantikan Territoriale Zee and Maritime Kringen 
Ordonantie tahun 1939, terutama pasal 1 ayat 1 yang menyatakan wilayah 
territorial Indonesia hanya 3 mill diukur dari garis air rendah setiap palung. 
Hal ini mengakibatkan wilayah perairan antara pulau-pulau di Indonesia menjadi 
kantung-kantung internasional yang dapat dimanfaatkan oleh pihak luar, dan 
waktu itu banyak kapal-kapal perang Belanda yang melintasi laut-laut dalam kita 
menuju Irian Barat dengan memanfaatkan hukum territorial laut tahun 1939.

Penyusunan Deklarasi Djuanda yang sangat penting ini tidak terlepas dari peran. 
Mochtar Kusumaatmadja yang pada saat itu adalah anggota panitia rancangan 
Undang-undang (RUU) Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim. “Ketika RUU sedang 
dalam proses penyelesaian dengan menetapkan wilayah laut territorial Indonesia 
adalah 12 mil dari garis air rendah. Bulan oktober 1957, menteri Chaerul Saleh 
mendatangi saya dan mengatakan bahwa RUU tersebut tidak banyak berguna untuk 
menutup Laut Jawa dari pelayaran kapal-kapal asing terutama kapal perang 
Belanda. Mochtar kemudian menyusun draft deklarasi atas seizin Letkol Laut 
Pirngadi, ketua Panitia RUU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim dan juga 
Kepala Staff Operasi Angkatan Laut.” kata Mochtar.

Pada tanggal 13 Desember 1957, panitia RUU Laut Teritorial dan Lingkungan 
Maritim dipanggil PM. Djuanda di Pejambon, Jakarta. Letkol Pirngadi dan Mochtar 
kusumatmadja kemudian dipersilahkan menjelaskan peta Indonesia yang sudah 
menggunakan konsep laut “antara” sebagai wilayah territorial Indonesia bukan 
hanya 3 mil atau 12 mil dari garis air rendah. Hasil rapat kabinet kemudian 
memutuskan konsep yang menyatakan bahwa; ”segala perairan disekililing dan 
diantara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari 
daratan dan berada dibawah kedaulatan Indonesia” diterima sebagai keputusan 
rapat. Kemudian keputusan ini diumumkan oleh PM Djuanda, yang kemudian dikenal 
dengan Deklarasi Djuanda, yang memiliki arti yang strategis bagi perjuangan 
bangsa Indonesia untuk meningkatkan pembangunan dan memantapkan kesatuan 
nasionalnya. Dengan demikian wilayah laut kita dihitung 12 mil dari garis-garis 
dasar yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia yang 
terluar, dengan demikian luas territorial Indonesia berkembang dari  dua juta 
km2 menjadi  lima juta km2.

Meskipun Deklarasi Djuanda belum diakui secara internasional, namun oleh 
pemerintah RI, deklarasi ini diundangkan melalui keputusan Undang-Undang/Prp 
No. 4/1960, bulan Februari 1960. UU ini kemudian diperkuat dengan Keputusan 
presiden  no. 103/1963 yang menetapkan seluruh perairan Nusantara Indonesia 
sebagai satu lingkungan laut yang berada di bawah pengamanan Angkatan laut RI. 
Berbagai peraturan ini juga menimbulkan kecaman dari dunia Internasional, namun 
Indonesia tetap bersikukuh bahwa deklarasi Djuanda merupkan solusi yang terbaik 
untuk menjaga keutuhan laut Indonesia dan dipergunakan untuk kemamkmuran rakyat 
Indonesia.

Dalam konferensi Hukum laut PBB ke-3, Indonesia memprjuangkan konsep kesatuan 
kewilayahan Nasional yang meliputi wilayah darat, laut dan udara dan seluruh 
kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Konsep ini kemudian diakui dalam 
konvensi  Hukum laut PBB di Montego Bay (Jamaika) pada tanggal 10 Desember 
1982. Indonesia kemudian meratifikasinya dalam UU No. 17/1985 pada tanggal  31 
Desember 1985. akhirnya setelah 25 tahun menunggu Deklarasi Djuanda telah 
diakui oleh PBB, namun baru diakui secara internasional sejak 16 Nopember 1994, 
setelah 60 negara meratifikasinya. Hal ini berarti butuh waktu 37 tahun  sejak 
Deklarasi Djuanda Kesatuan Kewilayahan Indonesia diakui oleh dunia 
Internasional. Saat ini dengan diberlakukannya Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 
200 mil dari garis dasar perairan maka wilayah yang dapat dikelola ekonominya 
termasuk wilayah laut seluas delapan juta km2, enam juta km2 diantaranya adalah 
wilayah perairan laut. Sosok diplomat dan ahli hukum laut Indonesia  yang 
sangat aktif memperjuangan cita-cita deklarasi Djuanda adalah selain prof. Dr, 
Mochtar Kusumaatmadja adalah prof. Dr. Hashim Djalal yang dengan aktif 
mengikuti berbagai sidang PBB tentang hukum laut, sejak tahun 1970-an sampai 
1990-an. Hashim Djalal menyelesaikan gelar Doktor tentang hukum laut pada 
Universitas Virginia tahun 1961, karena diilhami oleh Deklarasi Djuanda. Bahkan 
dia juga menggagas Rancangan peraturan pemerintah temntang lalu Lintas Laut 
Damai Kendaraan Air Asing melalui Perairan Nusantara Indonesia, pada bulan Juli 
1962, yang kemudian disetujui oleh kabinet dan dijadikan Peraturan pemerintah 
No. 8/1962.

Demikianlah Deklarasi Djuanda yang kita peringati setiap tanggal 13 Desember 
ini merupakan momentum yang dapat dijadikan refleksi sudah sejauh mana wilayah 
territorial darat dan laut yang sudah diperjuangkan oleh para pendahulu kita 
termasuk Prof. Dr. Mochtar kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hashim Djalal dapat kita 
ambil semangatnya bagi pembangunan Indonesia yang lebih baik. Kehilangan 
Sipadan dan Ligitan, hilangnya pulau-pulau di selat Malaka akibat pengerukan 
pasir yang dijual ke Singapura dan masalah-masalah pulau terdepan kita yang 
rentan dijarah oleh pihak luar. Sudah selayaknya dalam peringatan Deklarasi 
Djuanda para elit sipil dan militer negeri ini selalu mengedepankan kinerjanya 
agar jangan sampai wilayah territorial kita berkurang karena ketidakpedulian 
kita terhadap territorial laut dan pulau-pulau di perbatasan dengan Negara 
lain. Peringtan Deklarasi Djuanda dapat dimaknai sebagai tanggung jawab setiap 
generasi untuk menjiwai semangat deklrasi tersebut. Maka, fahami dan dalamilah 
segenap ruh dan jiwa dari deklarasi itu, agar kita tidak kehilangan apa yang 
seharusnya menjadi hak kita dan generasi setelah kita.

Naskah:  Tim Panitia Seminar dan Pameran 50 Tahun Deklarasi Djuanda. Direktorat 
Georgrafi Sejarah Departemen Kebudayaan & Pariwisata RI.

Disarikan oleh: Didik Prdjoko, M.Hum (UI) dan Asep Kambali, S.Pd. (UNJ/ Eks 
IKIP Jkt)

Sumber:
I.O. Nanulaita, Ir. Haji Juanda Kartawijaya, Depdikbud, IDSN, 1980/1981

Awaloedin Djamin, ed., Pahlawan Nasional Ir. H. Djuanda: Negarawan, 
Administrator dan Teknokrat Utama, Jakarta, Kompas, 2001


  KPSBI-HISTORIA

  Phone: (021) 7044-7220, Mobile: 0818-0807-3636
  [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
  http://kpsbi-historia.blogdrive.com

Kirim email ke