LAUT PEMBANGUN PERADABAN
Refleksi 50 tahun Deklarasi Djuanda (Hari Nusantara)
Oleh :  Asep Kambali

 “When the boys goes to the sea, they will back as realman”

PENCIPTA ALAM SEMESTA
Tuhan memang adil terhadap ciptaannya. Manusia misalnya, begitu banyak dan 
melimpah, segala sesuatu apapun, demi kelangsungan hidupnya telah tersedia. 
Sepatutnya dengan Iman manusia mampu bersyukur dan hidup sesuai syariat demi 
kebahagiannya di dunia dan akhirat. Dengan Ilmu manusia dituntut dapat 
mengelola dan memanfaatkan alam beserta isinya, dari laut hingga daratan, demi 
kemakmuran dan kesejahteraan, dan dengan Seni manusia diharapakan dapat hidup 
penuh dengan keselarasan dan keindahan untuk menciptakan kedamaian dalam hidup 
bersama-sama. Namun, dengan Sejarah kita semestinya belajar dari pengalaman 
kolektif bangsa agar hari-hari kemarin bisa lebih baik untuk membangun hari ini 
dari hari yang akan datang.

Lautan sebagai bagian dari alam telah menjadi bagian dari keseharian kita. 
Keindahan, birunya ombak bertemu putihnya pasir pantai disertai sepoi angin 
membuai puncak-puncak pohon kelapa, sementara burung camar dan elang terbang 
leluasa mengembang sayap di angkasa biru nan cerah merupakan kenikmatan tiada 
tara yang biasanya kita dambakan dari lautan. Hanya itu dan sebatas itu lah 
yang menjadi dambaan dab bahkan tujuan hidup kita. Namun, lihat, ternyata 
lautan dapat mendatangkan kengerian yang mencekam kala gumpalan awan hitam 
menggantung rendah, menghujamkan deras air hujan yang dingin tajam menusuk 
kulit, deru angin dan lautan bersuitan di antara tali-tali layar. Gelombang 
bergulung-gulung menerjang perahu yang seolah kehilangan tenaga dan harapan.

Lautan, dalam sejarah, membawa manusia kepada keadaan maju mundur, takut dan 
berani, patah hati dan bersemangat, cinta dan benci, hidup dan mati. Kesemuanya 
itu merupakan pasangan yang tak terpisahkan. Namun, itulah lautan seutuhnya 
yang dapat menjadi pengancam keselamatan manusia tetapi juga mampu menjadi 
sahabat yang membangun peradaban dan kebesaran bangsa. Tak salah ketika Sang 
Maha itu menciptakan kita di alam Indonesia.


Jika Kita Hidup di Lautan, PERLUNYA KEBERSAMAAN!
Saat malam berbintang, angin bertiup lembut, dan layar terkembang megah, semua 
itu membawa romansa kehidupan bagi setiap hati. Betapa elok alam ini, betapa 
berhargannya hidup ini. Upaya penularan positif seorang pecinta alam, rasa 
persaudaraan, kejujuran, rasa saling asah, saling asuh, di salurkan secara 
alamiah.

Saat hari panas yang gersang di tengah lautan dimana semua awak harus mencuci 
geladak, mengetuk lambung besi yang berkarat., menggosok semua kuningan, 
menjahit layar yang rusak, memeriksa dan menyiapkan tali temali. Semua itu 
menyentakan kita bahwa tiada hari tanpa rasa lelah dan kesakitan, tetapi tiada 
kemenangan pula tanpa kesakitan. Tanpa satu rekan, maka tugas melayarkan kapal 
ini ke pelabuhan tujuan akan kian berat, kerjasama adalah segala-galanya!

Ketika badai datang dengan tiba-tiba. Angin dan hujan seakan berteriak marah 
dan siap melempar siapa saja ke dalam gulungan ombak yang pecah menakutkan. 
Mabuk dan ketakutan itu sekonyong sirna, ditelan kesibukan memotong tali-tali 
kencang tak terkendali, menggulung layar yang robek, memegang kemudi yang 
berputar liar, menolong sesama rekan yang terlempar dan tergelincir di geladak 
yang basah lagi licin.

Rasa persaudaraan menyeruak spontan dan menyingkirkan perbedaan, baik itu suku, 
agama, atau ras. Saling menolong satu-satunya cara untuk bisa selamat. 
Keberanian dan heroisme yang belum dan tak pernah terbayangkan serta merta 
mencuat. Sekelebat jiwa para penjelajah besar seperti Captain Cook dan 
Chirstoper Columbus, atau legenda Sinbad dan Robinson Cruseau seolah menjelma 
di dalam diri. Kadang, pula terbersit rasa kesendirian dan ketidakberdayaan di 
tengah samudra luas. Suasana itu membawa kepada suatu kesadaran akan kecilnya 
diri kita tanpa perlindungan Tuhan YME yang menjadi “nakhoda” Agung bagi hati 
setiap makhluk pelaut. Membawa jiwa datang mendekat kepada-Nya.


INDONESIA TANAHKU!
LALU BAGAIMANA DENGAN AIRNYA?
Indonesia yang lahir sejak 1945 sebagai negara merdeka, layak disebut sebagai 
negara maritime, karena secara geografis 2/3 wilayahnya terdiri dari laut. Masa 
kejayaan sebagai negara maritime juga telah dibuktikan oleh sejarah sejak zaman 
kerajaan Nusantara (Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit). Armada laut 
mereka, baik armada niaga maupun armada perangnya, telah terbukti mampu 
menghidupi dan mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayahnya.

Kalau memang benar-benar itu kita sadari secara serius bahwa negara kita adalah 
negara kepulauan, mengapa prosentase antara jumlah petani dengan pelaut lebih 
banyak petani? Lebih banyak orang-orang yang memilih  bekerja di darat dengan 
berdasi dan (bermimpi) mengendarai mobil mewah. Di Angkatan laut, misalnya 
pernah terjadi hanya ada 30 taruna dalam satu angkatan. Kenapa? Banyak anak 
muda yang lebih suka berkarier di Angkatan Darat, Bea Cukai, Pajak, Buruh 
Kantoran, dsb. Atau ingin menjadi lurah, camat, dan seterusnya. Mereka pikir 
kerja di laut mau jadi apa? Peningkatan kariernya bagaimana? Puncak prestasinya 
apa? Maka tak heran, orang tidak akan pergi ke laut kalau bukan hanya sekedar 
untuk menyebrang dari satu pulau ke pulau lain.

Indonesia dengan julukannya sebagai negara maritime, merupakan negara kepulauan 
yang terdiri dari ±17.508 pulau dengan keseluruhan wilayah Indonesia seluas 
kurang lebih 8 juta km². Sebagian besar (tepatnya 2/3 bagian) wilayah Indonesia 
merupakan wilayah perairan, dengan sumber daya alamnya yang melimpah, ikan, 
terumbu karang dan lain sebagainya, belum dieksplorasi secara optimal. Bahkan 
tidak menutup kemungkinan adanya harta karun di dasar laut, dan benda-benda 
bernilai sejarah lain yang berasal dari kapal-kapal niaga masa lalu yang 
tenggelam di perairan Indonesia. Misalnya di Selat Bangka, tidak mustahil 
tersimpan onggokan emas dari kapal-kapal yang dulu tenggelam. Begitu pula di 
Halmahera, serta kekayaan-kekayaan lain yang belum terjamah. Kondisi seperti 
ini merupakan potensi strategis untuk dapat menjadi negara yang maju dan kuat 
dari sektor kelautan.

Dalam GBHN ditegaskan bahwa pembangunan kelautan diarahkan kepada pemberdayaan 
sumber laut serta pemanfaatan fungsi wilayah laut nasional termasuk ZEE (Zona 
Ekonomi Eksklusif) secara serasi dan seimbang dengan memperhatikan daya dukung 
kelautan dan kelestariannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta 
memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja. Penguasaan potensi kelautan 
menjadi kegiatan ekonomi perlu di pacu melalui berbagai peningkatan investasi, 
dengan memanfaatkan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), serta memperhatikan 
kelestarian lingkungan hidup agar mampu memberikan sumbangan besar pada upaya 
pembangunan (ketetapan MPR 1993 tentang GBHN). Selain itu, peningkatan 
pengenalan, pemahaman, kesadaran, dan kecintaan masyarakat terhadap laut dapat 
meningkatkan semangat jiwa bahari demi terwujudnya generasi muda potensial di 
bidang kelautan yang nyata dan andal secara praktis.

BAHARI YANG HANYA DIBIBIR SAJA!  Namun sayang upaya itu belum secara nyata dan 
sungguh-sungguh dijalankan. Lautan yang kaya itu pun terlantar. Eksploitasi 
sepihak terhadap laut kita terjadi di mana-mana oleh orang-orang yang 
mementingkan dirinya sendiri, oleh orang yang dalam hidupnya hanya mengenal 
satu nilai, yakni “duit.” Lihat saja, betapa parahnya manajemen kelautan di 
negara kita. Buktinya banyak nelayan Jepang dan Taiwan yang seenaknya menangkap 
ikan tuna diperairan kita seperti menangkap ikan mereka sendiri. Sementara itu 
banyak nelayan bangsa kita yang hanya mampu menangkap ikan dibawah 20 mil. 
Karena minimnya kemampuan atau SDM dalam mengeksplorasi potensi perikanan, 
perminyakan, penemuan harta bawah laut dan lain-lain, sehingga malah banyak 
kapal-kapal asing yang mengeruk kekayaan laut kita. Baru-baru ini, beberapa 
pulau terdepan kita juga digondol negara lain. Mana kekuatan kita sebagai 
negara maritim itu? Ironis ketika negara maritime mengekspor minyak dari 
jepang, negara pegunungan dan perkebunan mengekspor kunyit dari India. Syukur, 
beberapa tahun terakhir pemerintah kita mampu menangkap para penjahat dan 
pengkhianat bangsa itu.

Kita juga sering menggembar-gemborkan tentang pengembangan wisata bahari. 
Katanya kita ingin mengundang wisatawan asing agar mereka membelanjakan 
dolarnya di sini. Memang betul kita memiliki banyak pelabuhan di berbagai 
tempat pendaratan, dan banyak pulau untuk membuat mereka betah dan berlama-lama 
beristirahat. Namun upaya itu belum juga sepenuhnya ditangani oleh pemerintah 
secara nyata dan sungguh-sungguh.

Lihat saja, semakin banyak pelabuhan-pelabuhan kecil, pantai-pantai, 
pulau-pulau kecil yang dimiliki dan dikuasai secara individu. Di Kepulauan 
Seribu yang jaraknya hanya beberapa mil dari utara Jakarta, banyak pulau 
berikut pantaianya yang sudah dikavling-kavling menjadi Marine Resort. Dengan 
begitu tentu saja tidak sembarang orang dapat merapatkan lambung kapalnya 
bahkan menginjakan kakinya di sana. Padahal dalam undang-undang di negara kita, 
yang namanya pantai adalah milik publik dan boleh digunakan sebgai sarana umum. 
Ditambah lagi misalnya banyak pelabuhan lau kita yang tak layak lagi karena 
hancur dan kumuh, menyeramkan dan tidak aman.

LAUT POTENSI PEMERSATU BANGSA
Sungguh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menebas nurani manusia 
sedikit demi sedikit, manusia yang telah diberi kemampuan untuk menguasai 
hampir segalanya, malah kini cenderung menghancurkan diri sendiri dengan 
menabur benih-benih egoisme, sparatisme, chauvinisme, fanatisme dilengkapi 
dengan jiwa yang rapuh dan mudah patah pula.

Hendak menuju kemana peradaban manusia bangsa kita ini? Akankah kita membiarkan 
semua yang baik berjalan menuju kehancuran? Jawabnya, tentu tidak. Oleh sebab 
itu diperlukan suatu upaya untuk membentuk manusia-manusia yang tekun, gigih, 
mampu duduk berdampingan dan bekerja sama dalam membangun sebuah bangsa ke 
dalam kancah pergaulan internasional. Dengan demikian, sebuah bumi yang ramah 
dan damai bukan impian kosong semata.

Laut, jelas bukan sebagai pembatas dan penghalang untuk maju, tapi justru 
sebagai penyambung persaudaraan, perekat persatuan, sumber perekonomian, 
rekreasi dan petualangan, sebagai sarana pertahanan dan keamanan, dan simbol 
kejayaan. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mampu menguasai lautnya. Upaya 
itu harus segera dilakukan mengingat Indonesia sebagai negara maritime 
mempunyai wilayah laut yang lebih luas disbanding daratan, sehingga potensi 
kelautannya perlu diberdayakan secara optimal.

Salah satu cara pemberdayaann sumber daya alam laut ialah dengan memperkuat 
armada niaga laut (kapal) dengan tenaga perwira laut yang terampil dan andal. 
Juga masyarakat yang berketerampilan dan memiliki kesadaran akan pentingnya 
peningkatan kebaharian itu.
 Untuk menghasilkan perwira laut dan masyarakat yang peduli sepenuhnya terhadap 
laut kita, maka perlu adanya dukungan baik dari pihak swasta maupun pemerntah. 
Pendidikan dan kegiatan-kegiatan kebaharian perlu ditingkatkan demi pencapaian 
tujuan itu.

BANGKIT LAH! Berangkat dari gagasan pemikiran, pengalaman serta kenyataan di 
atas, Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia (KOMUNITAS HISTORIA 
INDONESIA), sebuah organisasi non-profit independent yang bergerak dalam bidang 
pendidikan, sejarah, budaya dan pariwisata menyadari pentingnya penanaman 
kesadaran sejarah dan budaya. Penanaman itu harus dibarengi dengan jiwa juang 
dan kepemimpinan yang tinggi agar para pemuda terutama para remaja dalam 
menyiapkan dirinya menghadapi tantangan di berbagai bidang –seperti kebaharian, 
mereka mampu mengelola secara andal, efektif dan bermoral, sebagai implikasi 
dan tuntutan era milenium baru yang terbentang luas di depan. Karena tidak ada 
yang lebih berat daripada menyiapkan SDM yang bermutu dan bermoral dalam 
mengembangkan potensi laut kita sebagai aset dan modal dalam membangun bangsa 
menjadi sebuah bangsa yang tahan banting, bukan bangsa penghutang, dan dan 
bukan menjadi bangsa yang korup dan “lemah syahwat”.

WISATA BAHARI merupakan upaya kongkrit HISTORIA dalam menanamkan dan 
menyadarkan jiwa kebaharian yang telah sejak dulu dimiliki oleh nenek moyang 
kita. Bagaimana agar masyarakat kita kembali mencintai dan menghargai laut 
sebagai sesuatu yang penting bagi kemajuan bangsa. Paradigma lama terhadap laut 
yang menyatakan bahwa laut itu menyeramkan, menakutkan, ganas, kita rubah 
menjadi sesuatu yang menantang dan menyenangkan.

Laut sebagai sarana dalam membangun peradaban bangsa, memang akan menjadi 
penantang untuk maju dengan rasa percaya diri, tentunya dengan kebersamaan dan 
keceriaan. Dalam pencapaian tujuan itu diperlukan sinergi yang baik dalam 
bentuk kegiatan yang memadukan unsur rekreatif, edukatif dan entertainment. 
“Adventure Sail Training” merupakan salah satu materi yang diperlukan peserta 
ketika berada di dalam kapal. Bagaimana peserta mengenal seluk beluk kapal, 
dari mulai lambung kapal, hingga bagian layar. Bagaimana hidup di laut itu, 
bagaimana menghadapi gelombang, bagaimana mengendalikan dan menyelamatkan diri 
dan orang lain di laut, perlunya kerja sama team, dan lain-lain.

Petualangan dan keberanian, kepemimpinan dan kerja sama, kesenangan dan 
tantangan, semua itu adalah hal-hal biasa di atas geladak kapal. Semua akan 
bermuara pada sebuah pembentukan karakter yang tangguh tetapi bersahaja, tidak 
egois, tidak korup. Suatu watak kepemimpinan yang mengabdi untuk kepentingan 
publik, kepentingan bangsa dan negaranya.


REFERENSI Alwi Shahab, Wisata Bahari Pelabuhan Sunda Kelapa – Pulau Onrust, 
Sinopsys, Jakarta, 29 Juni 2003.
   Damir Hendra Kusuma, Duta Wira Nusantara, Yayasan Citra Phinisi Nusantara, 
Jakarta, 1999.
   Ketetapan MPR tentang GBHN. Jakarta, 1993
  Pane, Nina., Hapid, Semy., Capt. Gita Arjakusuma: Menyisir Badai, PT Gria 
Media Prima, Jakarta, 2001.
   Revrisond Baswir, Agenda Ekonomi Kerakyatan. Jakarta : LP3ES, 1997
   Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali, 1986


  KPSBI-HISTORIA

  Phone: (021) 7044-7220, Mobile: 0818-0807-3636
  [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
  http://kpsbi-historia.blogdrive.com

Kirim email ke