*
      16 Agustus 2010
      Robert W. Hefner: Penentang Demokrasi Sangat Minoritas

      Indonesia bukan negara asing bagi Robert William Hefner. Sejak 1977, 
antropolog Amerika Serikat ini sudah meneliti masyarakat Tengger di Jawa Timur. 
"Sejarah saya mirip Indonesia. Dulu saya orang gunung yang tinggal tanpa 
listrik, tanpa jalan, kemudian menjadi orang kota yang bekerja di Malang dan 
Yogya," ujar peneliti 58 tahun ini. Pada akhir 1990-an, menjelang akhir 
kekuasaan Soeharto, dia meneliti peran muslim dalam politik di Indonesia. Dari 
penelitian itu lahir buku Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia.

      Buku itu menegaskan bahwa Islam dan demokrasi bisa berjalan selaras dan 
kompatibel. Dan Islam amat menghormati keberagaman. Untuk penelitian itu, dia 
tak hanya menemui tokoh muslim yang mendukung demokrasi seperti Amien Rais dan 
Nurcholish Madjid, tapi juga kalangan Islam yang mencurigai gerakan 
prodemokrasi. "Mereka mengatakan gerakan ini didominasi orang Kristen dan orang 
sekuler," ujarnya.

      Hefner kini memimpin Institut Budaya, Agama, dan Permasalahan Dunia di 
Universitas Boston, Amerika Serikat. Institut itu mengkaji perkembangan 
masyarakat Islam di seluruh dunia. Selama puluhan tahun lembaga ini sudah 
meneliti muslim di 44 negara.

      Dengan pengetahuan yang luas tentang Islam, Hefner berani "menantang" 
pendapat ilmuwan politik Samuel P. Huntington yang meramalkan bakal terjadi 
benturan peradaban antara Barat dan Islam. "Debat itu sudah berakhir dan 
Huntington kalah," ujarnya seraya menunjuk Turki sebagai contoh "perkawinan" 
peradaban yang begitu subur.

      Pekan lalu Hefner kembali berkunjung ke Indonesia. Dia menggelar sejumlah 
ceramah dan membuat penelitian kecil di Yogyakarta. Di sela kesibukannya, dia 
menerima Philipus Parera dari Tempo di Hotel Yogya Plaza tempatnya menginap.

      Dengan runtut dia menyampaikan pengamatannya tentang perkembangan terbaru 
hubungan Islam dan demokrasi di Indonesia. Salah satunya adalah tren kelompok 
yang melakukan terorisme dan kekerasan atas nama agama yang menurut dia tak 
mencerminkan mayoritas. "Tapi kelompok itu memang mengkhawatirkan."

      Apa topik penelitian Anda kali ini?

          Lembaga saya mengamati perkembangan umat Islam dan non-Islam, bukan 
terbatas menyangkut isu syariah tapi mengenai peranan syariah dalam wacana 
muslim dan tafsiran terhadap implikasi dari syariah itu untuk demokrasi. Ada 
yang setuju, tapi ada yang tidak. Syariah itu yang utama, demokrasi nanti saja. 
Di antara yang seperti itu ada Abu Bakar Ba'asyir. Dia mengatakan demokrasi itu 
sistem kafir yang dipaksakan di dunia muslim oleh Amerika, kaum Kristen dan 
Yahudi. Jadi ada macam-macam debat dan saya mengamati semua itu.

      Anda sempat bertemu dengan Abu Bakar Ba'asyir?

          Satu kali. Tapi kolega saya yang beragama Islam, yang tidak perlu 
saya sebut namanya, sering ketemu Pak Ba'asyir dan beberapa kali atas nama 
saya-waktu saya di Amerika-dia melakukan wawancara. Terus terang saja dia 
menjawab dengan sangat terbuka dan jujur pertanyaan yang diajukan atas nama 
saya.

      Apa yang bisa Anda simpulkan dari Ba'asyir?

          Dia sebetulnya lebih menarik sebagai figur politik. Dia mempunyai 
suatu pemahaman terhadap syariah dan politik. Pemahaman begini sebetulnya cukup 
umum di kalangan Islam konservatif, tapi tidak di Indonesia. Kalau kita ke 
Pakistan mungkin 20-30 persen penduduknya mempunyai sikap terhadap demokrasi 
yang kurang-lebih sama dengan Pak Ba'asyir. Tapi harus saya tekankan, kami 
sekarang punya data survei dari negara-negara muslim. Di sebagian besar negara 
muslim di dunia ini, 70-80 persen penduduk muslim menganggap demokrasi bukan 
saja tidak bertentangan dengan Islam, melainkan juga menganggap Islam sistem 
yang baik dan diharapkan diterapkan di negara mereka. Jadi posisi Pak Ba'asyir 
tidak unik, tapi sangat minoritas.

      Ada perbandingan yang bisa Anda tegaskan tentang demokrasi di berbagai 
negara berpenduduk mayoritas muslim?

          Di Arab Saudi, Qatar, dan Libya kita tahu dari data sebagian besar 
masyarakat menganggap demokrasi itu tidak konsisten dengan Islam. Tapi di 
negara lain seperti Maroko, Mesir, Yordania, dan Suriah, sebagian besar 
penduduknya menganggap demokrasi itu cocok dengan nilai Islam, malah sangat 
diharapkan.

      Anda tahu ceramah Ba'asyir yang mengatakan demokrasi tak sesuai dengan 
nilai Islam?

          Saya ingin mengerti pendekatan Abu Bakar Ba'asyir, darimana 
penolakannya terhadap demokrasi. Kalau kita perhatikan, sebenarnya itu juga 
penolakan terhadap institusi pemerintah dan institusi media. Saya ingin tahu 
dari mana asalnya sikap itu dan apakah sikap itu akan menjadi kecenderungan 
yang meluas di kalangan muslim Indonesia.

      Apakah Anda sudah menemukan jawaban?

          Saya kira sudah, dan ini tidak mengherankan. Masyarakat pun sudah 
tahu soal ini. Gagasan (menolak demokrasi) sudah dilakukan sejak 1970-an, 
kemudian mulai lebih aktif pada 1999 setelah reformasi. Tapi gagasan itu tidak 
bisa diterima, banyak orang khawatir akan masa depan mainstream Islam. Tapi 
akhirnya kita sekarang bisa menarik kesimpulan bahwa orang Islam sudah 
mengerti, mereka sudah mempraktekkan demokrasi selama sebelas tahun.

      Bagaimana dengan kelemahan dalam demokrasi yang ditunjuk kelompok 
antidemokrasi itu, misalnya soal ketidakadilan?

          Banyak masalah belum bisa diatasi lewat sistem demokrasi, misalnya 
masih ada kemiskinan dan korupsi. Meskipun kecewa, orang Indonesia menarik 
kesimpulan bahwa ini bagian dari politik Indonesia. Ini merupakan proses 
kultural politik yang betul-betul penting dan signifikan bukan saja bagi 
Indonesia melainkan juga bagi dunia.

      Setelah 1999, muncul terorisme dan gelombang kekerasan atas nama agama di 
Indonesia. Apakah itu tidak mengubah pendapat Anda?

          Posisi saya terus berubah, tapi posisi dasar saya tetap. Masyarakat 
melihat teroris bukan mewakili mayoritas. Bahwa ada kelompok seperti itu memang 
mengkhawatirkan. Tapi itu terjadi karena ada krisis politik, krisis ekonomi, 
krisis kebangsaan sekaligus. Di mana sepanjang abad ke-20 ada krisis 
multidimensi seperti itu? Lihatlah Jerman. Negara itu masih makmur pada 
1920-an, masih terdidik, punya industri yang besar. Tapi mitologi terhadap 
Yahudi tidak saja menghancurkan Jerman, tapi juga peradaban Eropa selama 
beberapa tahun. Fasisme itu tidak saja ada di Jerman, Italia, tapi ada di 
mana-mana.

      Ini juga dampak serangan Amerika ke berbagai negara Islam?

          Banyak negara lain menilai serangan terhadap Amerika tidak begitu 
parah, tapi tanggapan pihak Amerika terkesan berlebihan. Tak cuma di negara 
Islam, tapi juga di Eropa. Dan untuk kelompok kecil itu, tanggapan itu suatu 
sumbangan besar. Jadi tak mengherankan bila ada bagian kecil umat Islam yang 
setelah melihat krisis ini lalu memobilisasi suatu sistem alternatif bagi 
sebagian besar umat Islam yang tak terlibat aksi kekerasan sama sekali. 
Kelompok itu dalam beberapa tahun terakhir diperkuat oleh (kampanye) war 
against terrorism.

      Lembaga Anda sudah mengkaji muslim di 44 negara. Apakah ada yang transisi 
politiknya seperti Indonesia?

          Ada banyak kesamaan, tapi di lapangan berbeda, terutama dalam 
kebangkitan agama. Itu terjadi di mana-mana, kebangkitan Katolik, Hindu. Kita 
bisa membandingkan Indonesia dari segi itu setelah era otoriter. Yang terjadi 
di negara-negara lain, agama mulai dipengaruhi pasar. Ada harapan agama bisa 
membawa rahmat yang bisa dipakai secara praktis agar lebih sukses di bidang 
ekonomi. Itu terjadi di kalangan muslim, dan lebih awal di kalangan Kristen 
Barat. Istilah yang lebih populer disebut prosperity theology, teologi 
kemakmuran. Pada awalnya banyak yang menganggap paham ini tak mungkin keluar 
dari kalangan Kristen.

      Ada contoh prosperity theology di Islam?

          Kalau disebut prosperity Islam, lihatlah negara Qatar. Itu simbol 
dari sesuatu yang sekarang semakin umum. Banyak orang membayangkan Islam harus 
kritis, kiri, seperti teologi pembebasan. Banyak yang menyayangkan bahwa ini 
perkembangan yang tidak baik. Tapi, dari segi pembangunan nasional, dari segi 
apa yang dibutuhkan supaya negara muslim bisa lebih bersaing dengan 
negara-negara Barat, sebetulnya ini suatu perkembangan yang sangat bagus.

      Anda mengatakan kebangkitan muslim di Indonesia mulai terjadi pada awal 
1980-an. Apa yang mendorongnya?

          Ada beberapa variabel. Kita harus ingat, itu terjadi di 90 persen 
negara muslim. Ada pengaruh dari globalisasi dunia muslim, bukan globalisasi 
McDonald's. Ada hubungan pendidikan yang semakin erat antara Mesir, Arab Saudi, 
dan Indonesia. Tapi juga ada suatu proses yang lebih umum, misalnya di negara 
Asia Timur atau Amerika, ada keyakinan baru bahwa makmur itu tidak cukup, kita 
juga perlu kemajuan moral. Ekonom yang meneliti pembangunan nasional mungkin 
tidak melihat isu moral. 

      Di Indonesia kini ada kecemasan tentang lunturnya kerukunan hidup 
beragama....

          Ini suatu transisi sosial menuju demokrasi yang belum stabil dan 
benar-benar mencemaskan. Tapi, menurut saya, ini tidak mengancam proses 
demokrasi secara umum, tapi dia mewarnai iklim sosial. Demokrasi tidak hanya 
sesuatu yang hanya dijalankan di lembaga negara, tapi juga bergantung pada 
kultur yang dijalankan oleh banyak orang. Kelompok yang menyerang (demokrasi) 
itu kalangan tertentu dan agak kecil. Walaupun begitu, serangan itu tidak 
banyak dikritik oleh kalangan religius.

      Tanggapan pemerintah juga tak jelas....

          Saya kira ini sulit diatasi untuk sementara kecuali ada dua hal yang 
perlu dibuat. Pertama, harus ada kesadaran dari komunitas muslim sendiri bahwa 
yang paling diancam bukan komunitas Kristen yang akan mendirikan tempat ibadah, 
melainkan orang muslim sendiri. Dalam survei opini publik, kelompok kecil itu 
berani menghadapi kelompok yang lebih besar, bukan saja nonmuslim, malainkan 
kelompok muslim yang lain. Suatu ketika muslim Indonesia akan mengerti bahwa 
ini adalah ancaman terhadap keramahan kultur dan peradaban muslim sendiri. 
Kedua, dari pihak pemerintah tampaknya belum ada posisi yang tegas. Saya 
termasuk orang yang menganggap ini bisa dimengerti karena ini zaman baru, bukan 
zaman Orde Baru. Koalisi Susilo Bambang Yudhoyono sangat majemuk. Tidak hanya 
di tingkat elite, tapi kalau kita ke pelosok sering kita menemui belum adanya 
konsensus di kalangan pemerintah tentang bagaimana menghadapi hal semacam itu.

      Anda mengatakan ada kebangkitan Islam sejak 1980-an, tapi kenapa partai 
Islam tetap saja tidak laku di Indonesia?

          Itu tidak jauh berbeda dengan di negara lain. Pakistan itu secara 
resmi negara Islam, tapi partai yang paling dianggap islami tidak pernah 
menang. Partai yang sekuler di Pakistan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan 
partai yang populer di Indonesia. Akhirnya kita bisa menarik kesimpulan bahwa 
sebetulnya negara bisa dijalankan dengan baik dengan sistem politik dan bahwa 
yang islami tidak selalu harus diformalkan. 

      Lalu dari mana munculnya bias politik Islam itu?

          Itu sebenarnya wujud kecemasan figur-figur yang mengatasnamakan 
Islam. Sumbangan terbesar laskar-laskar yang belakangan populer di Indonesia 
adalah bikin orang cemas. Tapi mereka juga memukul partai yang membawa bendera 
Islam. Orang melihat bukan Islam yang ditolak, tapi figur yang memakai nama 
Islam. Ada suatu pemahaman di banyak negara bahwa politik Islam harus konsisten 
dengan nilai-nilai Islam. Kalau ada orang menjalankan politik atas nama Islam 
tapi tindakannya anarkistik, itu boleh saja ditolak. 

      Apakah Anda juga mendalami persoalan partai politik Islam?

          Saya bukan pengamat partai politik tapi kenal dengan banyak orang 
PKS. Ketika di Jakarta, saya bergaul dengan sejumlah orang yang kelak setelah 
Soeharto lengser, bergabung dengan PBB. Ketika PKS muncul, banyak orang 
menyangka ini akan menjadi partai besar, tapi nyatanya tidak seperti yang 
dibayangkan. Para pemilih Indonesia tidak sulit membedakan antara partai Islam 
dan agama Islam. Kesalehan muslim Indonesia seperti salat dan puasa tidak 
pernah berkurang, malah semakin kuat. Tapi di politik yang mau partai Islam 
tidak semakin kuat. Ini merupakan salah satu kemampuan membedakan antara 
politik yang selalu kotor dan yang suci serta tidak kotor yang namanya agama.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/08/16/WAW/mbm.20100816.WAW134340.id.html

Kirim email ke