*
      16 Agustus 2010
      Daging

      Puasa: perut yang harus dibiarkan lapar, tenggorokan yang menahan haus 
selama 12 jam, alat kelamin yang tak tersentuh syahwat. Demikianlah yang 
jasmani dikendalikan: daging harus dituntun oleh roh. Kalau tidak: dosa.

      Maka dari waktu ke waktu, seraya menolak yang jasmani, kita dianjurkan 
hanya menerima yang "rohani". Sejak pukul 4 dinihari, masjid dan surau penuh 
suara orang menyebut Tuhan, menganjurkan ibadat, meneguhkan iman, menjalankan 
syariat...Kita dilengkapi dengan banyak penangkal: kita harus bisa menolak 
gado-gado, soto, video porno.

      Tapi bisakah daging diasingkan? Bisakah tubuh dilihat terpisah? Tampaknya 
ada yang luput dilihat di sini. Justru di bulan Ramadhan, yang jasmani 
diam-diam menyiapkan resistensi .

      Mari datang ke pusat-pusat perbelanjaan mewah dan angkringan sederhana di 
kaki lima. Kita akan lihat semarak pelbagai penganan lezat yang tak lazim 
sehari-hari. Ramadhan telah jadi sebuah paradoks: ketika orang diharuskan 
menahan nafsu, kreatifitas menyiapkan hidangan justru meningkat; omzet 
perdagangan makanan naik sampai 60%. Orang ramai berbelanja untuk membuat 
meriah meja berbuka puasa dan sahur mereka.

      Ramadhan agaknya telah jadi sebuah periode ketika orang berusaha 
memperoleh kompensasi istimewa. Tampaknya kuat anggapan bahwa pengekangan atas 
tubuh kita selama 30 hari itu adalah sebuah deprivasi, sebuah perenggutan dari 
hidup yang normal, dan kita, yang merasa harus menangungkan itu, menginginkan 
imbalan yang memuaskan.

      Di atas semua itu, setidaknya di Indonesia, orang-orang yang menganggap 
puasa sebagai deprivasi yang berat akan bersikap seakan-akan anak manja atau si 
korban yang dendam: mereka minta diperlakukan sebagai kelas tersendiri. 
"Hormatilah orang yang berpuasa!", seru pengumuman di mana-mana. Maksudnya: 
"jangan menggoda atau merayu orang yang berpuasa untuk batal".

      Barangkali berpuasa telah berubah: menahan haus dan lapar tidak lagi 
ditandai tekad melawan godaan, tapi sikap ketakutan akan godaan. Di bulan ini 
orang-orang yang mengatakan bahwa niat mereka berpuasa adalah untuk Allah 
(dengan kata lain: ikhlas) ternyata juga orang-orang yang merasa berhak 
mengklaim proteksi dari kekuatan di luar diri mereka: Negara.

      Maka rumah-rumah hiburan malam pun diharuskan tutup sepanjang bulan. 
Bahkan panti pijat yang biasanya dipergunakan keluarga (termasuk anak-anak) tak 
boleh buka. Tak urung, para juru pijat, umumnya ibu-ibu yang bekerja untuk 
menambah nafkah keluarga, berkurang pendapatan. Di Bekasi, para pemilik dan 
buruh industri entertainment kecil atau menengah mengeluh (ya, mereka akhirnya 
berani mengeluh) bahwa setiap tahun nafkah mereka putus selama 30 hari. Padahal 
mereka juga harus ikut mengumpulkan pendapatan lebih untuk bersenang-senang di 
hari lebaran.

      Dengan kata lain, puasa telah jadi semacam privilese. Orang-orang yang 
berpuasa bukan saja harus dihormati secara istimewa, tapi juga orang lain harus 
bersedia berkorban untuk mereka.

      Persoalannya akan berbeda jika kita menganggap berpuasa dengan sikap 
lain: puasa bukan sebagai deprivasi, melainkan sebagai ikhtiar kita untuk 
mengurangi apa yang dirasakan berlebih dan berlebihan dalam diri. Dengan kata 
lain, inilah puasa sebagai pilihan laku yang menangkis keserakahan. Bahkan 
inilah puasa sebagai reduksi agresifitas menghadapi dunia - agresifitas yang 
meringkus dunia jadi milik dan bagian dari sasaran konsumsi.

      Dalam puasa reduktif itu, kita sebenarnya melanjutkan pesan Nabi untuk 
berhenti makan sebelum kita kenyang dan juga pesan Gandhi untuk menyadari 
betapa dunia terbatas: bumi cukup untuk kebutuhan tiap orang, namun tak akan 
cukup untuk ketamakan tiap orang.

      Puasa yang macam itu tentu saja tak akan diakhiri dengan kemenangan yang 
dirayakan dengan Idul Fitri yang pongah. Puasa yang menampik keserakahan dan 
agresifitas tak akan meneriakkan kemenangan, terutama kemenangan diriku sebagai 
subyek yang perkasa yang telah mengalahkan tubuh sendiri. Bahkan dalam puasa 
yang seperti itu, "aku", seperti dikatakan Chairil Anwar di pintu Tuhan, 
"hilang bentuk, remuk".

      Tak berarti "hilang bentuk, remuk" itu menunjukkan wajah manusia yang 
tertindas dan jadi asing bagi dirinya sendiri.

      Marx memang pernah menganggap, dalam agama, (sebagai bentuk 
alienasi),wujud manusia hilang: "semakin banyak yang dicurahkan manusia ke 
Tuhan, semakin sedikit yang ia sisakan bagi dirinya sendiri....". Tapi di situ 
Marx salah. Di abad ini yang kita saksikan justru sebaliknya: semakin banyak 
yang dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin menggelembung ia jadi subyek yang 
penuh dan perkasa . Dan agresif.

      Mungkin itu sebabnya mereka yang berpuasa juga tampak seperti orang yang 
ingin berkuasa. Kecuali jika puasa membuat kita sadar, kita tak pernah bisa 
utuh sendiri: aku selalu bersama kekuranganku. Kita, roh yang juga daging, 
terbentuk oleh zat-zat yang sama dengan zat-zat dunia. Kita yang merasakan 
lapar dan haus adalah kita yang seperti makhluk umumnya: terpaut pada 
"yang-lain", bukan cuma kesadaran kita. Kita terpaut pada pencernaan, arus 
darah, trauma dan nostalgia kita. Juga pada cuaca, flora, fauna, benda-benda 
sekitar kita. Kita ada di bumi, di bawah langit, di antara makhluk lain yang 
fana, di hadapan Tuhan - sebuah variasi dari das Geviert Heidegger. Dalam 
posisi itu, aku bisa rasakan bumi, langit, sesama makhluk dan rahmat Tuhan 
mengasuhku. Dan aku bisa damai menghilangkan ketamakan dan agresifitasku.

      Di situ, puasa tak akan disertai hasrat mendapatkan kompensasi yang 
memuaskan buat tubuh yang merasa tertindas dan terasing oleh Ramadhan. Di situ, 
puasa tak dimulai dengan merasa telah direnggutkan, hanya karena mulut tak 
boleh menelan, lidah tak boleh mencicip. Di situ, puasa adalah pertemuan 
kembali dengan tubuh yang lemah, tapi bukan untuk dikurung untuk diwaspadai.

      Goenawan Mohamad 

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/08/16/CTP/mbm.20100816.CTP134339.id.html

Kirim email ke