Puasa dalam Kritik al-Ghazali
Oleh Novriantoni Kahar

Maksud terdalam dari puasa—kata al-Ghazali lebih lanjut—adalah pengosongan 
(al-khawaa') dan penaklukan keinginan-keinginan diri (kasr al-hawaa) yang 
bersifat fisikal. Lewat cara seperti itulah seseorang mampu beralih dari alam 
fisikal menuju alam spiritual. Dengan peralihan fokus dari alam fisikal ke alam 
spiritual, barulah jiwa seseorang diyakini mampu mencapai level takwa. 
Pengurangan intensi pada aspek-aspek yang fisikal diandaikan akan meninggikan 
sensitivitas terhadap alam spiritual.

Salah satu kelebihan Imam al-Ghazali (1058 – 1111 M) dalam mengulas persoalan 
agama adalah ketajaman instingnya dalam menangkap ruh agama. Penguasaan 
ilmu-ilmu agama yang mumpuni, ketajaman instingtif dalam menangkap pesan-pesan 
dasar agama, plus pengamatan yang cermat terhadap tradisi beragama, itulah yang 
terasa di dalam kitabnya: Ihyaa Ulum-i ad-Din. Kitab yang ditulis untuk 
menghidupkan-ulang ilmu-ilmu agama ini merupakan injeksi darah bagi metode 
pengulasan agama yang galibnya sudah kering kerontang dan mulai sekarat.

Namun berkat al-Ghazali, beberapa ulasan soal agama kembali menemukan 
elan-vitalnya. Ambillah contoh dari kritik al-Ghazali soal tradisi puasa. Sejak 
sembilan abad lalu, penambahan jenis—bahkan pengelipatan volume konsumsi—oleh 
al-Ghazali sudah dirasakan sebagai ironi bulan puasa. "Memakan apa yang tak 
dimakan di selain bulan Ramadan, mengonsumsi sesuatu lebih banyak dari 
hari-hari non-puasa, sungguh telah jauh melenceng dari ruh puasa," tulisnya. 
Dalam rumusan al-Ghazali, esensi puasa adalah upaya untuk melemahkan 
energi-energi syaithani yang ada pada diri manusia agar tidak terlalu berdaya 
untuk berbuat jahat. Pelemahan itu tidak mungkin tercapai kecuali melalui 
pengurangan. "Wa lan yahtsul dzaalika illaa bi at-taqliil," tandasnya.

Apa yang dikeluhkan al-Ghazali di masanya tampaknya berlaku juga di masa kita. 
Sudah bukan rahasia, saban kali Ramadan tiba, tingkat konsumsi di negara-negara 
muslim justru melonjak tajam. Logisnya, puasa akan menekan tingkat konsumsi 
masyarakat ke angka yang lebih rendah dari hari-hari biasa. Namun yang terjadi 
justru paradoks ini: orang seperti menunda makan siang untuk disikat di kala 
malam. Puasa seperti men-jamak ta'khir apa yang luput tadi siang, ditambah 
panganan-panganan penunjang. Padahal, inti dari ibadah puasa adalah 
pengurangan. Taqliil, kata al-Ghazali, bukan penundaan, apalagi pengelipatan.

Dan jikapun dikaitkan dengan upaya mencapai takwa, aspek pengurangan konsumsi 
itu pun masihlah belum memadai. Ini barulah tangga pertama menuju takwa. Maksud 
terdalam dari puasa—kata al-Ghazali lebih lanjut—adalah pengosongan 
(al-khawaa') dan penaklukan keinginan-keinginan diri (kasr al-hawaa) yang 
bersifat fisikal. Lewat cara seperti itulah seseorang mampu beralih dari alam 
fisikal menuju alam spiritual. Dengan peralihan fokus dari alam fisikal ke alam 
spiritual, barulah jiwa seseorang diyakini mampu mencapai level takwa. 
Pengurangan intensi pada aspek-aspek yang fisikal diandaikan akan meninggikan 
sensitivitas terhadap alam spiritual.

Bagi al-Ghazali, tersambungnya diri seseorang ke alam transendental (`aalam 
al-malakuut)—yang konon menyingkapkan diri pada momen lailatul qadar—hanya 
mungkin terjadi bila perut dalam keadaan kosong. Terisinya rongga-rongga di 
antara hati dan dada dengan limpahan pangan sudah cukup membuat orang terhalang 
(mahjuub) untuk menyingkap alam transendental yang menampilkan diri sekali 
setahun itu. Intinya, melalui puasa al-Ghazali mengajak kita merasakan 
pengalaman spiritual. Dimulai dari pengurangan terhadap konsumsi yang fisikal, 
dilanjutkan dengan pengosongan diri dari selain Yang Transendental.

Dari ulasan di atas, mudah saja membuat indikator kasat mata untuk mengavaluasi 
berhasil-tidaknya puasa kita mencapai sasaran. Pertama, bila belanja dapur di 
bulan puasa lebih besar dari di bulan lainnya, berarti ada yang sia-sia dari 
puasa kita. Kedua, bila berat badan tidak menyusut, bahkan stabil atau malah 
bertambah, berarti proyek taqliil sudah gagal bekerja. Itulah dua contoh 
pengukuran terhadap indikator yang kasat mata. Untuk yang tidak kasat mata, 
sebaiknya tiap orang bermuhasabah sendiri-sendiri. Tak perlu intervensi 
al-Ghazali, apalagi mengundang campur tangan ormas anarkhi.


Kirim email ke